4. Si Nyonya.0

1.8K 139 521
                                    

Sayup-sayup kudengar lantunan musik dangdut dari dalam rumah yang seluruh jendela dan pintunya tertutup rapat.

'Kampret! Aku pencet bell pun, gak bakal ada yang dengar.'

Kuhela napas panjang untuk menyingkirkan emosi dari kepala dan hatiku.

Mau tidak mau harus kucoba dulu, jadi kuhampiri pintu dobel yang terbuat dari kayu jati berukir bunga dan daun-daun itu, dan kupencet tombol bell di sampingnya.

Sekali ...

Dua kali ...

Tiga kali ...

Gak ada respon.

Astaga, ingin rasanya aku teriak memanggil nama dan memaki mereka satu-persatu. Kuketuk pintu, tetap tak ada respon.

Last try ... kugebrak-gebrak salah satu daun pintu tebal yang gak mungkin akan rusak karena pukulanku.

Semenit kemudian pintu terbuka. Anak tertua dari 'Nyonya' Minah keluar dengan rambut acak-acakan dan daster belelnya.

"Heh, Mbak! Lapo gedor-gedor(Heh mbak, ngapain gedor-gedor)?!" tanyanya nyolot.

"Ini barang-barangku, ngapain di luar?! Pada basah begini jadinya," sungutku kesal.

Dia melirik malas ke arah gundukan barangku, memutar bola mata, lalu masuk ke dalam rumah tanpa menggubris pertanyaanku. Beberapa saat kemudian dia muncul kembali dengan Bik Minah.

"Onok opo(ada apa)?" tanya Bik Minah, tak jelas diarahkan padaku atau Puput, anaknya.

"Iki lho, Mah. Mbak Mariska gedor-gedor, protes barange dideleh teras(Ini lho Ma, Mbak Mariska gedor-gedor, protes barangnya ditaruh teras)," jawabnya menggebu-gebu dengan aksen medhok.

Cih, Mamah. Dulu sebelum tinggal di sini, anak-anaknya memanggilnya Emak!

"Hoalah Mbak, sampean ngaleh. Mbayar telat-telat ben wulan, pegel aku, sampean golek kosan liyo ae(Walah Mbak, kamu pindah saja. Setiap bulan bayar telat, saya capek, cari kos lain saja)!" seru Bik Minah.

'Astaga dragon! Macam mana kampret-kampret ini?!'

Ini pasti sudah hampir tengah malam, hujan belum juga reda, barang-barangku sebagian basah, aku lapar dan kedinginan. Bukannya mengeluh, tapi ini fakta. Lagipula ini baru tanggal 2! Aku memang gajian setiap tanggal 2 dan di hari aku menerima gaji, uang kos selalu kubayar sepulang kerja.

Kesal? Sangat. Hanya saja aku gak punya waktu untuk meladeni mereka, apalagi untuk menangis.

Belum juga aku menjawab ucapan mereka, pintu sudah ditutup di depan wajahku dan dikunci dari dalam.

'Lihat saja nanti!'

Aku mengecek kelengkapan barang-barangku. Barangku memang nggak banyak, tapi bagiku semua penting.

Laptopku!

Laptopku, ya Tuhan! Softcasenya basah, semoga nggak rusak, aku butuh ini untuk kuliah.

Baru saja akan kubuka zipper softcase laptop....

"Mrawr!"

Sese-ekor berwarna putih dengan belang abu-abu menyundul kakiku. Bulunya yang lebat dan panjang kini basah kuyup karena guyuran hujan.

Astaga, Pippo dibuang keluar juga! Keterlaluan banget mereka ini.

Ya Tuhan, semoga mereka Kau beri balasan yang setimpal!

Kami harus ke mana ini?

Mana sudah malam dan aku nggak dekat dengan teman kerja dan kuliah. Gak pernah kusangka aku akan dapat masalah seperti ini, padahal aku nggak pernah berlaku jahat pada orang lain. Kukemasi barangku yang cuma ditumpuk sembarangan itu secepatnya ke dalam satu tas besar, lalu kumasukkan Pippo ke dalam ransel yang zippernya kubuka sedikit sehingga kepalanya bisa menyembul keluar.

Hujan mulai deras lagi.

Semoga Pippo nggak jatuh sakit.

Aku nggak mau menghabiskan waktu lebih lama lagi di sini. Kukenakan ransel berisi Pippo di depan tubuhku, kuletakkan tas besar di belakang setir motorku, dan aku berlalu dari sana.

Rumah kos yang kutinggali sebenarnya adalah salah satu properti milik keluarga sahabatku, Renata. Dia harus pindah kuliah ke Singapore dua tahun lalu, untuk sekalian menjalani pengobatan kanker otak yang dideritanya sejak kelas 6 SD. Pippo sebenarnya adalah miliknya, tetapi ketika dia nggak bisa membawanya turut serta ke Singapore, dia memberikan Pippo yang saat itu masih berusia 4 bulan padaku.

Sebenarnya rumah itu dipercayakan padaku untuk ditinggali, sekalian merawat dan menjaganya. Namun, semenjak almarhumah mama Renata meninggal tahun lalu dan papanya nggak pernah lagi kemari, pembantunya yang semula sopan dan baik, berubah jadi sok kuasa.

Bik Minah, wanita paruh baya itu, menyewakan rumah tersebut tanpa sepengetahuan majikannya untuk keuntungannya sendiri. Aku yang awalnya tinggal di lantai satu, di mana kamar-kamarnya berukuran lebih besar daripada di lantai lainnya, diusir ke kamar baru di lantai dua, dan diharuskan membayar untuk tetap tinggal di situ.

Bik Minah yang sekarang maunya dipanggil Nyonya Minah, membawa seluruh keluarganya untuk tinggal di sini, lagi-lagi tanpa ijin majikannya.
Suaminya yang sudah sepuh, menderita sakit stroke dan gerakannya terbatas hanya separuh tubuhnya. Pak Sukir ini adalah satu-satunya anggota keluarga Bik Minah yang bisa diajak berkomunikasi karena anggota keluarga lainnya super nyolot. Di kesehariannya, dia habiskan dengan menonton TV dan membaca koran.

Lalu ada dua orang anak perempuan Bik Minah, yaitu Puput dan Pipit. Puput usianya lebih tua dariku, sudah menikah beberapa tahun yang lalu, dan memiliki seorang putra bernama Riski yang nakalnya bukan main. Sedangkan Pipit mungkin seusia denganku.

Baik Puput maupun Pipit adalah perempuan yang enggan mengurus diri mereka. Mereka hanya makan, tidur, bertengkar, repeat. Mereka jarang sekali keluar rumah dan hobi sekali mengenakan daster belel.

Suami Puput tidak bekerja, dia menumpang hidup pada keluarga Bik Minah. Namanya Raden, tapi kelakuannya bertolak belakang dengan namanya. Dia suka mabuk-mabukan, judi, dan orangnya mesum sekali. Sering ada orang menagih hutangnya kemari dan Bik Minahlah yang melunasinya. Kebanyakan yang ngekos di rumah ini keluar karena dia lecehkan. Namun, belum bisa dilaporkan karena kurangnya bukti.

Sejak Om Ivan nggak lagi datang kemari untuk berkunjung, Bik Minah nggak lagi membersihkan dan merawat rumah ini sebagaimana mestinya. Rumah ini jadi kotor dan bau, belum lagi banyak tikus dan kecoa berkeliaran. Untung saja lantai dua dan tiga yang ditinggali anak kos, menjadi tanggung jawab kami dan kami mengurusnya bersama.

Satu-satunya alasan aku masih bertahan untuk tinggal di sini adalah untuk menghormati almarhumah Tante Nia, mamanya Renata.

Suatu hari aku menyaksikan cucu Bik Minah menyiksa Pippo, dia mengikat lehernya dengan tali rafia dan menyeretnya ke mana-mana. Sejak saat itu kubawa Pippo untuk tinggal di dalam kamarku. Kasihan juga dia lebih sering berada di dalam kamar sempit, terkungkung seperti itu, tapi daripada nyawanya ada di ujung tanduk, kan?

Saat berangkat kerja siang ini, tak pernah kusangka akan mengalami masalah seperti ini di penghujung malam. Juga tak kusangka akan secepat ini harus hengkang dari rumah yang sudah kutinggali selama dua tahun ini.

Sudah cukup nyaman bagiku untuk tetap tinggal di sini sampai lulus kuliah. Tapi keadaan ini benar-benar di luar kuasaku.

.
𝕁𝕒𝕟𝕘𝕒𝕟 𝕝𝕦𝕡𝕒
🇰 🇱 🇮 🇰⭐ 🇻 🇴 🇹 🇪 
𝕕𝕒𝕟 𝕥𝕚𝕟𝕘𝕘𝕒𝕝𝕜𝕒𝕟 𝕜𝕠𝕞𝕖𝕟𝕥𝕒𝕣

Om KosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang