6. Si Om.

2.1K 117 223
                                    

Perhatianku kini tertuju pada Ares yang berjalan ke arahku, aku menyentuh rahangnya untuk mengecek seberapa parah robekan di bibir bawahnya. Robekannya nggak panjang tapi berdarah. Mata hijaunya menatapku lekat-lekat dan jakunnya naik turun pertanda dia menelan ludah.

Baru aku sadar. Kan dokternya Monik, ya? Kok jadi aku sih yang disuruh rawat luka Ares? Sengaja nih kayaknya mereka bikin aku dekat-dekat sama Ares. Lemot banget aku baru nyadar sekarang. Jantungku dag dig dug gak karuan.

"Ares duduk dulu, aku cariin waslap," suruhku, lalu ngeloyor masuk rumah.

"First Aid Kit di rak dapur atas yang paling kiri," katanya yang berjalan di belakangku.

Aku menghampiri rak paling kiri dan membuka pintu gesernya. First Aid Kit ada di rak paling atas. Gak nyampe, njir!

'Manjat kursi pantry aja, deh!'

Aku balik badan untuk mengambil kursi, dan menemukan Ares berada tepat di belakangku kemudian maju selangkah hingga tubuh kami hampir bersentuhan. Rasanya aku bisa mendengar debaran jantungku sendiri saking kencangnya.

Tak bisa kuhindari melihat dada bidangnya di depan mataku, karena saat ini lebar tubuhnya menutupi seluruh pandanganku. Entah kenapa aku ingin mengulurkan tanganku dan menyentuhnya. Kurasakan wajahku panas karena malu dengan pikiran mesumku sendiri dan kupejamkan mataku. Sedetik kemudian dudengar tawa kecilnya dan kubuka mataku, dia tersenyum jahil sambil menyodorkan first aid kit padaku.

"Makasih," gumamku, yang tak direspon olehnya karena sudah keburu jalan ke arah pantry untuk duduk di salah satu kursinya.

Aku mengikutinya, menyeret kursi di sampingnya dan duduk menghadap pria yang kini memegang mangkuk minum Pippo dengan wajah heran.

"Sorry, itu punya Pippo. Aku mau isi air minumnya lalu dengar rame-rame di luar, jadi lupa," kataku.

"Oh," gumamnya singkat lalu meletakkannya kembali di atas meja.

Kuteteskan alkohol 70% ke sebuah kapas bola lalu mengulurkan tanganku ke wajahnya. Dia sama sekali nggak bereaksi ketika alkohol menyentuh lukanya, padahal aku tau pasti kalau rasanya perih sekali.

"Ngga perih?" tanyaku, dan mata hijaunya tertuju padaku.

"I can handle it(bisa ditahan), Mariska," katanya

Detak jantungku rasanya berlompatan tak teratur. Apa-apaan badanku ini? Bisa-bisanya bereaksi begini pada seseorang yang baru saja kutemui kemarin hanya karena caranya mengucapkan namaku terdengar berbeda dengan cara orang lain memanggilku.

Aku menganggukkan kepalaku dan melepaskan kapas dari bibirnya, lalu bangkit ke arah kulkas untuk mengambil sebuah es batu yang kumasukkan ke dalam lipatan waslap, dan kuberikan padanya.

"Kompresin, aku belom cuci tangan," katanya malu-malu.

'Eh? Was he trying to be cute?'

Kuturuti kemauannya dan untuk sesaat aku merasa canggung. Nggak tau harus ngomong apa.

"Ares umur berapa?" kuutarakan pertanyaan apa pun yang terlintas di benakku untuk mengusir kegugupanku.

"Tebak aja," jawabnya setelah terdiam selama beberapa detik.

"Hmm ... 35?" tebakku.

"Not even close(jauh)," gumamnya.

"Wow! Older?" tanyaku, dan dia cemberut.

"29," jawabnya. Gak setua yang kupikirkan.

"Oops, sorry," kataku sambil menahan tawa.

"Oke, udah cukup. Aku harus mandi dan siap-siap kerja," katanya dan aku menarik waslap dengan es batu yang sudah mencair dan terserap ke pori-pori kainnya, membuatnya basah. Kubawa waslap tadi denganku untuk kucuci, akan kukembalikan padanya setelah bersih.

Om KosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang