18. Pulang.

761 69 148
                                    

Rara terbatuk-batuk sementara aku melongo tak percaya dengan cerita yang kudengar barusan.

"Terlepas dari orientasi seks kami masing-masing, kalau lihat lawan jenis telanjang di depannya apa lagi dengan badan Monik yang perfect, pasti horny lah, aku aja turned on lihat Ares telanjang, sorry. Tau gak, he wasn't even hard (dia bahkan nggak 'bangun')! Makanya aku kira dia doyannya sama laki."

Astaga, gabutnya mereka ini emang beda, ya?

"By the way, kenapa kok kayaknya keluarga Mishka ngotot banget mau jodohin? Maksudku, mereka nggak lihat apa kalau anaknya masih muda dan cantik, jadi nggak perlu kuatir," tanyaku penasaran.

Monik tertawa, lalu mendahului Mishka yang masih sibuk mengunyah chicken nuggets. "Si cebol ini udah pantes Lu panggil tante kali, Mar! Taun depan umurnya udah 38!"

"Astaga! Nggak sopan banget aku. Maaf, Tante ...," ucapku sungguh-sungguh.

Mishka menelan makanan di mulutnya dan minum, lalu melotot ke arah Monik. "Bikin aku dipanggil tante sekali lagi, aku gundulin kamu!" geramnya, lalu menoleh ke arahku dan tersenyum. "Panggil Mishka aja, Mar."

Monik menjulurkan lidahnya pada Mishka, membuat Anna dan Rara tertawa.

'Antik-antik benar penghuni rumah ini,' batinku.

"Am I too late to join?" Kudengar suara Ares yang saat kutoleh ke sumbernya, berada di ujung tangga. Rambutnya masih basah setelah mandi dan dia mengenakan kaus dan bawahan piyama.

"Come here, bro," jawab Anna.

"Akhirnya pulang juga. Dari mana aja, Om? Tumben pulang jam segini," tukas Monik.

"Kerja. Habis itu ketemuan sama Nobel," katanya sambil berjalan ke arah kami.

"Oh, how is he doing? I didn't see him for months," timpal Anna.

"Same old, not happy with his job and grumbling about being a private detective," jawab Ares, Anna tertawa. Jelas sekali mereka sudah kenal lama, bahkan memiliki circle pertemanan yang sama.

Ares duduk di sampingku dan menyodorkan sebuah buket kecil tapi cantik yang terdiri dari bunga Daisy dan Baby's Breath. Aku menerimanya dan melihat dia tersenyum padaku.

Aku bahkan tak memperhatikan kalau dari tadi dia membawa buket ini. "Makasih ... kok tau aku suka Daisy?" tanyaku.

"Lucky guess," jawab Ares.

"Halah, paling lu stalking sosmed Mariska," cemooh Monik.

"Um ... Mbak Mari ndak pernah main sosmed," balas Rara. "Kalau Mbak Mari bikin akun, pasti bakal jadi selebgram karena followersnya cepet nambah."

"Nggak usah main sosmed, nanti kamu ditaksir cowok lain yang lebih baik dari aku, trus kamu terima dan aku patah hati," jawab Ares.

"Aaaaw, aku juga mau pacar romantis kayak Mas Om," ucap Rara.

Kutoleh Anna yang cepat-cepat menyembunyikan jempolnya yang barusan diacungkan pada Ares lalu bilang pada Monik, "Hun, I'm sleepy ...."

"Let's sleep after two rounds," jawab Monik sambil mengedipkan matanya pada Anna, membuatnya tertawa sementara Rara begidik ngeri. Melihatnya membuat Mishka dan Ares terpingkal.

Setelah Monik dan Anna memasuki kamar mereka dan pintunya ditutup, Ares berkata, "Untung aku bikin temboknya soundproof."

Rara dan Mishka tertawa. Kami tetap di sana sampai jam 11 lebih dan seluruh makanan habis. Setelah soda di kaleng milik Rara habis, dia menggeliat dan menguap lebar sekali.

"Rara tidur dulu, besok kuliah pagi," ucapnya sambil menggaruki pipinya yang benjol karena gigitan nyamuk, lalu berjalan untuk mengemasi sampah di sebuah kantong besar, meletakkannya di sudut ruangan, dan menaiki tangga ke lantai tiga.

"Aku juga harus siap-siap, jam 12 ada war," kata Mishka.

"Kapan kamu mau berhenti nge-game kayak bocah gitu, Ka? Cewek lain seumuran kamu udah sibuk mikirin keluarganya, lho," omel Ares.

"Nanti kalo aku mulai keriput dan gak imut lagi," jawab Mishka cuek sambil ngeloyor memasuki kamarnya, Ares menggelengkan kepalanya.

"Ares mau tidur juga?" tanyaku saat melihat wajah letihnya.

Ares tersenyum. "Kalau kamu tidur, aku juga," katanya.

"Aku harus ngerjain tugas dulu, besok di-print, lusa dikumpulin," jawabku sambil mengucek mata.

"Aku temenin, ya?" pintanya.

Aku mengangguk, lalu masuk ke dalam kamarku untuk meletakkan buket bunga tadi di atas meja dan mengambil laptop. Pippo yang sedang poop di litter box yang kuletakkan di kamar mandi hanya menoleh sebentar ke arahku sebelum melanjutkan kegiatannya.

Aku duduk di atas karpet, menyandarkan punggungku pada sofa dan menyalakan laptop yang kuletakkan di atas cooler pad di hadapanku.

Ares mengambil salah satu dari tiga bantal sofa bermotif bunga daffodil, lalu menatanya di sampingku sebelum meletakkan kepalanya di sana. Diletakkannya salah satu tangan melintang di atas pahaku. Beberapa detik kemudian dia sudah berhenti bergerak-gerak dan terdengar dengkur halus. Ares sudah terlelap.

Kulanjutkan mengerjakan makalah lalu membuat lembar presentasi. Mataku melirik ke sudut monitor dan menyadari kalau ini sudah jam satu lebih, untung sudah selesai, aku juga butuh istirahat.

Kusimpan hasil pekerjaanku dan kumatikan laptop, lalu meletakkannya di atas sofa. Kuangkat tangan Ares yang selama ini tetap berada di atas pahaku dan dengan hati-hati kuletakkan di depan tubuhnya. Melihat wajahnya yang tertidur pulas membuatku ingin memandanginya lebih lama, maka kuambil bantal sofa yang ada di atas sofa dan menggunakannya sebagai ganjalan kepalaku kala berbaring di hadapannya.

Entah kenapa ada perasaan sesak di hatiku, seolah aku sangat merindukan Ares, padahal dia ada tepat di depan mataku. Kuulurkan tanganku untuk menyilakkan rambut yang menutupi wajahnya ke belakang telinganya. Rambut hitamnya lebat dan lembut, dan tanpa sadar aku sudah mengelus kepalanya.

Aku menarik tanganku saat menyadari Ares membuka matanya. Sepasang mata hijau emerald yang sayu karena masih setengah tidur itu menatapku dan bibirnya tersenyum lemah.

"Chika sudah pulang," gumamnya pelan, tapi aku sangat yakin tidak salah dengar. "Maaf, Chika ...."

Chika?

Senyumnya beringsut memudar dan air mata menetes dari matanya. Menyaksikan ini, entah kenapa hatiku terasa sakit. Mungkin karena rasa empati pada Ares yang aku tahu sudah melalui hidup yang sangat berat. Namun, kenapa perasaanku mengatakan kalau bukan hanya itu?

Jujur saja bukan Ares orang pertama yang salah menyebut namaku.

Lima tahun yang lalu, aku sedang merapikan buku-buku setelah belajar. Entah kenapa dalam hidup kami yang sederhana, orang tuaku rela memilih mengeluarkan uang banyak supaya aku bisa bersekolah di rumah alias home schooling. Sejauh yang kuingat, aku sudah menjalani home schooling dari aku kecil. Ya ... walaupun aku nggak ingat betul tentang masa kecilku.

Dua tahun sebelumnya, kata Bapak dan Ibuk aku mengalami kecelakaan yang cukup parah dan membuatku kehilangan sebagian besar ingatan masa kecilku. Itu kata mereka, karena jujur aku sendiri lupa.

Kecelakaan itu membuat kepalaku terbentur cukup keras dan mengakibatkan trauma yang cukup parah, merenggut beberapa memoriku, dan membuatku sangat gampang lupa. Beberapa ingatan sudah kembali, dan gampang lupaku berangsur membaik dengan terapi dan seiring berjalannya waktu.

"Chika makan dulu, Mama sudah masakin Capcay tuh." Kudengar Ibuk berkata, aku menoleh dengan bingung ke arah wanita yang melahirkanku.

Chika? Mama?
Apa Ibuk sudah pikun?

Ibuk yang semula tersenyum, secara tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah seolah sedang ketakutan dan menangkup bibir dengan tangannya, seolah baru saja keceplosan salah bicara.

"Ma-maksud Ibuk, Riska makan dulu, keburu dingin dan gek enak," ralatnya buru-buru.

Aku berjalan ke arahnya, tersenyum dan memeluk wanita yang tak lagi muda, akan tetapi masih sangat cantik dengan gen blasteran Belanda yang diwariskan oleh Nana, caraku memanggil almarhumah nenekku.

"Iya, Ibuk cantik."

Om KosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang