3. Tamparan

163 15 2
                                        

Kelemahan yang terpancar dari seseorang adalah kekuatan yang tertanam dari dalam. Bersabar dan ikhlas, percaya mampu bertahan tanpa bantuan. Mandiri dan kebal dengan semua luka yang sebenarnya sangat menyiksa.

Semangat, ya, untukmu yang terus bertahan menerima luka dan cacian. Kamu sosok yang kuat!✊🏾♥️

Oke langsung aja kita lanjut ceritanya, ya.😍🤗🥰

***

"Evander ...." Alena menatap pria di hadapannya.  Ia menggigit bibir bawah, lalu menunduk tanpa menjawab tawaran itu. Takutkah dia?

Alena hanya berdiam menatap sepatu di hitam itu sendu. Hati Alena sakit, perasaannya kembali was-was.

Kini Alena harus berhadapan dengan Evander Agrabintha—seorang badboy di sekolah— lelaki yang selalu senang melihatnya terluka. Entah dengan alasan apa, Evander terlihat sangat benci terhadap gadis di hadapannya.

Evander berjongkok, lalu memegang wajah Alena kasar. "Bisu?"

Alena menggeleng cepat. Dia benar-benar takut saat ini, apakah dia harus berhadapan dengan Evander setelah baru saja bebas dari serangan Rijal?

"Bersuaralah ...." ujar Evander dingin. Namun, Alena tetap saja terdiam tanpa membalas tatapan Evander.

"Cium sepatu gue!" titahnya dengan penekanan.

Evander menatap kesal, melihat tidak ada respon dari Alena yang setia menunduk ke arah sepatunya.

"Membantah?" pertanyaan itu benar-benar terdengar pelan, tetapi menakutkan.

"Cium sepatu gue!" teriak pria itu tepat di telinga Alena. Alena yang terkejut memejamkan mata, tubuhnya kini benar-benar bergetar hebat.

"Evander, tolong jangan lagi ...," lirih Alena menahan tangan Evander.

Evander tersenyum sinis, lalu menghempaskan wajah Alena kasar. "Bodoh!"

"Lu terima tawaran gue apa nggak?" Alena menatap Evander lesu. Perasaannya begitu hancur saat ini, mengapa dia harus mendapatkan perlakuan kasar disetiap waktunya?

"Cium sepatu gue!" sentak Evander mengulangi kalimat itu dengan wajah emosi, membuat Satpam kembali menghampiri gerbang.

"Eh ... ada apa ini?" Evander memutar mata malas, kemudian berdiri.

Kembali Evander menatap Alena sekilas, lalu memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Saya ingin masuk, Pak."

Satpam tampak membulatkan matanya. "Eh,  tidak boleh begitu Nak, Evander," cegah satpam menahan pintu gerbang.

"Kenapa? Ada yang salah?" Evander menaikkan sebelah alisnya.

"Bukan begitu, disekolah ini tidak ada peraturan menghapus hukuman untuk murid tertentu. Seperti Nak Evander, misalnya. Tidak akan ditiadakan hukuman, meski Nak Evander anak pemilik sekolah ini."

"Gue bilang, buka gerbangnya!" Evander menendang gerbang kuat.

"Maaf, Nak Evander. Saya benar-benar tidak bisa membukanya. " Satpam itu masih menahan gerbang dengan sedikit menundukkan kepala.

"Ck!" Evander berdecak kesal, lalu menatap tajam ke arah Alena.

Alena lagi?

"Maaf Nak, Evander." Satpam itu bersuara lagi, melihat Evander yabg masih berbalut emosi.

Evander memegang pintu gerbang, lalu menatap sinis ke arah Satpam. "Bapak tahu?" Satpam menggeleng ragu.

Evander mendengkus kasar. "Saya terlambat karena Alena!"

ALENA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang