Jora membuka pintu kamar Alena perlahan, membuat gadis itu tersontak kaget dan menarik selimutnya kembali."Kau takut?" tanya Jora menyadari kegugupan Alena. Gadis itu hanya bisa menggeleng perlahan, tubuhnya masih setia berbalut selimut.
Jora membawa makan malam untuk Alena, gadis itu meletakkan nampan di atas nakas, lalu duduk di sisi ranjang.
"Tidak usah takut, saya bukan monster." Jora mencoba meyakinkan, membuat Alena merasa sedikit tenang. "Jora," sambung Jora mengulurkan tangannya.
Alena menatap kaget, tetapi perlahan ia menyambut uluran tangan itu. "Alena," jawabnya memandang Jora dengan rasa was-was.
Alena menatap Jora intens—seorang gadis yang terkenal pendiam dan segala kemisteriusan di sekolah. Hanya berkomunikasi dengan para anggota Kairos, tidak suka mengeluarkan suara sembarangan. Ia adalah gadis yang lumayan dekat dengan Evander—satu-satunya anggota Kairos yang perempuan.
Jora mengangguk. "It's oke, makanlah makananmu. Ada di atas nakas." Jora berbalik, lalu berjalan menuju sofa.
Alena hanya terdiam, lalu ikut mengangguk ragu. Matanya tertuju pada makanan itu, seketika perutnya berbunyi membuat ia menahan malu setengah mati.
"Makan saja, tidak usah banyak gaya."
Alena mengangguk perlahan, lalu mencoba bangkit menuju nakas. Ia kaku dan tidak tahu harus bagaimana sekarang.
"Apa kau adalah masalah besar dengan Evander?" Tiba-tiba Jora bertanya, menghentikan aktivitas Alena yang mencoba menyuapkan nasi ragu-ragu.
"Makan saja, tidak usah merasa canggung," ucap Jora cepat.
"Anggap saja aku temanmu saat ini," sambung Jora.
Alena meletakkan sendok perlahan. "Makasih, Jora."
"Aku tidak membutuhkan ucapan itu, kau hanya perlu menjawab pertanyaanku." Jora mulai mengambil sebatang rokok dari sarangnya, lalu membakar dan mulai menghisapnya dengan ketenangan.
"Setahuku, aku tidak memiliki kesalahan apapun dengannya," ucap Alena pelan. "Tapi mungkin aku melakukan kesalahan secara tidak sengaja, hingga dia bisa sebenci ini padaku," sambungnya menundukkan kepala.
"Oh, ya?" Suara Jora terdengar kurang yakin.
"Iya." Alena mengangguk tidak menatap Jora sama sekali.
"Angkat wajahmu dan makan nasi itu dengan ketenangan. Meneteskan air mata tidak akan membuatmu bebas dari sini." Ucapan Jora mampu membuat hati Alena tersentak. Akan tetapi, Alena menyetujui di dalam sana, Jora benar, kesedihan hanya membuat kita semakin dalam pada luka."
Melihat Alena hanya terdiam dan mulai terlihat biasa saja menyuapkan nasi ke mulutnya. Jora memutuskan untuk tidak mengeluarkan pertanyaan, menunggu Alena menyelesaikan makan malamnya.
"Apa aku boleh mengatakanmu bodoh?" tanya Jora setelah Alena selesai dari makan.
Alena menatap Jora. "Tentu saja, setiap orang berkata seperti itu di sekolah, bukan?"
Jora tersenyum. "Yes, kukira kau tidak mengakui."
Alena merasa sesak di dada, ucapan Jora tidak kejam dan keras, tetapi sangat mampu melukai hati secara perlahan. Pertanyaan Jora datang pelan, tetapi menusuk kasar.
"Aku ingin istirahat, janganencoba kabur karena kau tidak akan pernah bisa," peringat Jora mematikan rokoknya, kemudian mulai berbaring dan memejamkan mata.
Alena memperhatikan Jora yang tertidur di sofa. Gadis berambut sebahu dan sangat hobby memakai kaos hitam itu terlihat sangat santai. Pakaiannya simple, tetapi terlihat sangat misterius dan menakutkan.
Alena menatap setiap cara dan tindakan Jora. Ia sangat mengagumi, merasa gadis itu penuh dnegan kekuatan. Alena seakan memiliki cita-cita untuk bisa menajdi seperti Jora. Walau sekedar hanya terhindar dan bisa melindungi diri dari kekejaman hidup.
Lama memandangi wajah Jora, seketika Alena menyerngitkan dahi. Wajah Jora, seperti tidak asing. Ia mencoba berpikir keras, ada apa di balik wajah itu? Mengapa Alena merasakan sesuatu? Alena memicingkan mata, memperjelas tatapannya.
"Dion?" desis Alena pelan, kemudian dengan cepat ia menggeleng. "Mirip tapi apa hubungannya?" sambungnya dalam hati.
***
Alena membuka matanya di saat merasakan sebuah benda menyentuh wajahnya. Ia membulatkan mata, betapa terkejutnya gadis itu melihat sebuah pistol menempel di keningnya.
"E—evander?" lirih Alena melihat wajah Evander samar-samar.
"Selamat pagi, Alena. Apa kau ingin mati setelah bangun dari mati?" tanya Evander dengan senyum menyeringai, membuat Alena kini ketakutan dengan ekspresi itu. Ia ingin menjauh, tetapi takut satu tembakan akan menghilangkan nyawanya.
Melihat wajah Alena yang pucat pasih. Evander menjauhkan pistol itu dari kening gadis itu, lalu membuangnya ke sembarang arah. Ia mendengkus kasar dan berkahir dengan senyuman iblis.
Evander mulai duduk di sisi ranjang, menatap Alena dengan tatapan seperti biasanya. Tajam dan dingin!"Berterima kasihlah pada Tuhan, seorang Evander tidak segera membunuhmu di saat tidur tadi."
Alena terkejut, ia menelan Saliva dalam-dalam, lalu mencoba bangkit dari tidurnya. Perlahan ia menarik selimut menutupi tubuh, seakan benda itu dijadikan pelindung. "Apa aku boleh pulang, Evander?
Evander mengeraskan rahangnya, membuat bulu kuduk Alena seketika berdiri. "Lu nggak ngerti arti ucapan gue?"
"Maaf."
"Untuk?"
"Maaf jika kau marah padaku." Lagi dan lagi Alena menunduk.
Evander tak menjawab, ia bangkit, lalu mendekati tubuh Alena. "Bangun dan ikuti gue!"
Alena mengangkat wajahnya, refleks ia menggeleng.
"Lu mau ngebantah gue?" Tatap Evander tajam.
"Aku minta maaf, Evander." Suara Alena terdengar memohon, bibir pucatnya tampak bergetar.
"Ikut atau nyawa lu nggak akan bisa bertahan dalam beberapa menit ke depan." Alena bersuara lantang tanpa melirik Alena. Sementara Alena hanya bisa meremas jemarinya yang basah. Gadis itu kini kembali taku. Ia hanya bisa menatap ke arah lantai sendu. Mengikutinya? Apa ia akan disiksa lagi?
"Bangun dari sana!" teriak Evander lagi dengan wajah murka, membuat Alena terkejut dan segera bangkit dari ranjang. Gadis itu hanya bisa pasrah dan mengikuti setiap perintah Evander.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALENA (END)
Novela JuvenilHidup dengan segala kepahitan dan rasa sakit. Itulah kisah dari seorang gadis berusia 17 tahun-Alena-seorang remaja putri dengan teka-teki kehidupan yang sulit. Mengharapkan kasih sayang yang mustahil untuk ia dapatkan. Dirinya senantiasa disakiti...