Yohan Pov.
Sudah 1 jam aku terlelap di kamar yang nyaman ini. Kamar yang dipersiapkan atas perintah sehzade Seokjin untukku. Namun suara riuh, yang aku terka berasal dari aula istana berisikan para pelayan dan selir sultan, membuat tidur berkualitas ku terganggu.
Dengan malas aku membuka pintu untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi. Bahkan aku bertanya kepada penjaga yang berdiri beberapa meter dari kamarku.
"Apa yang terjadi?" tanyaku sembari mengumpulkan nyawa.
"Sultan Seyaze telah wafat. Semoga arwahnya tenang di sisi-Nya. Dan sehzade Seokjin telah naik tahta"
Diriku mematung mendengar penuturan aga tersebut. Rupanya hari dimana beban duniawi terpikul di pundak Seokjin telah datang. Aku akan segera menghampirinya.
----
Third pov.
Hari demi hari kian berganti. Usai pemakaman Sultan Seyaze, Dinasti mengumumkan hari berkabung bagi rakyatnya selama seminggu. Selepasnya, Istana akan membagikan emas dan juga makanan, sebagai bentuk perayaan kecil naik tahtanya Seokjin, sekaligus untuk menghibur para rakyat atas meninggalnya Sultan terdahulu. Begitulah kiranya adat turun temurun disana.
Seperti malam ini, Seokjin dan Yohan sedang memandangi megahnya kembang api yang diluncurkan sebaga tanda perayaan rakyat untuk Seokjin. Dari balkon istana, mereka dapat merasakan hembusan aingin laut bosphorus yang melenakan. Udara dingin tak absen untuk menyapa mereka sedari tadi.
"Lihatlah, para rakyatmu mendoakan keberkahan untuk mu dalam menjabat di eramu. Semoga apa yang kau targetkan akan segera tercapai" Kata Yohan sembari tak melepaskan pandangannya dari kembang api megah di langit.
"Aku harap begitu. Dan kau akan terus menemaniku memimpin Dinasti ini. Itu bukan permintaan melainkan perintah."
Kini Seokjin menyeruput teh camomile yang sedari tadi ia pegang. Matanya menatap lurus kedepan seolah mencari masa depan yang akan datang kepadanya.
"Maafkan aku jika lancang, apakah kau sudah memikirkan siapa yang akan mendampingimu sebagai grand vizier?"
Tidak. Yohan tidak bermaksud lancang atau menginginkan jabatan itu. Mengingat banyaknya jenjang yang harus ia lewati untuk sampai di jabatan paling tinggi setelah Sultan. Ia bertanya karena murni penasaran, siapa yang akan membantu Seokjin kelak.
"Menurutku, Namu Pasha masih sangat berkompetn untuk jabatan itu. Bagaimana pendapatmu?" Kini Seokjin mengalihkan pandangannya kearah Yohan.
"Bagus. Kukira Namu Pasha adalah orang yang tepat".
Perbincangan mereka terhenti setelah ada aga yang masuk dan berdiri sembari menunduk dibelakang mereka berdua.
"Bicaralah" titah Seokjin.
"Sultan, sesuai permintaanmu, kami telah memanggil Nona Irene dan Nona Irene telah menunggumu di depan pintu"
"Baiklah, kau boleh meninggalkan ruangan ini" perintah Jin untuk penjaga kamarnya tersebut.
"Seokjin, sepertinya aku harus pergi hahaha. Selamat bersenang-senang" Yohan berkata sembari menghindari pukulan Seokjin.
"Aku tidak akan kaget jika sebentar lagi ada pengumuman kehamilan Irene, mengingat sudah seminggu berturut-turut ia menemani setiap malammu" Kalimat Yohan berhasil membuat wajah hingga telinga Seokjin memerah.
"Hei, keluar sajalah kau dari kamar ini. Pergi pergi" Seokjin put menunjukkan rawut kesal bercampur malunya akibat digoda Yohan.
Yohan pun menunduk sebagai tanda hormat, kemudian pergi dengan kekehan kecil menghiasi wajahnya, akibat puas menertawai Seokjin.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Golden Era [Jinrene & Bangtanvelvet] ✔️
Fiksi PenggemarHarta. Tahta. Wanita. 3 Kata yang menggambarkan kisah Seokjin bersama ke enam pengawalnya. Selamat datang di kehidupan Dinasti Savatan, tempat dimana Sultan dan Sultana memimpin generasi ini pada masanya. Tolong jangan terbutakan oleh kilauan berlia...