Hari ini Alena akan berangkat sekolah. Kali ini tidak sendiri, melainkan bersama geng Kairos. Memulai hari dan alur yang baru untuk Alena.
Awalnya Alena mengira ia tidak akan diberi kesempatan untuk melanjutkan sekolah lagi oleh Evander. Namun, semua diluar perkiraan. Alena boleh menjalankan aktivitas sekolah seperti biasa dengan syarat mematuhi peraturan Evander sebagai ketua Kairos.
"Jora, lu bareng sama Gino dan Jeffry make mobil." perintah Irfan Jora mengagguk. "Sama dia juga!" Evander menunjuk Alena.
"Lah, kok?" Gino menatap Evander dengan mulut menganga.
"Tugas lu awasi dia, Jora." Jora lagi-lagi mengagguk.
"Jangan sampai dia turun di depan gerbang, biar nggak ada yang curiga sama geng Kairos," peringat Irfan.
"Terus, gimana, Bos?" tanya Gino menatap Evander.
"Turunin dia sebelum nyampai gerbang."
***
Kini Alena masih berada di dalam kelas, padahal bel istirahat sudah berbunyi sedari tadi. Gadis itu terus saja melamun dengan tatapan kosong. Sepertinya ia memikirkan sesuatu.
Alena tidak mengerti untuk apa ia hidup. Takdirnya seakan berakhir pada kematian dalam waktu dekat. Gadis itu terluka, melihat dunia, keluarga, dan yang lainnya tampak tidak menerima kehadirannya.
Benda bening tiba-tiba terjun melewati pipi, melihat kisahnya yang begitu menyakitkan. Hari ini Alena tidak berteman ruangan gelap itu lagi, tidak harus bersusah payah menjauhi Rijal di pagi hari. Akan tetapi, ia harus hidup bagai di balik jeruji besi. Selama ini ia memang terkurung, tetapi saat-saat ini jauh lebih membuatnya semakin tidak memiliki jalan hidup.
Jika boleh jujur, sejahat apa pun Rijal, Setega apapun pria itu. Untuk saat ini, Alena rindu, gadis itu ingin melihat wajah ayahnya. Meski harus mendapati tatapan tajam nantinya.
Lama Alena melamun, memikirkan jalan apa yang akan ia pilih. Seperti apa nasibnya di waktu ini dan yang akan datang.
"Alena?" sebuah panggilan menghentikan tatapan kosong gadis itu. Alena menatap ke arah sumber suara.
"Kak Dion?" ucap Alena melihat Dion di ambang pintu.
Dion berjalan, mendekat dan duduk di samping Alena. Pria itu menatap Alena yang tampak pucat.
"Lu masih sakit?" tanyanya setelah berhasil duduk di sebelah gadis itu. Alena menggeleng.
"Fine? Tida terjadi apa-apa?"
"Tentu saja."
Dion menyerngitkan dahi, seakan tidak percaya. "Gue dengar, lu pingsan dua hari lalu karena ulah Marsya. Betulkah itu?"
Alena terdiam, gadis itu mengalihkan pandangan. Akan tetapi, Dion langsung menangkup dagunya dan menatap wajah itu intens.
"Jawab gue!" titah Dion. "Marsya orangnya?" tanyanya lagi.
Alena menelan Saliva dalam-dalam, kemudian mengangguk ragu.
"Sialan! Itu cewek memang iblis!" gerutu Dion dengan tatapan emosi.
"Gue bakal kasih pelajaran sama dia. Marsya benar-benar keterlaluan."
Alena menggeleng cepat, gadis itu langsung menangkup kedua jemari Dion. "Jangan, jangan lakukan. Kau bukan golongan mereka, jadi jangan lakukan hal yang sama, Kak."
Dion menggeleng. "Itu harus Alena. Marsya benar-benar keterlaluan."
"Nggak, Kak. Alena nggak apa-apa, semua akan baik-baik saja." Alena mencoba meyakinkan Dion, tetapi pria itu tampaknya tidak setuju.
"Aku akan baik-baik saja, selagi Kak Dion tetap ada menjagaku," ungkap Alena menarik sebuah senyuman tulus.
Dion terdiam, kali ini ia tidak menjawab tidak atau iya. Pria itu tidak mengerti, mengapa ada gadis sesakit dan seluka Alena? Mengapa Alena memiliki hati yang baik meski hati itu sudah sering dirobek oleh orang-oeang yang tidak tahu artinya perjuangan?
Tatapan Dion tidak beralih dari Alena. Ia memandangi setiap sisi wajah itu. Wajah seorang gadis yang sangat tangguh di matanya. Seorang ciptaan Tuhan yang selalu rapuh, tetapi memiliki kekuatan hati yang luar biasa.
Bagi Dion Alena adalah sosok yang penuh dengan perjuangan hidup. Ia tidak pernah menyangka bahwa gadis itu tetap bisa bertahan dengan segala ujian yang ada. Alena tidak pernah meminta untuk dijaga, tidak pernah berharap setiap orang mencintainya. Akan tetapi, gadis itu selalu mengharapkan cinta dari sang Ayah. Kasih sayang yang menurutnya jangan sampai hilang.
Namun, mengapa di saat cinta dan kasih sayang dari Ayah itu sudah jelas-jelas hilang Alena masih berharap besar? Bagaimana bisa ia mengharapkan cinta dari sebuah benda tajam yang mampu menusuk dan menghabisi nyawanya? Semesta seakan tidak bersikap adil padanya.
"Kak, apa kau marah padaku?" tanya Alena tiba-tiba, membuat Dion berhenti melakukan tentang perjuangan gadis itu.
"Nggak, nggak marah."
"Jujurlah, maafkan aku jika berbuat tidak sesuai perkiraan mu." Alena meminta maaf, berharap mendapat maaf dari Dion.
"Gue nggak marah, gue cuma merasa bangga bisa kenal dan dekat dengan manusia sekuat lu," ungkap Dion dengan senyuman tulus.
Alena membalas senyuman itu. "Aku juga bangga bisa mengenal pria sebaik Kak Dion."
"Gue bakal selalu ada untuk lu, Alena. Tetap menjadi wanita kuat, jangan peduli dengan orang di sana."
Mata Alena berkaca-kaca. "Kak, apa aku membuatmu kerepotan?"
Dion menggeleng. "Nggak, nggak sama sekali. Gue nggak pernah terbebani semua tentang lu." Dion mengusap kepala Alena lembut, matanya kini terasa berair.
"Makasih, Kak." Dion mengangguk, lalu memeluk Alena .
"Kak kenapa aku tidak melihatmu dua hari lalu? Kenapa kau tidak ada dalam seharian itu?" tanya Alena setelah sekuat mungkin menyimpan pertanyaan itu setiap malam tiba.
Dion terkekeh kecil, lalu melepaskan pelukannya. "Oh, hari itu aku ada pertemuan. Ada acara yang mengharuskan ketua OSIS untuk hadir."
Alena terdiam, perlahan ia mengangguk mengerti.
"Tunggu!" ucap Dion tiba-tiba, membuat Alena menatap Dion tidak mengerti. Namun, di saat tangan Dion mendekati kening Alena, gadis itu tampak gugup. Seaan tahu apa yang akan terjadi setelahnya.
"Kening lu kenapa?" tanya Dion, melihat sebuah luka di sana.
Alena langsung menjauhkan tangan Dion, lalu menutupi bagian jidatnya dengan poni. Gadis itu tampak gugup dan mencoba bersikap biasa saja.
"Jawab, itu kenapa?" Lagi Dion bertanya dan Alena hanya menggeleng.
"Disiksa sama Om Rijal lagi? Dia mau bunuh lu lagi? Nyiksa lu setelah lu pingsan di sekolah? Apa dia sekejam itu mejadinseorang Ayah?";tanya Dion beruntun, sementara Alena hanya bisa menggeleng dan kali ini matanya berkaca-kaca.
"Alena!" panggil Dion meminta penjelasan.
Alena menataap Dion, memperhatikan pria malaikat itu dengan tatapan sendu. Bibirnya yang pucat mulai bergetar kala mendengar pertanyaaan tentang keadaannya. Gadis itu mulai menarik napas, lalu membuangnya secara perlahan.
"Katakan dan jangan takut. Lu harus jujur," ucap Dion seakan tahu apa dibalik diamnya Alena.
"Bukan apa-apa, Kak."
"Katakan Alena," desak Dion dengan tatapan khawatir.
"I am Okay." Alena mencoba menarik senyuman, meyakinkan pada Dion bahwa ia baik-baik saja. Namun, pria itu hanya memandang Alena tanpa arti, kali ini ia tidak meminta jawaban lagi, melainkan hanya mengangguk dan memberikan usapan di kepala Alena.
Bel masuk berbunyi pertanda jam istirahat telah usai, Dion mengusap bahu Alena, seakan memberitahukan bahwa ia akan selalu ada. Tangannya mengangkat ke atas, memberi semangat, kemudian berlalu meninggalkan tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALENA (END)
Teen FictionHidup dengan segala kepahitan dan rasa sakit. Itulah kisah dari seorang gadis berusia 17 tahun-Alena-seorang remaja putri dengan teka-teki kehidupan yang sulit. Mengharapkan kasih sayang yang mustahil untuk ia dapatkan. Dirinya senantiasa disakiti...