5. Si Kekar.

1.9K 126 389
                                    

"Tadi aku telat pulang kerja, karena hujan deras dan aku tunggu agak reda. Begitu sampai kos semua barangku udah di teras, sebagian basah. Kucingku juga di luar, untung dia nungguin aku dan gak lari kemana-mana," lanjutku.

"Ini nggak bisa dibiarkan. Kalau ada waktu luang, aku antar ke rumah Om Ivan. Kamu ceritakan semuanya," kata Ares.

Ucapan Ares membawaku kembali dari nostalgia tentang si Minah, dan aku mengangguk.

"Kamu kerja di mana?" tanya Monik.

Aku menoleh ke arahnya, "Bonita cafe, di Jalan Lebak," jawabku.

"Nyambi kuliah?" tanyanya.

Aku mengangguk, "Ambil Sastra Inggris di Unair."

"Semester berapa?" tanya Ares.

"Enam, aku memang telat setahun kuliahnya karena dulu harus urus ibuk yang lagi sakit," kataku. Mereka berdua manggut-manggut.

"By the way ... berapa tarif bulanan untuk ngekos di sini?" tanyaku tanpa sungkan. Kalau memang akadnya ngekos, aku harus tanggung jawab dengan biayanya, dong!

"Kemaren di rumah On Ivan, kamu ditarik berapa?" tanya Ares.

"Enam ratus ribu sama listrik dan air—"

"Ya udah, segitu aja," potong Ares.

"Lho, tapi kamarnya kecil dan fasilitasnya jauh daripada kamar yang aku dapat di sini," protesku.

Ares menggedikkan bahu, "Well, it's okay. I'm rich already. (Gakpapa, aku udah kaya.)"

What?!

"Ngoook!" Monik mengeluarkan suara babi.

"Gak sopan, Monik Raven Lukito!" semprot Ares.

"Sorry, abis songong banget," sungutnya.

Ares menahan tawa, "Ya udah, makan dulu. Aku tau kalian belom makan, keburu dingin."

Kami pun makan dalam diam.

Tanpa diduga, terdengar suara aneh seperti seseorang sedang mengharumkan kukunya ke sebuah karpet tebal. Aku refleks menoleh ke belakang dan menemukan Pippo sedang mencakari punggung sofa kulit di ruang tamu.

"Astaga, nakal! Nggak boleh gitu!" teriakku sambil lari dan menggendongnya. Monik ngakak. "Tunggu aku selesai makan dulu, terus cuci piring. Udah, diem aja di sini," omelku pada kucing gendut yang sekarang duduk diam di pangkuanku.

"Itu Pippo?" tanya Ares.

Aku mengangguk, "Kok tau?"

"Ya ampun. Dulu aku dikasih klien, tapi karena waktu itu gak bisa rawat, aku kasih ke Renata. Gembrot banget dia sekarang, dulu kecil banget," katanya.

"Oh my God, Pippo is finally got to meet his long lost father! (Ya ampun, Pippo akhirnya ketemu bapaknya!)" kata Monik dengan nada dramatis. Ares memutar bola matanya. Aku tertawa.

Setelah selesai makan, Ares mengambil Pippo dari pangkuanku sementara aku mencuci peralatan makan yang kotor dan Monik asyik menikmati beer-nya. Kulihat Ares menggendong Pippo dengan sayang, memperlakukannya seperti bayi. Pippo malah bergelayut manja padanya.

"Hun, what makes you so long(Sayang, kok lama)?" tanya seorang perempuan.

Aku yang baru saja selesai mencuci piring, mengelap tanganku di lap micro fiber yang tergantung di dinding samping bak cuci piring lalu membalikkan badan, menemukan perempuan bule tinggi dengan mata biru dan rambut panjang bergelombang berwarna pirang berdiri di ujung tangga. Dia lebih tinggi daripada cewek kebanyakan, hampir setinggi Ares, mengenakan tanktop longgar warna abu-abu yang dipadukan dengan celana training berwarna senada, memperlihatkan lengan yang kekarnya melebihi milik Ares.

Om KosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang