11. First Sight.0

1.3K 70 100
                                    

Ares membuka kunci mobil dengan remote dan kubuka pintu depan. Sebelum pintu mobil terbuka, Ares yang tanpa kusadari sudah berada di belakangku meletakkan tangannya di pintu tersebut dan mendorongnya untuk menutup kembali. Bagian depan tubuhnya bersentuhan dengan punggungku dan dia mencondongkan wajahnya ke samping wajahku.

"You won't get away from this topic (Bahasan ini belum selesai)," bisiknya di telingaku. "Mesum."

Ares membuka pintu mobilnya lalu menepuk puncak kepalaku. "Masuk, Sayang ... keburu Om Ivan nyampek duluan," katanya.

Aku pengen ngambek, tapi dia belum jadi apa-apaku. Tapi dia jahil banget ... dia orang pertama yang bikin aku malu sampai se-begininya.

Aku menurut, duduk di kursi depan dan memasang sabuk pengaman. Ares menutup pintu di sampingku dan berjalan memutari mobil untuk memasuki bangku kemudi.

Dia menatapku sambil memasang sabuk pengamannya, lalu nyengir. "Cute," gumamnya sambil geleng-geleng kepala.

Aku mencebik. "Tega," ketusku.

"Am I right? Kamu bahkan nggak menyangkal sama sekali," katanya sebelum tertawa.

Stupid, Mariska! Seandainya tadi aku menyangkal, dia gak akan godain aku sampek begini!

"Well ... you are hot," gumamku, terpaksa mengakui.

"I know. And you are gorgeous. We'll make adorable babies together (Aku tau. Dan kamu cantik, anak-anak kita bakal imut banget)," katanya sambil fokus ke jalan raya.

"Dih, siapa yang mau bikin baby sama kamu?" sewotku.

Dia meletakkan tangan di dadanya, "Ouch, hurt!" katanya dengan dramatis. "Beneran gak mau?" dia menoleh sebentar.

"Ogah aku jadi bahan bully-an kamu seumur hidup," sungutku.

"Ya udah, aku turun di sini. Kamu bawa aja mobilnya, aku pulang sendiri," omelnya sambil cemberut, dan aku gak bisa menahan tawa.

"Kan harusnya aku yang minta diturunin, Areees!"

"Ogah aku kamu pulang sendiri, kalau sopir grab yang kamu pesen naksir kamu, gimana nasipku?" desisnya.

"Lah kalo sopir grab yang kamu pesen gitu juga, gimana?" tanyaku gak mau kalah.

"Emang kamu peduli kalau ada yang mau sama aku?" tanyanya.

Baru aku sadar apa yang dia lakukan: memancingku untuk mengutarakan perasaanku padanya. Pinter banget, Ares!

"Ya ... iya," gumamku pelan.

"Ya udah, aku pulangnya jalan kaki aja," lanjutnya, membuatku tertawa lagi.

"Seneng kamu, lihat aku jalan kaki dari sini sampek jalan Bulus?" tanyanya ketus.

"Lah, kan aku nggak nyuruh," sanggahku.

"Kamu jahat, Mariska!" sahutnya. Aku benar-benar gak bisa berhenti tertawa kali ini.

Setelah tawaku reda, baru aku ingat kalau Rara masih ada di rumah kos yang lama dan aku harus telepon dia supaya dia besiap-siap.

"Ares," panggilku.

Nggak ada jawaban. Kutoleh dan mendapatinya sedang mengembungkan pipi. Astaga, nggak cocok sama brewokannya!

"Ares ...," kupanggil lagi namanya, dan dia melirik sebentar ke arahku. "Ih, ngambek gitu gak malu sama brewokannya??" godaku.

Om KosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang