6. Waktu itu

93 14 2
                                    

"Berteman dengan kehancuran, lalu berjuang dengan kesakitan. Luka."

"Sudah kubilang, jangan sentuh aku!" teriak Syela dengan tatapan tidak suka.

Rizal menatap tajam istrinya. "Kapan kau akan sadar, sialan? Kau sudah berbuat hal yang menjijikan. Dengan mudahnya mulutmu mengatakan jangan sentuh? Harusnya aku yang tidak sudi bersentuhan denganmu. Apa kamu tidak tahu diri? Selama ini aku selalu mencoba memperbaiki walau sekacau apapun perilakumu di luar sana?"

Napas Syela menderu di hadapan Rijal dengan tangan yang sudah dikepal sedari tadi. "Aku sudah bilang, aku gak ingin dikekang!"

Rijal menggeleng, tidak setuju dengan ucapan yang dia dengar. "Dikekang kamu bilang? Bahkan itu sudah terlalu bebas. Sampai-sampai kamu bermain dengan pria lain tanpa memakai otak? Kau tidak sadar bahwa kau masih bersuami?"

Wanita yang dilempar pertanyaan malah menarik senyum. "Aku tidakk pernah menerima perjodohan itu. Bukankah kita sudah berjanji? Kita akan berpisah dalam beberapa bulan? Aku benci di saat Ayahmu memaksaku menikah denganmu hanya karena hutang, kau pria yang jauh lebih tua dariku, Rijal!" Mata Syela berkaca-kaca,  "tetapi kau tidak mempunyai kasih sayang yang seharusnya dimiliki oleh orang dewasa. Pikiranmu dangkal, Rijal! Kau sangat egois! Kau bahkan lebih memilih bosmu itu daripada aku. Untuk apa aku hidup denganmu? Jika yang kudapatkan juga kematian di saat kau disuruh memilih antara aku dan bosmu. Kau selalu saja mementingkan nyawa bos bejat itu."

Prok! Prok!

Tiba-tiba Rijal bertepuk tangan. "Sebodoh itukah menurutmu seorang Rijal? Aku diam, bahkan tidak mengungkit kenyataan yang kuketahui. Sedangkan kamu? Bisakah kamu sadar diri untuk sebentar?"

Syela menatap gugup. "Terserah, aku bosan hidup denganmu. Kau iblis berwujud manusia!

"Kau memang pengecut dan itu adalah pegangan bagi setiap penipu dan penghianat." Rijal menatap Syela dengan rahang mengeras.

Syela menelan Saliva dalam-dalam sembari berjalan dua langkah untuk semakin dekat dengan Rijal. "Selama ini aku menerima segalanya, menanti saat-saat berpisah, teapi karena kamu menghamiliku," Syela menunjuk Rijal dengan tatapan sinis, " hingga aku harus mengundurkan perjanjian itu. Sekarang? Umur Alena sudah sembilan tahun. Kamu masih memaksaku untuk tetap bersamamu? Aku tidak Sudi tetap menjadi istri dari seorang pembunuh Ayahku," sambung wanita yang menjadi istri Rijal selama ini.

Plak!

"Menghamili kamu bilang? Kau mengucapkan kalimat yang mengatakan seakan kau tidak halal untuk aku tiduri?" Tamparan berhasil mendarat di pipi Syela.

Wanita itu memegang wajahnya dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku pernah mencintaimu dengan tulus, tapi rasa sayangku memudar setelah mengetahui bahwa kau yang membunuh Ayahku. Hanya karena ayahku tidak terima putrinya diperlakukan kasar dan meminta agar kita bercerai."

"Berhenti omong kosong, Syela!  Kau tidak tahu apa-apa. Jaga ucapanmu!"

Syela mebaikkan alisnya. "Tidak tahu apa-apa? Aku tidak bodoh lagi, berhenti bersikap lebih pintar dari segalanya!"

"Kau bahkan yang merasa semua oranglah yang bodoh. Aku tahu semuanya, aku tahu. Aku mencoba memperbaiki dan kamu menngulangi. Aku bahkan pura-pura bodoh sampai sekarang. Fakta yang tersimpan kusimpan dalam-dalam. Apa kau mengerti?"

Syela menatap Rijal tidak percaya. "Berhenti memutar balikkan fakta!"

"Kau? Aku berhenti, aku memanglah pria tua bagimu, tapi aku masih punya akal dan cara untuk mengetahui sesuatu, wanita jalang!" pekik Rijal dengan tatapan emosi.

"Kamu yang merasa paling benar, tidak ada cinta di kehidupanmu. Hanya ada kematian." celoteh Syela tidak terima.

Rijal menatap wanitanya itu dari ujung kaki hingga kepala. Lebih tepatnya sekarang mungkin bukan wanitanya lagi, hanya kata wanita. Wanita yang menjadi penghianat dan pembawa bom dahsyat untuk kehidupan Rijal.

ALENA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang