Pagi-pagi sekali, Seokjin berjalan menuju suatu ruangan yang entah bagaimana nanti reaksi si empunya, ketika melihat keberedaan Seokjin disana.
Sesampainya didepan pintu kamar, dengan sedikit tampak berfikir, Seokjinpun memutuskan untuk mengetuk pintu kamar berwarna coklat khas kayu jati itu.
"Masukk" suara seorang wanita dari dalam.
Kala pintu terbuka, Seokjin dapat melihat Wina yang tengah bersender diatas kasur dengan mata sembab dan wajah yang tampak murung.
Sang adik cukup terkejut mendapati kakaknya -yang berstatus sebagai Sultan itu- kini berada dihadapan dirinya yang terlihat kacau, ia pun dengan segera berdiri dan menunduk hormat.
Seokjin segera duduk diatas sofa, diekori oleh WIna dibelakangnya. Jujur saja, Seokjin sebenarnya tidak sampai hati, mengingat sepertinya, dirinyalah penyebab kesedihan sang adik sulung.
Wina tak berani menatap Seokjin. Wina tak berani mendengar apa yang akan Seokjin sampaikan padanya.
"Wina, kau marah padaku?" Ucap Seokjin lembut.
Wanita tersebut hanya bisa menggeleng. Apa kuasa Wina, untuk bisa marah atas keputusan seorang Sultan?
Seokjin perlahan mengelus surai sang adik dengan lembut, menyalurkan rasa aman dan nyaman pada Wina.
"Maafkan aku ya, karena harus mengambil keputusan ini"
Wina menggeleng dengan cepat. netranya mulai berkaca-kaca kembali, namun ia masih betah untuk tertunduk.
"Tidak, kak. Keputusanmu tidak salah. Ibuku telah bebruat kesalahan yang fatal"
Dengan lembut, Seokjin mengangkup kedua pipi Wina, untuk ia hapus bulir bening yang keluar dari pelupuk matanya.
"Kau Sultana sulung disini. Kita diamanahi Tuhan sebagai pemegang kekuasaan Dinasti Savatan.
Bagaimanapun, semua orang harus melihat bahwa hukum akan ditegakkan tanpa pandang bulu, adikku.
Aku harap kau mengerti ya. Aku tahu, ibu kandungmu tidak bisa tergantikan.
Tapi kau juga tidak boleh lupa, bahwa ibuku juga ibumu. Kau memiliki aku sebagai kakakmu, wali mu, yang akan berusaha untuk selalu melindungimu.
Dan juga kau memiliki banyak adik yang harus kau jaga. Kau harus tetap kuat"
Jemari Seokjin kini menepuk bahu sang adik dengan lembut.
"Kehilangan seseorang yang berarti sungguh menyakitkan. Menangislah ketika kau merasa sedih. Itu tidak dilarang sama sekali.
Tapi jangan sampai kau terlarut didalamnya, adikku. Dan jangan pernah memandang kakakmu ini sebagai pembunuh ibumu,
karena saat memberikan perintah eksekusi, aku adalah seorang pemimpin yang harus menghukum mereka yang bersalah sesuai peraturan,
aku juga korban karena saat itu ibumu berusaha membunuhku, aku adalah pria dari wanita dan anak yang ingin ibumu bunuh,
serta aku adalah anak dan kakak dari ibu dan adik yang mau dibunuh ibumu. Jadi mengertilah"
Mendengar penuturan sang kakak, Wina semakin menyadari posisi Seokjin. Wina semakin menyadari mengapa Seokjin mengambil keputusan ini.
Dan untuk kesekian kalinya, Wina kembali menyadari seberapa besar perbuatan sang ibu.
Kini Wina hanya mampu menangguk pelan setelah mendengar petuah Seokjin. Ia menarik nafas perlahan lalu menghembuskannya, ia berusaha untuk menerima takdir.
Menghadapi kenyataan jika nanti, setelah ibadah siang, ibunya akan dieksekusi di tengah lapangan istana.
Segera, Seokjin memeluk sang adik singkat, namun cukup hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Golden Era [Jinrene & Bangtanvelvet] ✔️
FanficHarta. Tahta. Wanita. 3 Kata yang menggambarkan kisah Seokjin bersama ke enam pengawalnya. Selamat datang di kehidupan Dinasti Savatan, tempat dimana Sultan dan Sultana memimpin generasi ini pada masanya. Tolong jangan terbutakan oleh kilauan berlia...