Emosi hanya akan memperbesar masalah. Namun, mengalah bukanlah berarti tak mampu, tetapi tahu cara apa yang ampuh menyelesaikannya.
***
Plak!
Plak!
Wajah Dion dan Evander berhasil ditampar oleh Abimayu—sang Papa. "Kalian nggak ada rasa malu? Sebagai anak pemilik sekolah selalu membuat keonaran di sana?" Abimayu—menatap kedua pemuda berseragam itu penuh emosi.
"Pa, udah, ini semua bisa dibicarain baik-baik." Yuni datang menghampiri suaminya. Berusaha menarik pria itu menjauh, tetapi Abimayu melepas pegangan wanitanya.
Evander membuang napas kasar, menatap tajam ke arah wanita paruh baya dihadapannya.
"Gimana gak emosi, Ma? Mereka nggak berhenti buat masalah di sekolah."
"Iya, tapi kan Papa bisa ngomong dari hati ke hati." Wanita itu terus saja mencoba menjelaskan pada suaminya dengan suara lembut.
Abimayu terkekeh kecil, lalu menggeleng. "Bicara dari hati ke hati tidak akan mempan sama sekali. Apalagi sama Evander, anak ini selalu berbuat semaunya di sana."
Evander menatap sinis kala sang Papa menunjuknya dengan suara keras. "Urusan gue bukan urusan siapa-siapa!"
Abimayu membulatkan mata. "Lihat? Anak ini tidak luput dari keegoisan. Ia selalu membangkang. Kau lagi, Dion. Gak malu sebagai ketua OSIS? Kenapa selalu saja ada masalah di antara kalian berdua?" teriak Abimayu di hadapan kedua putranya.
"Hanya kesalah pahaman," jawab Evander dan Dion bersamaan.
Plak!
Plak!
Kembali tamparan mendarat di pipi bagian kiri kedua siswa SMA itu."Bangsat!" umpat Evander dengan tatapan tidak terima. Ia mengepal kedua tangannya dengan rahang mengeras. Berbeda dengan Dion yang terdiam memegang pipi yang kelihatan sedikit merah.
"Sudah berapa kali kau melakukan kesalahan? Tidak bisakah kau sadar diri? Hanya tamparan saja kau tidak terima. Kamu memang benar-benar tidak bisa bertanggung jawab dengan kesalahanmu, Evander!" bentak Abimayu menatap anak bungsunya dengan kesabaran yang sudah tidak tersisa.
"Bukan urusan siapa!-siapa!" kembali Evander menegaskan ucapannya.
"Evander, Papa peduli padamu, Nak." Yuni mulai mendekati Evander, tetapi langkah wanita itu terhenti di saat Evander mengangkat tangannya ke udara seakan menyuruh stop!
"Tidak usah ikut campur, gue gak butuh kalimat apapun dari lo!" Evander mengalihkan pandangannya setelah mengucapkan dengan lantang.
"Evander!" pekik Abimayu.
"Sudah, Pa. Biarkan Evander menenangkan diri dulu," Yuni mengelus bahu suaminya.
"Mama benar, Pa. Biarkan Evander sendiri dulu. Nanti Dion yang memberitahu, kami berdua akan saling instropeksi diri."
"Tidak, tidak! Dia sudah snagat tidak sopan!"
"Biarkan mereka meredakan emosi dulu, sekarang Papa juga harus meredakannya." Yuni mulai menarik tangan Abimayu, mengajak pria itu untuk melangkah menuju kamar.
Abimayu menggeleng sembari tersenyum menolak. "Tidak bisa begitu, Ma, Dion. Selalu saja begitu, untuk saat ini tidak. Anak ini sudah keterlaluan, sejak dia memutuskan hidup dengan geng jalanan itu, sikapnya sama sekali tidak memiliki sopan santun. Apalagi sekarang dia sudah menjadi pemimpin, otaknya bagaikan batu yang selalu merasa kuat. Tidak sadar, bahkan tetesan air mampu menghancurkannya seiring waktu."

KAMU SEDANG MEMBACA
ALENA (END)
Fiksyen RemajaHidup dengan segala kepahitan dan rasa sakit. Itulah kisah dari seorang gadis berusia 17 tahun-Alena-seorang remaja putri dengan teka-teki kehidupan yang sulit. Mengharapkan kasih sayang yang mustahil untuk ia dapatkan. Dirinya senantiasa disakiti...