8. Deja Vu.0

1.1K 101 228
                                    

Ares menoleh ke arahku. "Pake jaket, kita berangkat sekarang."

Aku mengangkat alisku untuk mengisyaratkan pertanyaan padanya, apakah dia memang serius ajak aku pergi atau cuma ingin menggertak Ruby, dan dia mengangguk. Dengan setengah hati aku naik tangga.

"Aku bantu pilihin outernya," kata Ares.

'Apa-apaan?'

Aku menoleh ke belakang, menemukan Ares yang berjalan menaiki tangga menyusulku, dan Ruby di belakangnya yang melongo tak percaya.

Masih berasumsi bahwa dia cuma bercanda, aku berjalan melalui Monik yang sedang duduk bersimpuh di atas karpet ruang tengah bersandar ke sofa, sibuk mengetik tugas kuliahnya. TV dalam kondisi menyala.

"Nik, bentar lagi ada kurir antar paket tolong diterima, ya? Aku mau keluar sama Mariska," kata Ares.

'Dia serius?'

Monik menoleh ke arah Ares dengan cengiran, "Cieeee, first date nih yeeee!"

Aku memelototinya dan memberikan isyarat supaya jangan nerusin ngeledek dengan menunjuk ke arah tangga. Monik menggumam 'Oops' saat melihat Ruby.

Ares menggandeng tanganku masuk ke dalam kamarku dan menutup pintunya. Gila kali, ini orang!

Kutarik tanganku dengan kesal dan protes. "Apaan sih, Res?! Kamu bisa bikin Ruby benci sama aku, tau nggak?"

"Kamu udah punya pacar?" tanyanya, tak menghiraukan kekesalanku.

"Ares, Ruby—"

"Iya atau nggak, Mariska," potongnya, membuatku kesal.

"Ares, kamu nggak seharusnya ada di dalam kamar cewek."

"Aku juga bingung aku ini kenapa, Mariska. Aku gak pernah merasa begini ke cewek, sama sekali. Aku gak bisa jauh-jauh dari kamu, rasanya seperti sudah lama kenal dan sayang sama kamu," katanya dengan ekspresi bingung yang nggak dibuat-buat.

"Kamu bisa tanya Monik yang udah bertahun-tahun tinggal di sini. I was fine, sampai kamu datang," lanjutnya. "Aku gak akan tahan diri. Kusampaikan niatku untuk mendekati kamu sebagai pria ke wanita dan akan berusaha bikin kamu jatuh cinta sama aku. Aku suka kamu," setelah itu, dia diam dan duduk di tempat tidur, mengelus Pippo yang sedang tidur.

"Bukannya ini terlalu cepat, ya?" tanyaku.

"Aku nggak peduli," balasnya.

"Aku nggak punya pacar," gumamku.

"Good. At least aku nggak perlu rebut kamu dari siapa pun," katanya tanpa menoleh padaku.

"Tapi kamu kan, bapak kosku."

"So?" tanyanya dan menoleh ke arahku.

"Aku tetep mau bayar kos tiap bulannya," jawabku. Ares tertawa sambil mengangguk.

"Gak usah ganti baju, pakai itu aja sama outer. Kamu cantik pakai itu," katanya, masih mengelus Pippo yang kini beringsut ke pangkuannya.

Kusembunyikan perasaan gugupku. "Lagian sapa juga mau ganti baju di depan kamu," balasku dengan nada jutek.

"Oh, I'll make you beg some other time," godanya.

Wajahku makin lama makin panas. Kubalikkan badanku untuk mengambil cardigan putih di dalam lemari. Sebelum aku membuka lipatannya dan memakai cardigan favoritku itu, Ares mengambilnya dari tanganku.

"From now on, I will take care of you, Mariska," gumamnya sambil memakaikan cardigan itu padaku.

Aku yang kehabisan kata-kata hanya menurut dengan menyelipkan tangan pada bagian lengan yang ditahan oleh Ares secara bergantian antara tangan kanan dan kiri. Setelah cardigan terpakai, dia mengambil sepasang sneaker putih di rak sepatu yang kuletakkan di samping pintu dan berjongkok di depanku untuk memakaikannya.

Om KosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang