24. Dendam.

609 57 105
                                    

Melihat Mariska dalam kondisi itu, Ares merasa marah sekali. Ingin rasanya dia menghancurkan semua benda di kamar itu, hanya saja dia tak mau menakuti Mariska lebih dari ini, sehingga ditahannya.

"Mandi dulu. Aku siapin baju ganti di atas tempat tidur, ya?" tanyanya lembut. Mariska mengangguk dan berjalan memasuki kamar mandi tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Ares mengambil setelan piyama satin dengan lengan dan celana pendek berwarna powder blue, juga sebuah celana dalam dan bra berwarna putih. Pikirannya traveling membayangkan Mariska dalam balutan setelan dalaman di tangannya, kemudian teringat kembali akan Mariska dengan pakaian yang sudah dirobek paksa, lengkap dengan lingkaran-lingkaran merah yang dia yakin sekali adalah bekas cupangan, yang sukses mengembalikan amarahnya.

Terdengar suara air mengalir di kamar mandi dan Ares keluar dari kamar Mariska. Dilihatnya Monik dan Anna duduk berhadapan di atas sofa, Monik sedang mengobati buku-buku jari Anna yang memerah dan bengkak. Rara duduk di karpet memperhatikan wajah Anna yang sesekali mendesis karena perih, dengan ekspresi lucu.

Ares duduk di samping Rara dan mendengus kesal. "What happened to her?" tanyanya sambil memejamkan mata.

"That scum ... he almost rape her," geram Anna. Monik dan Rara melongo kaget.

"Who?" tanya Ares, terlintas di pikirannya bahwa pelakunya adalah Dimas, tapi tak mungkin, karena Dimas ngakunya sayang pada Mariska.

"Dimas, it's written on his apron," jawab Anna. (Di apronnya tertulis nama, Dimas.)

Rara menutup mulut dengan tangannya seolah tak percaya. Monik melihat mereka secara bergantian. Ares mengepalkan tangannya.

"I will kill him," geramnya.

"He might has a broken nose and several fractured ribs by now," kata Anna. "No one could get away easily after messing with my family." (Aku gak akan diam aja lihat saudaraku disakiti.)

"Thank, Sis," ucap Ares sebelum menggendong Pippo dan kembali masuk ke kamar Mariska.

Mariska yang baru saja selesai mengancingkan atasan piyamanya, duduk di tepi tempat tidur. Ares melepas Pippo di lantai dan duduk di sampingnya.

"Udah makan?" tanya Ares.

Mariska mengangguk. Tadi Lia membuatkan dirinya seporsi pasta. Mereka makan bersama saat pengunjung sempat sepi setelah jam makan malam usai.

"Besok nggak usah kuliah dulu, ya?" tanyanya lagi.

Mariska mengangguk lagi, lalu naik ke tempat tidur dan berbaring. Ares menyelimutinya, mengelus rambutnya, lalu mengecup keningnya sebelum beranjak keluar.

"Jangan pergi, please ...," lirih Mariska.

"Are you sure?" tanya Ares.

"Mm-hmm, aku gak pengen sendirian," ucap Mariska lagi.

"Okay," jawab Ares. Dia pun berbaring di samping Mariska, mengambil salah satu tangannya dan mengecupnya, lalu menggenggamnya di atas dadanya.

"Aku takut ...," gumam Mariska yang mata sembabnya sudah terpejam.

"I'm here," Ares membalas, lalu menghela napas. "Asal kamu tau. Kalau tadi aku yang datang dan bukannya Anna, si Dimas itu sekarang pasti sudah tinggal nama aja," geramnya.

***

Mariska terbangun di tengah malam, dilihatnya Ares masih tidur nyenyak di sisinya. Dia teringat apa yang terjadi semalam dan air matanya menetes kembali. Pippo naik ke atas ranjang dan mengendus air matanya, lalu menggesekkan tubuhnya ke dagu Mariska untuk menghiburnya, kemudian meringkuk dan tidur di sisi Ares. Mariska beringsut mendekat untuk membaringkan kepalanya di atas dada Ares. Dia merasa lebih tenang dan terlelap kembali setelah mendengarkan irama teratur dari napas dan degup jantung Ares.

Om KosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang