Bik Minah sedang membayar ongkos pada bapak becak saat sebuah Alphard putih parkir dan berhenti di depan pagar. Bapak becak mengayuh pedal becaknya keluar dari halaman saat Bik Minah memperhatikan siapa yang keluar dari mobil mewah tersebut, dan wajahnya langsung pucat.
"Toloooooong! Tolooooong!" Teriakan melengking si bibik membahana.
Kami saling pandang selama sepersekian detik, kemudian Ares cepat-cepat menelepon seseorang.
"Bel, aku butuh back up. Satu tim ya, jalan Bulus nomor 58. Tolong cepet datang," katanya sebelum memasukkan ponselnya kembali ke saku celana. Beberapa detik kemudian para tetangga mulai berdatangan.
Ares meremas tanganku. "Tunggu di sini aja. Kalau sampek rusuh, kamu lari ke mobil sama Rara, pergi ke kantor polisi deket sini, cari temenku yang namanya Nobel," katanya tanpa menoleh padaku, membuatku cemas sekali.
"Kita ke kantor polisi sekarang aja," usulku.
"Aku gak bakal kenapa-kenapa, Mariska," katanya, lalu berdiri untuk mendatangi Om Ivan yang sekarang wajahnya semerah tomat.
"Gila, si Mas Om laki banget. Ketemu di mana Mbak? Kok nggak pernah dikenalin ke Rara?" tanya Rara dengan semangat. Sepertinya dia nggak sadar kalau massa sudah mulai berkerumun dan suasana jadi agak genting.
"Dia udah tau aku dari dua-tiga tahun belakangan, aku lupa tapi sama dia," jawabku.
"Halah, Mbak lho apa yang nggak lupa?" kata Rara.
Benar juga, aku memang sangat pelupa.
❤Mariska's POV, out.❤
***
Ares menghampiri Om Ivan dan Bik Minah yang kini mulai dikerumuni warga. Seorang pria muda dengan kaus merah dan celana pendek menyeruak di antara kerumunan dan bertanya, "Onok opo Buk Minah, kok tulung-tulung (Ada apa Bu Minah, kok minta tolong)?
Minah menghampiri dan memegang tangan pria tersebut. "Iki loh Pak RT, bapak iki teko-teko ngaku omah iki panggone de'e, aku arep diusir (Ini lho, Pak RT. Bapak ini datang-datang mengakui rumah ini sebagai rumahnya, aku mau diusir)!" serunya, lalu menangis tersedu-sedu.
Mulut Om Ivan menganga saking tak percayanya akan tuduhan Minah. Ares menepuk pundaknya dan si Om menoleh padanya, melihat Ares yang mengangguk padanya.
"Mas Dio," panggil Ares pada pria yang sekarang sedang merangkul bahu Minah yang sedang meraung-raung.
Yang dipanggil menoleh pada Ares, "Mas Ares, ini ada apa sebenarnya?" tanyanya bingung.
"Saya sudah panggil polisi, jaga-jaga kalau nanti ada keributan karena teriakan nggak beralasan Bu Minah tadi. Untuk sekarang, sebaiknya Mas Dio suruh masyarakat bubar dulu dan kita bicarakan dulu masalah ini baik-baik," kata Ares.
Minah terdiam dan pucat seketika saat mendengar kata 'polisi' yang diucapkan oleh Ares.
Dio mengangguk dan memberi tahu pada kerumunan supaya pulang saja, yang tentu saja tidak digubris oleh para tetangga yang selalu ingin tahu. Dio memapah Minah ke arah kursi teras, diikuti oleh Ares dan Om Ivan.
Mengetahui kedatangan mereka, Rara bangkit dari duduknya dan berdiri di belakang Mariska, sementara Ares duduk di sampingnya. Om Ivan duduk di samping Ares dan kursi di seberang mereka diisi oleh Dio dan Minah.
"Kita tunggu tim polisi dateng dulu supaya nggak terjadi hal yang aneh-aneh," tukas Ares, semua hanya diam mengiyakan.
Minah melirik tajam ke arah Mariska, dan berkata, "Iki mesti sampean sing wadul macem2 nang Bapak, nggarakno keluargaku arepe kilangan omah (Ini pasti kamu yang lapor tidak-tidak ke Bapak, bikin keluargaku terancam kehilangan rumah)!" bentaknya. Mariska hanya menatapnya polos, cukup kaget dengan tuduhan si Minah.
"Bu, sebelum saya kelepasan berkata nggak sopan, sebaiknya Ibu diam dulu," kata Ares lagi.
"Sampean iki sopone Mariska, seh? Mbelan-mbelani barang (Anda ini siapanya Mariska? Pakai bela segala)?!" bentaknya pada Ares.
"Saya calon suaminya. Lebih baik Ibu diam atau saya laporkan ke polisi yang sebentar lagi datang, biar Ibu dipenjara," ancam Ares.
"Oalah, ayu-ayu tibakno simpenane Om-om (Walah, cantik-cantik ternyata simpanan Om-om)!" sindirnya ketus.
Ares yang mulai kehilangan kesabaran hampir saja mengumpatinya, kalau saja Mariska yang saat ini hatinya sakit tak cepat-cepat menenangkannya dengan memegang tangannya dan menggeleng saat Ares menoleh.
Bunyi sirine mendekat dan tak lama kemudian sebuah mobil polisi parkir di samping mobil Ares. Lima orang berseragam cokelat keluar dari dalamnya dan salah satunya menghampiri mereka berempat, menyalami mereka satu-persatu dan duduk di samping Dio.
"Makasih udah datang, Bel. Gak kusangka kamu terjun sendiri," salam Ares saat menyalami Nobel, kawannya yang berpangkat Bripka.
Nobel mengangguk. "Ada yang akan menyampaikan permasalahan ini lebih dulu?"
"Ini lho Pak Polisi, saya mau diusir dari rumah saya sendiri!" sahut Minah sambil memegang tangan Nobel, lalu menangis terisak minta dikasihani. Nobel menarik tangannya, lalu menoleh ke arah Ares.
"Silahkan, Om," kata Ares mempersilakan Om Ivan untuk menjelaskan.
"Saya yang punya rumah ini, Mas. Minah ini pembantu rumah tangga di sini. Tanpa sepengetahuan saya, Minah menyewakan rumah saya dan mengajak keluarganya pindah ke sini sejak setahun yang lalu," cerita Om Ivan.
"Fitnah, Mas!—"
"Ibu tolong diam dulu!" Nobel memotong teriakan Minah. "Bapak punya bukti dan saksi?"
"Saya punya surat tanah dan PBB, ada di mobil. Saksi bisa panggil ketua RT sebelumnya, dan ada Mariska di sini," kata Om Ivan.
"Umm ... ketua RT sebelumnya sudah meninggal, Pak. Pemilihan mendadak diadakan 3 bulan lalu dan saya yang terpilih," sela Dio. "Mbak cantik bisa menjelaskan, mungkin?"
Ares agak kesal dengan sebutan Dio pada Mariska, tapi memilih diam.
"Silahkan, Mbak," kata Nobel.
"Anak Pak Ivan ini sahabat saya, tapi harus pindah ke Singapore 2 tahun yang lalu. Saya disuruh tinggal di sini oleh Pak Ivan dan almarhumah istrinya untuk mengawasi tempat ini. Tapi sejak istrinya meninggal dan Pak Ivan nggak pernah mampir lagi, Bu Minah menyewakan rumah ini dan ajak seluruh keluarganya tinggal di sini tanpa sepengetahuan yang punya rumah," kata Mariska.
"Bu Minah ini usir Mariska karena telat bayar sehari, Bel," sahut Ares. Minah pucat pasi dan tidak berani menyela lagi.
"Baik, sudah jelas permasalahannya di sini apa. Saya perlu bukti fisik surat kepemilikan tanah dan PBB untuk melanjutkan," kata Nobel, Om Ivan mengangguk dan menelepon sopirnya untuk menyerahkan dokumen tersebut padanya.
Setelah membaca dokumen-dokumen yang diserahkan, Nobel bertanya, "Pak Ivan mau membawa kasus ini ke ranah hukum, atau damai saja?"
"Saya lihat dulu damage yang dibikin si Minah di rumah saya, kalau dia mau ganti rugi dan kembalikan semua uang sewa pada yang ngekos, saya pilih jalur damai," jawab Om Ivan. "Dan tentu saja Minah dipecat."
Saat ini, Minah menangis dengan sangat pilu. Pipit, Puput, dan Riski menonton saja dari pintu rumah tanpa mekatakan apa pun.
Matahari sudah hampir tenggelam, menyisakan semburat cahaya jingga di ufuk barat.
"Baik, selain Pak Ivan, Bu Minah, dan Pak RT sebagai saksi, silahkan meninggalkan tempat ini," kata Nobel.
.
𝕁𝕒𝕟𝕘𝕒𝕟 𝕝𝕦𝕡𝕒
🇰 🇱 🇮 🇰⭐ 🇻 🇴 🇹 🇪
𝕕𝕒𝕟 𝕥𝕚𝕟𝕘𝕘𝕒𝕝𝕜𝕒𝕟 𝕜𝕠𝕞𝕖𝕟𝕥𝕒𝕣
KAMU SEDANG MEMBACA
Om Kos
Romance🔞🔞🔞 Cerita ini mengandung banyak konten dewasa, dark jokes, sarcasm, gore, you name it. Read on your own risk. Kalau masih merasa suci atau volos, jangan dibaca! ___________ "Mungkin ini cara Tuhan untuk mengajariku, bahwa Dia memang ada." Ares t...