25. Maaf.

663 54 87
                                    

"Oh, mohon maaf, kalau misalnya saya kasih alamat dan Mbak Lia ke sini bagaimana?" tanya Ares.

"Iya gakpapa, Mas. Saya akan ke sana langsung," jawab Lia.

Setelah sambungan telepon terputus, Ares mengirimkan alamat ke nomor ponsel yang Lia berikan.

Ares baru saja akan berdiri ketika pintu kamar Mariska terbuka. Pippo keluar dari celah pintu dan meregangkan badannya, melengkungkan punggungnya tinggi-tinggi lalu memanjangkan tubuhnya sambil menguap lebar. Wajah polosnya membuat Ares tertawa.

Setelah itu dia berjalan memasuki celah pintu kamar Monik yang terbuka, mau pindah tidur rupanya. Ares menggelengkan kepalanya melihat tingkah kucing gendut yang overdosis kasih sayang tersebut.

Mariska keluar dari kamarnya, dia menggigit bibirnya dengan gugup kala melihat Ares. Sejujurnya, dia malu Ares melihatnya dalam kondisi hancur seperti semalam, terlebih membuat Ares mengurus dirinya dan menemaninya seperti itu.

Entah kenapa, Ares pun tak mengerti bagaimana dia bisa mengenal Mariska sebaik dia mengenal dirinya sendiri, dia bahkan tahu apa yang ada di pikiran gadis itu. Ditepuknya pahanya supaya Mariska duduk di pangkuannya, dia tahu benar berada dalam pelukannya akan memberikan ketenangan bagi keduanya.

"Sini, Sayang ...," pintanya.

Mariska berjalan sambil menundukkan kepalanya dan menurut untuk duduk menyamping di pangkuan Ares yang langsung memeluknya sambil mengelus punggungnya.

Dikecupnya kepala Mariska. "Maaf, ya ...," ucapnya.

"Kan Ares nggak salah," gumam Mariska pelan.

"Maaf, aku kemarin nggak di sana pas kamu butuh aku. Harusnya aku nggak biarin kamu sendirian gitu. Harusnya aku ingatkan kamu, langsung saat aku saat sadar gimana cara Dimas lihatin kamu. Harusnya aku paksa aja kamu supaya berhenti kerja dan nggak usah datang ke sana. Aku salah, maaf ...," ucapnya sedih, di pikirannya terbayang Mariska yang menangis di pelukannya kemarin, juga membayangkan betapa takut gadisnya saat serangan Dimas berlangsung. Dia merasa sedih, tak berdaya, marah, dan khawatir.

"Yang salah Dimas, bukan Ares," jawab Mariska, lalu balas memeluk Ares.

"Kalau aku tanya tentang kejadian kemarin, gakpapa?" tanya Ares
dengan hati-hati. Mariska menelan ludah, lalu mengangguk. "Dia tiba-tiba nyerang kamu, gitu?"

Mariska melepas pelukannya untuk menatap wajah Ares, lalu menggeleng. "Setelah Mbak Lia pulang, aku selesaikan cuci piring. Pas selesai, Dimas ajak ngobrol. Dia tanya apa benar Ares calon suamiku atau enggak, bodohnya, aku nggak bisa bohong."

"Aku bilang Ares sudah lamar tapi aku belum jawab, saat dia tanya apa aku ada perasaan sama Ares, aku bilang iya. Lalu perangainya mulai berubah, dengan nada tinggi dia tanya aku pilih dia atau kamu, saat aku bilang pilih kamu, wajahnya berubah jadi jahat, lalu ... lalu ...," Mariska terdiam, air mata menggenang di pelupuk matanya.

"Gak usah diterusin. Maaf, jangan nangis lagi," lirih Ares.

"Kalau Anna nggak datang—" Ucapan Mariska terpotong karena dia mulai sesenggukan lagi.

"Kalau Anna nggak di situ, aku pasti di sana, karena aku memang mau jemput kamu tapi gak dibolehin karena kebetulan Anna ada di daerah situ. Dan kalau aku yang di sana, aku nggak akan berhenti nyiksa sampah satu itu saat dia pingsan, kamu tau itu," ucap Ares sungguh-sungguh.

"Makasih, Ares ... udah ada buat aku," balas Mariska.

"I love you, you know?" jawab Ares, membuat Mariska tersenyum. 'Cantik,' batinnya. "Kamu mau laporin Dimas?"

Mariska menggeleng. "Nggak ada bukti otentik," katanya.

"Ada kalau kamu mau tunjukin bekas-bekasnya di badan kamu, Anna juga bisa jadi saksi. Aku juga sudah suruh orang untuk fotoin TKP. Nanti biar aku ngomong sama Nobel." Mariska mengangguk. "Turun yuk, Mbak Lia mau ke sini."

"Kok tau?" tanya Mariska.

"Tadi Mbak Lia telepon aku, dia nemu tas dan hape kamu yang ketinggalan di Bonita," jawab Ares.

"Iya, aku kemarin nggak bisa mikir apa-apa, aku langsung dibawa pulang sama Anna," jawab Mariska sambil beranjak masuk ke kamarnya. "Aku ganti baju dulu."

"Gak usah ganti, di rumah aja, kan?" tanya Ares yang dibalas dengan anggukan kepala Mariska.

"Mau dibikinin sarapan?" Tanya Mariska sambil menuruni tangga.

"Ngga usah, hari ini si Mbok masuk, kok," jawab Ares yang berjalan di belakangnya.

Benar saja, baru saja mereka duduk di kursi pantry, seseorang masuk dari pintu dapur.

"Assalamualaikum," Salam wanita paruh baya dengan jilbab biru yang menenteng tas belanjaan.

"Walaikumsalam," sahut keduanya.

"Bapak sudah sembuh, Mbok?" tanya Ares.

"Sampun (sudah) Mas, Alhamdulillah. Mau dimasakin apa hari ini?" tanya si Mbok.

"Terserah Mbok aja," Jawab Ares sambil tersenyum.

Mariska yang sedari tadi merasa gugup bertemu dengan orang lebih tua yang pasti mencap dirinya sebagai perempuan nakal simpanan Ares seperti yang dituduhkan Minah, akhirnya memberanikan diri untuk masuk ke dalam obrolan.

"Bapak sakit apa, Mbok?" tanyanya.

"Asam urat, Non," jawab si Mbok sambil menoleh padanya, lalu melotot. "Cantik! Masa Allaaah, Cantik di sini?!"

Ares kebingungan melihat si Mbok yang tiba-tiba berlari untuk memeluk Mariska. "Ibuk kuatir, nggak tau mau cari Cantik ke mana. Saat Ibuk dengar dari Pak RT kalau Cantik diusir Minah, Ibuk pengen tawarin Cantik tinggal di rumah ibuk aja," ujarnya sambil masih memeluk Mariska erat-erat.

"Riska di sini, Buk. Riska gakpapa," hibur Mariska.

"Mbok kenal sama Mariska?" tanya Ares setelah wanita tersebut melepas pelukannya.

"Bapak kan jualan pecel di dekat kosan si Cantik, dia ini sering bantuin, Mas. Walau sibuk dan buru-buru, genduk satu ini selalu ramah dan suka bantu. Kemarin itu Bapak sakit, jadi saya sibuk urus Bapak dan denger kabarnya telat. Alhamdulillah Cantik baik-baik aja," cerita si Mbok. Ares menatap Mariska dengan bangga.

"Cantiknya sekarang ngekos di sini, Mbok. Nggak usah kuatir. Sebenernya mau saya jadiin istri, tapi dianya belum mau," canda Ares, yang aslinya serius itu.

Si Mbok tertawa. "Mau aja, Nduk. Mas Ares ini udah ganteng, baik juga, cocok sama Cantik," nasehat si Mbok ditanggapi dengan anggukan semangat Ares.

"Tuh, Sayang ... Si Mbok aja bilang kita cocok. Nikah, yuk," goda Ares. Wajah Mariska makin merah akibat kedua orang tersebut terus saja menggodanya.

Ares dan Mariska kini duduk di kursi taman karena si Mbok yang akan membersihkan lantai mengusir mereka. Beberapa saat kemudian, sebuah motor matic berhenti di depan pagar. Ares berlari ke arah gerbang untuk meminta Lia memarkirkan motornya di halaman.

Lia mengikuti Ares untuk berjalan ke tempat Mariska duduk, dia menaruh tas milik Mariska di atas meja sebelum duduk.

"Riska kenapa, kok seperti habis nangis?" tanyanya khawatir.

Memori akan serangan yang dilakukan Dimas terhadapnya semalam kembali terputar di kepalanya dan dia tak mampu menjawab pertanyaan tersebut. Menyadari kondisi mental Mariska, Ares memeluk bahunya dan menggenggem tangannya.

"Semalam, Mariska hampir diperkosa, Mbak. Oleh Dimas," ucap Ares. "Beruntung ada teman kami yang memang mampir ke Bonita untuk jemput Mariska."

Om KosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang