10. Pernah Tau.0

973 76 103
                                    

Sepuluh menit kemudian, mobil Ares sudah terparkir di lahan parkir gerai Mekdi terdekat.

Kami berdua segera masuk ke dalam restoran dan mengambil posisi di belakang antrian untuk memesan makanan. Ada empat antrian di depan kami.

"Kok bisa kenal banget sama Om Ivan?" tanyaku.

"Sering kerja bareng," jawabnya singkat.

"Om Ivan punya perusahaan kontraktor, kan?" tanyaku dan Ares mengangguk. "Ares kerja apa?"

"Interior sama Acoustic designer."

'Wow,' batinku.

Antrian di depan kami selesai dengan pesanan mereka dan tiba giliran kami untuk memesan.

"Apple pie 6, big mac paket large 1 pakai cola float, paket panas 1. Mariska mau apa?" Ares memesan sebelum si mbak bertanya.

"Tripple cheese burger sama es milo," jawabku.

"Itu aja?" tanyanya dan aku mengangguk. "Yakin?"

"Iya, Areees," sahutku lalu tersenyum padanya, yang sebenernya adalah usahaku untuk menahan tawa melihat pesanannya yang bisa buat makan orang se-RT itu.

"Senyumnya manis banget, jadi pengen cium," gumamnya.

'Ares malu-maluin', batinku. Si Mbak customer service senyum-senyum melihat kami.

Kami membawa nampan masing-masing dan kubiarkan Ares memilih tempat duduk. Dia berjalan ke arah sudut restoran dan memilih tempat duduk di meja sudut dengan sofa siku, dan aku mengikutinya.

"Emang kenyang makan segitu?" tanyanya sambil melihat ke arah nampanku dengan heran.

"Kenyang. Aku normal," jawabku sambil menusukkan sedotan ke cup minumanku. Giliranku bertanya. "Emang cukup perutnya diisi segitu?"

"Hmm ... masih bisa nambah sih, ini," gumamnya sambil mencocol kentang goreng ke es krim dan memakannya. Aku melongo tak percaya atas jawabannya.

"Aku laper, Mariska," lanjutnya sambil mengunyah kentang.

Pria ini 7 tahun lebih tua dariku, dan brewokan. Tapi entah kenapa, bagiku tingkah lakunya menggemaskan sekali.

"Kenapa tadi gak sarapan?" tanyaku.

"Aku nggak biasa sarapan berat, biasanya cuma apel sama susu."

"Jadi tadi pagi nggak sarapan, karena apelnya dikasih ke aku?" tanyaku dan dia mengangguk. "Kalau sakit, gimana?"

"Aku nggak gampang sakit, kok." Jawabannya membuatku mendengus kesal.

"Oke-oke, mulai besok kita sarapan bareng," janjinya.

"Better," komentarku.

Kami fokus pada makanan masing-masing selama beberapa saat, walau pikiranku gak berhenti memunculkan pertanyaan baru tentang Ares. Dan karena dia sudah mengutarakan niatnya untuk mendekatiku, maka aku gak akan menahan diri untuk bertanya padanya. He better be ready.

"Boleh aku tanya?"

Ares mengangguk sambil menyeruput minumannya.

"Ares tinggal sendiri, keluarga di mana?" tanyaku.

"Aku belum berkeluarga, Mariska," jawabnya.

Aku memutar bola mataku. "Ya tau. Kalo kamu udah berkeluarga, ogah aku berduaan begini sama kamu, bisa-bisa dibilang pelakor," kataku sewot.

Ares tertawa kecil, lalu menghela napas panjang. Sejenak terpampang kesedihan di matanya.

"Gak punya," jawabnya, yang membuatku terdiam seketika.

Om KosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang