2. Telat

198 18 6
                                    

Hai, hai, Guys. Up lagi, jangan lupa vote dan coment-nya, zheyeng.🥰

_____________________________

Berdiam bukan berarti lemah dan tidak mampu. Namun, adalah sebuah tindakan yang dilakukan untuk memilih  satu  keputusan.

Jangan anggap remeh dengan kediaman dan kelemahan seseorang, dia tahu kerusuhan akan hanya dilakukan oleh orang bodoh.

Tetap semangat.✊🏾

***

"Buka pintunya, buka anak sialan!" Alena mengerjapkan mata ketika mendengar suara gedoran pintu yang amat kuat. Ia melirik ke arah celah gorden, belum ada cahaya yang mengintip di sana, masih gelap. Alena beralih ke jam dinding. Pukul 02.11(WIB). Ternyata masih dini hari.

"Anak sialan, apa kau ingin dibunuh? Bukalah pintu ini, jangan diam di dalam sana!" Kembali teriakan itu terdengar jelas.

"Ayah?" gumam Alena dengan tatapan sendu, dia mengenal pemilik suara itu.

"Buka pintunya!" Lagi dan lagi gedoran pintu terus terjadi.

Alena mengernyitkan dahi, buka pintu? Bukankah yang mengunci pintu adalah ayahnya?

"Alena, apa kau benar-benar ingin dibunuh?"

Detak jantung Alena  mulai tidak beraturan. Dia sangat takut saat ini. Dia tahu, pasti ayahnya pergi ke club malam  setelah puas mengeluarkan amarah dan pastinya saat ini pria itu dalam keadaan mabuk berat.

Alena meremas ujung selimutnya, ia ingin membuka pintu, tetapi rasa takut terus saja menyelimuti. Apa akan ada kekerasan lagi setelah ini?

"Buka sialan!"

Brugh!

Alena terkejut dengan perasaan khawatir. Ia memegang dada, terasa seakan ada yang ingin runtuh di sana. Perlahan gadis itu menyingkirkan selimut dari tubuhnya, lalu berdiri ke arah meja untuk mengambil kunci duplikat di laci.

Tidak ada pilihan lain, selain memberanikan diri untuk menghampiri teriakan Rijal.

Alena tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang. Pikirannya kosong seakan sudah kehilangan akal saat ini. Baginya menghadapi sang Ayah adalah sebuah penyerahan diri untuk tiada, tetapi dia selalu berharap pria itu masih memiliki hati seorang ayah pada putrinya.

Ingin sekali pergi dari kehidupan yang amat menyakitkan. Namun, hati Alena selalu menolak pikiran itu, jika jalan keluarnya harus meninggalkan sang Ayah. Sungguh, Alena tidak bisa, ia sangat menyayangi Rijal.

"Sudah kubilang, pergunakan kakimu sebaik mungkin. Kenapa kau begitu lamban, hah?" bentak Rijal dengan keadaan yang begitu hancur. Benar, kini ia sedang mabuk berat. Ia begitu berantakan,  bahkan botol minuman keras masih ada pada genggamannya.

Alena menarik napas dalam, mencoba memberanikan diri. Tangannya mulai membimbing Rijal untuk berjalan ke kamar. Namun, segera Rijal menghempaskan tangan putrinya itu dengan kasar, membuat tubuh Alena kembali terhantam lantai.

"Jangan pernah mencoba memberikanku perhatian atau kau akan menerima kekerasan? Aku tidak butuh peduli darimu!" sentak Rijal dengan rahang mengeras.

"Ayah, Ayah mengonsumsi minuman itu lagi? Ayah kumohon jangan rusak tubuhmu ...," lirih Alena dengan ketakutan. Ingin sekali ia membuang botol kematian itu dari ayahnya, tetapi untuk menatap wajah Rijal saja ia benar-benar tidak sanggup.

"Kau ingin melarangku lagi, hah?" Rijal menatap Alena tajam sembari tertawa sinis.

"Maafkan aku, Ayah." Alena hanya menunduk.

ALENA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang