25. Jora?

208 18 4
                                    

Alena termenung di dalam kamar, gadis itu masih ingat dengan ucapan Evander. Ia tidak mencintai Evander, tetapi mengapa ia merasa sakit dan sesak saat itu? Bukankah ia sudah terbiasa mendengar cacian dan ancaman dari Evander? Bahkan orang lain di luar sana juga demikian. Akan tetapi, mengapa rasa sakit itu lebih menusuk?

Alena mendudukkan diri di tepi ranjang. Gadis itu kini sendiri di markas. Evander dan Irfan sudah pergi sejak beberapa menit lalu. Tidak ada yang bisa ia perbuat, takut pun ia tidak ada gunanya,  bukan? Dia tak akan pernah bisa keluar dari sana.

'Kenapa gue cinta sama lu, Alena?'

Pertanyaan itu, tak henti mengusik ketenangan Alena. Ia tidak tahu, pikirannya tidak memiliki satu arah. Pelukan Evander, mengapa Alena merasa nyaman malam itu? Mengapa pelukan pria itu jauh lebih hangat dari pada pelukan Dion yang terjamin ketulusannya?

Alena tersenyum getir."Apa yang sedang kau pikirkan, Alena? Dia bahkan jauh lebih buruk dari Dion. Dion yang selalu jadi sandaran, kenapa kau harus mengingat kehangatan Evander malam itu? Kenapa kau terlalu bodoh?"

Alena menangis, ia teringat tentang ucapan Evander. Malam itu Evander mengungkapkan perasaannya, Alena bingung dan tidak tahu harus bersikap seperti apa. Namun, jauh di lubuk hati Alena merasa ketenangan menyelimutinya. Harapannya Evander akan  berhenti bersikap seperti biasa dan mendambakan ketenangan.

Apakah Evander akan kembali seperti semula? Jika iya, kapan ia bahagia? Alena  benar-benar lelah.

Krakk!

Pintu terbuka kasar, sontak Alena terkejut memegang dadanya.

"Hai, manis?" sapa sebuah suara mendekati Alena. Pria itu mendekat dengan bayangan tubuh yang besar.

Alena membulatkan mata, sembari bangkit dari ranjang. "S—siapa kamu?" tanyanya gugup.

Alena menelan ludah setengah mati, gadis itu ketakutan di saat melihat pria dengan berpakaian serba hitam di hadapannya. Kakinya mulai mundur beberapa langkah, di saat makhluk itu mencoba terus mendekat.

Namun, pria hitam di hadapannya tertawa renyah, menertawakan Alena yang tampak ketakutan. Siapa dibalik topeng itu? Sosok itu sangat misterius.

"Berhenti!" pekik Alena was-was.

"Ayolah, ikut bersamaku, cantik!"

Alena meraih sebuah raket yang digantungkan, gadis itu melayangkannya berkali-kali di udara,  menjadikan benda itu sebuah ancaman. Akan tetapi, cara itu tidak mengubah situasi sama sekali. Alena semakin takut di saat tubuh hitam itu berdiri di hadapannya dengan memperlihatkan dua mata yang tajam.

"Kau galak sekali," celoteh pria itu dengan nada mengejek, ia mulai mengelilingi tubuh Alena. Bulu kuduk gadis itu berdiri.

Alena menggeleng dengan mata berkaca-kaca. Ia memegang dadanya yang sesak. Apa lagi ini, Tuhan?

Pria serba hitam itu merogoh sesuatu dalam saku celana, tampaklah sapu tangan berwarna putih abu-abu. Alena membulatkan, mencoba menjauh dan mundur, tetapi segera pria itu menarik pergelangannya. Ia mengunci tubuh Alena, menutup mulut gadis itu dengan sapu tangan.

"Kau lemah," bisik pria itu, sebelum akhirnya Alena pingsan da tidak sadarkan diri.

***

Evander dan Irfan hanya bisa menatap gerbang kediaman Geng Eglar, geng mafia yang dipiipimpin oleh Endres Nicholaas—pria yang Evander benci, sekaligus pria berusia empat puluh lima tahun yang baru saja Evander tahu kenyataan di balik hidupnya..

Evander tak henti memukul setiran mobil, pasalnya Irfan tak henti memperingati agar Evander terus memperhatikan situasi sebelum bertindak. Bukannya tidak suka dengan ucapan Irfan, tetapi pria itu sudah  bisa menahan kepalannya terus menerus untuk menghujam kasar pada kepala  Endres. Ya, itu tujuannya!

Evander menarik turunkan alis, pria itu terus berusaha agar bertindak sesuatu kesepakatan. Napasnya naik turun, bahkan ia juga menampakkan deretan gigi tajamanya.  Pulpen ditangannya kuremas kuat, hingga benda itu patah seketika.

Endres Nichollas, nama itu terngiang di pikiran Evander. Sebuah kenyataan yang baru saja ia ketahui. Evander tahu bahwa semua fakta akan jauh membuatnya lebih puas. Akan tetapi, mengapa usai mengetahui semuanya, Evander seakan menyesal untuk hidup?

Bagaimana bisa Endres adalah ayah kandungnya?

Tidak, tidak! Buang jauh-jauh pikiran itu. Evander menggeleng kuat-kuat. Ia benar-benar tidak bisa setuju dengan kenyataannya.

'Masih sama, keluarga adalah penghancur yang sebenarnya dalam hidup.' batin berakhir dengan dengkusan kasar.

Irfan yang melihat itu langsung merangkul bahu Evander. "Tenangkan dirimu, Evander. Kita pasti bisa selamatin Jora san yang lainnya," ujarnya meyakinkan.

Evander tak menggubris, pria itu malah kembali memegang setoran mobil kuat-kuat. Tatapan tajamnya tetap tertuju pada gerbang Markas Eglar.

Bugh!

"Lu emang bajingan, Endres," desis Evander memukul kaca jendela mobil.

Irfan hanya terdiam, membiarkan Evander melakukan hal yang membuat ia tenang. Ia tahu, Evander sedang emosi saat ini.

Tingg!

Satu pesan masuk. Irfan meatap Evander sekilas, lalu merogoh benda pipih itu dari dalam saku jaket. Detik berikutnya Evander menyerngitkan dahi kala melihat Irfan terdiam menatap.layar. Ada pesan Jora di sana.

@Jora
[Kalian pada ke mana? Gue tungguin di markas nggak ada. Ke mana aja?]
[Gue udah capek nungguin lu semua!”

Pesan itu mampu membuat Evander terdiam, pria itu menarik napas dalam, lalu segera menyodorkan HP itu tepat di hadapan wajah Evander. Evander membulatkan mata, ke menatap Irfan bingung.

“Bagaimana, bisa?”  tanyanya dengan tatapan tidak percaya.

Irfan mengangkat ke dua bahu. “Gue juga ngerasa semua ini aneh, Bos,” jawabnya, kemudian mendapat tatapan dan anggukan setuju dari Evander.

“Kita harus selesaikan semuanya secepat mungkin,” tukas Evander menatap Irfan intens, pria itu merapikan jaket hitamnya, lalu tanpa aba-aba ia keluar dari mobil-mobil dan mengunci pintu dengan sekuat mungkin.

________________

Jangan lupa vote dan comentnya, ya.❤️

ALENA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang