18. Berbeda

74 13 0
                                    


"Jangan pernah dekat dengan Dion lagi, paham?"

Alena menunduk, gadis itu tak berani memandang pria di hadapannya. Ia tahu, Evander sangat tidak suka Alena dekat dengan Dion—Kakak Evander. Alena sangat hapal kalimat Evander. 'Jauhi Alena, Dion. Jangan menjadi pahlawan, gue nggak suka lu selalu ada di samping dia.'

Kenyataan yang pasti, Evander benci ada yang peduli dengan Alena. Apalagi yang dimaksud adalah Kakaknya sendiri. Alena bagaikan hal yang harus dijauhi, seakan manusia yang tidak pantas memiliki siapa-siapa. Baginya, Alena adalah gadis yang selalu kehausan akan kekerasan, tidak butuh penolong, hanya tinggal menunggu kematian yang segera menjemput.

'Alena lemah!' Dunia dan penghuninya seakan berkata demikian. Semesta benar-benar tidak berpihak pada Alena.

"Berani lu langgar, lu pasti tahu apa yang gue perbuat, bukan?" Alena mengangguk pelan.

Evander menangkup dagu Alena kasar. "Harus berdasarkan keputusan gue." Lagi Alena mengangguk.

Evander tersenyum dengan jawaban yang ia dapatkan, entah apa yang membuat ia senang dengan hal yang ia perbuat.  Perlahan tangannya terulur ke arah Alena. Gadis itu terkejut, merasakan sentuhan lembut di bagian kepala. Alena menatap ke atas, ada Evander mengusap kepalanya dengan tatapan datar.

"Beri gue senyuman!" titahnya, Alena menatap Evander kebingungan. Senyuman?

"Tersenyumlah!" Lagi Evander bersuara.

Alena bingung, gadis itu benar-benar tidak mengerti. Perlahan ia mengangkat wajah, menatap Evander intens. Wajah seorang pria yang selama ini bertindak kasar. Tanpa berpikir panjang, Alena memasang sebuah senyuman. Sebuah ekspresi yang jarang ia pancarkan pada dunia.

Entah kenapa senyuman Alena terukir indah dan sulit untuk diakhiri. Alena merasa nyaman! Senyuman itu terasa tenang. Mengapa tidak? Ia dapat memancarkan senyuman di depan pria yang selama ini hanya mengundang tangis dan rasa takut.

Evander ikut tersenyum. "Good!" Lagi Evander mengelus kepala Alena, membuat gadis itu tersontak kaget dengan perlakuan yang menurutnya sangat mustahil ia dapatkan.

"Kembali ke kamar lu!" Evander menjauhkan tangannya dari Alena. Tidak seperti biasa, kali ini Evander tidak berbuat kasar.

"Lu butuh istirahat, tidurlah!"

Detak jantung Alena tak beraturan dengan kalimat itu, desir darah mengalir deras. Alena merasa aneh saat dengan ucapan Evander. Ini pertama kalinya Evander berbuat hal demikian, jauh berbeda dengan sikap yang biasanya. Alena mulai meremas kecil ujung seragam, rasa gugup dan was-was menyelimuti gadis itu.

"Lu tetap ingin mematung? Menunggu jatah kekerasan?" tanya Evander menatap Alena menyelidiki.

Menyadari kalimat ancaman kembali hadir, Alena langsung menggeleng kuat-kuat, gadis yang sempat salah tingkah itu kini kembali merasa takut. Ia menatap Evander, kemudian memberanikan diri untuk tersenyum sesaat, detik berikutnya ia langsung berlari kecil menuju kamar.

Apa Alena mulai merasa percaya diri saat ini?

Tidak ada yang perlu dijawab, saat ini Evander sedang tersenyum memandang punggung Alena yang mulai menghilang di balik pintu. Wajah yang selama ini biasanya dihiasi tatapan tajam dan senyuman sinis.  Tindakan kasar dan ucapan menyayat hati. Wajah dan kebiasaan itu seakan berakhir dan hilang entah ke mana. Ada apa sebenarnya?

***

Drrt Drtt

Evander yang sedang berkumpul dengan anggota Kairos langsung mengalihkan pandangannya ke arah ponsel yang sedang bergetar. Ada nama Dion pada layar.

Drtt Drtt

Panggilan itu tetap saja dibaiakan, Irfan dan lainnnya hanya bisa melirik dengan memainkan ekor mata, sementara  Jora sepertia biasa hanya bersikap datar. Gadis itu mulai fokus pada laptopnya.

Drtt Drtt

Evander manatap tajam pada layar dan akhirnya mengangkat panggilan dari Dion.

"Ada apa?" tanya Evander langsung tanpa basa-basi.

"Gue mau minta bantuan," jawab Dion dari seberang sana.

Evander terkekeh, anggota Kairos manatap satu sama lain. Semuanya hanya bisa memperhatikan sang Bos yang tampak tertawa lepas.

"Lu pulang, Evander." Suara Dion terdengar memohon. "Mama sakit, jantungnya kambuh," sambungnya.

Evander menyerngitkan dahi. Pria itu menatap dinding bingung. "Hubungannya sama gue apa?"

"Mama butuh lu."

"Gue nggak punya Mama!" pekik Evander memberi penekanan pada ponselnya.

"Mama rindu sama lu, Evander. Tolong ngertiin Mama saat ini."

Evander berbalik, menatap anggotanya. Jora mendengkus pelan, seakan mengerti maksud pria itu, Jora langsung menutup laptop dan beranjak dari tempat. Irfan dan lainnya masih kebingungan, Evander mulai mengayunkan jemari di udara, mengintruksi agar semuanya segera keluar dari ruangan.

Evander menarik napas dalam, lalu membuangnya kasar. "Jangan minta bantuan sama gue."

"Mama nggak berhenti manggil nama, lu Evander."

"Lu bisa minta tolong sama orang di luar sana," jawab Evander cepat.

"Mama butuh lu! Evander, dia nggak berhenti manggil nama itu." Suara Dion terdengar benar-benar berharap.

"Sudah? " tanya Dion dengan nada tidak peduli. "Gue sibuk."

Dion terdengar mendesah kecewa. "Gue mohon kali ini lu dengerin gue, Vander. Mama benar-benar butuh lu."

Tidak ada jawaban Evander, ia tidak berniat membuka suara sama sekali. Pria itu benar-benar benci jika membahas tentang keluarga, bertemu dan kembali berhubungan dengan hal yang ia anggap penghancur hidup.

"Evander, jawab gue! Datang ke rumah, temui Mama dan peluk dia."

Tetap tidak ada jawaban.

"Pulang, gue mohon sama lu!" titah Dion lagi, walau pun Evander tak menjawab kalimat, pria itu masih berharap Evander mengerti dan menyetujui permintaannya.

"Mama sayang sama lu, Evander," lirih Dion, sementara Evander masih saja diam.

Pria itu tak henti menjilat bibirnya yang kering.  Ia mulai memijit pelipis, entah apa yang dia pikirkan. Evander benar-benar terlihat berbeda.

"Evander, jangan pentingun ego lu. Kita semua sayang sama lu. Jangan hanya karena pikiran lu itu membuat lu nggak peduli sama sekali sama si apapun. Terkhusus Mama, walaupun bagaimana pun dia Mama kita. Peluk dia, dia butuh lu, Evander."

Evander menggeleng tidak terima, seakan Dion berada di hadapannya. Napasnya naik turun, Evander tidak setuju dengan kalimat yang baru saja ia dengar, Dion hanya omong kosong! Evander tidak sependapat dengan Kakaknya, itu bukanlah defenisi keluarga yang sebenarnya menurut Evander.

"Gue mohon sama lu, peluk dan tenangkan Mama kita."

"Gue bilang, gue nggak punya Mama!"  gertak Evander. Pria itu melayangkan satu pukulan pada lemari di hadapannya.

"Gue minta tolong dan sangat berharap Evander."

Tutt tutt

Evander mematikan sambungan telpon sepihak. Pria itu tak ingin lagi berbicara terlalu banyak. Ia menatap dinding tajam dengan rahang mengeras, lalu perlahan memejamkan mata.

ALENA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang