1 minggu telah berangsur dari kejadian hari itu. Situasi disana berjalan cukup normal bagi setiap orang. Tapi mungkin bagi Yohan, apa yang terjadi belakangan ini adalah hal baru yang ia alami.
Bagaimana tidak. Kini ia adalah seorang pasha yang membantu Namu mengemban tugasnya. Namun khusus untuk hari-hari belakangan, ia menggantikan tugas sang Grand vizier karena Namu belum pulih total.
Oh iya, berkaitan dengan pernikahan. Belum ada satupun yang tahu mengenai itu, bahkan Wina sendiri. Karena Seokjin dan Yohan sengaja menunggu jeda, agar setidaknya Wina sudah mampu bangkit dari keberkabungannya atas sang ibu.
Malam ini, Sultana bersurai panjang dengan anak-anak rambut yang turut tertiup angin, kini sedang memainkan biolanya dengan lihai dan penuh penghayatan, di balkon istana.
Lagi-lagi balkon istana. Rasanya seperti tidak ada tempat lain bagi Wina untuk bersantai. Tapi memang seperti itu, karena tempat ini adalah tempat terindah dan ternyaman untuknya.
Dan satu rahasia lagi , hanya gadis itu yang tahu. Ia menyukai tempat ini karena Yohan aga juga sering berkunjung kesini. Sepertinya tempat ini sama-sama menjadi favorite keduanya.
Entahlah. Setiap kali sang Sultana bertemu dengan sang aga, rsanya kebahagiaan dalam relungnya membuncah.
Saat saling berbincang atau hanya terdiam menikmati semilir angin dan pemandangan dihadapannya bersama Yohan, Wina dapat merasakan degupan jantungnya sendiri yang menggema sampai ditelinganya. Sungguh gila memang.
Kala Wina menyadari kehadiran seseorang disampingnya, wanita itu segera menghentikan alunan merdu biola yang ia mainkan, dan dengan semangat menghadap kearah seseorang tersebut, tanpa melepaskan senyum.
"Yoh--Kak Seokjin?"
Seokjin terkekeh melihat adiknya yang sepertinya telah mengharapkan kehadiran orang lain, alih-alih kakaknya sendiri.
"Kau kecewa karena aku yang datang, hah?"
Wina berusaha menyembunyikan fakta tersebut.
"Ti-tidak. Memangnya siapa lagi yang bisa kuharapkan?" Kata WIna dengan senyum kecutnya. Menyadari jika seorang Sultana tidak diperbolehkan memiliki rumor dengan laki-laki lain kecuali dengan laki-laki yang sudah ditentukan.
"Yohan, misalnya" Timpal Seokjin sembari menaik turunkan alisnya.
"Kakak bicara apa sih"
Seokjin mengalihkan pandangannya kearah gemerlap kota dan laut dari tempatnya berdiri. Balkon kamarnya memang lebih besar dan memiliki pemandangan serupa,
namun semilir angin laut justru lebih berhembus dan lebih terasa sejuk di tempat ini.
"Wina, kau tidak lupa kan? jika aku bukan hanya seorang Sultan, tapi juga kakakmu."
"Tentu saja" Kata sang adik yang tidak pernah lepas dari pemandangan didepannya.
"Jadi, jika kau ingin menceritakan sesuatu, aku akan selalu siap mendnegarkan.
Apapun termasuk perasaanmu"
Wina kini menatap Seokjin heran. Tidak biasa-biasanya sang kakak berbicara seperti itu.
"Apakah itu semua akan berarti, kak? Maksudku.. hei lihatlah posisiku.
Aku hanya seorang Sultana yang harus menerima takdirku, tentang siapa yang nantinya akan kakak jodohkan. Memangnya aku bisa memilih?" Wanita itu tersenyum getir mengucapkannya.
"Itu berlaku di era Sultan-sultan sebelumku, adikku. Di era ku, mungkin saja berbeda?"
Wina sama sekali tidak mengerti, kemana arah pembicaraan Seokjin kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Golden Era [Jinrene & Bangtanvelvet] ✔️
FanfictionHarta. Tahta. Wanita. 3 Kata yang menggambarkan kisah Seokjin bersama ke enam pengawalnya. Selamat datang di kehidupan Dinasti Savatan, tempat dimana Sultan dan Sultana memimpin generasi ini pada masanya. Tolong jangan terbutakan oleh kilauan berlia...