16. GOSIP

1.3K 99 3
                                    

16.
GOSIP

Kita yang benar-benar tidak bisa marah atau kita yang terlalu munafik?

•••

Arnav menghela napasnya pelan. Sudah hampir setengah jam dia dan Rain duduk di teras rumah gadis itu. Tetapi, belum ada tanda-tanda gadis itu akan membuka suara.

Rain melirik Arnav yang duduk di sebelahnya. Entah sudah yang ke berapa kali Rain melirik cowok itu.

"Kamu kenapa tiba-tiba marah sama aku?" tanya Arnav akhirnya.

Sebenarnya, Arnav lelah harus berpura-pura membujuk Rain kalau saja bukan Senja yang memintanya. Jahat memang. Arnav jelas sadar bahwa dia adalah laki-laki pengecut.

"Kamu beneran enggak tau atau pura-pura enggak tau?" tanya Rain tanpa menoleh pada Arnav.

"Ya maaf kalau aku salah."

Rain menatap datar Arnav. Baru kali ini Arnav meminta maaf dengan cara seperti itu.

"Kamu tau, kan, bedanya ‘YA MAAF’ sama ‘MAAF, YA’?" ujar Rain penuh penekanan.

"Maaf karena udah buat kamu marah lagi." Hanya itu yang dapat Arnav katakan. Dia bingung harus mengatakan hal apa lagi karena dia tidak merasa telah melakukan kesalahan.

"Kamu selalu ngulangin kesalahan yang sama, enggak pernah belajar dari kesalahan yang udah kamu buat. Kamu ulangin terus," kata Rain lembut. Kali ini, dia memandang Arnav dengan tatapan teduhnya.

Untuk sesaat, Arnav terbuai dengan tatapan gadis berambut cokelat dan berpipi tembam di depannya itu. Bagaimana bisa dia sejahat ini pada Rain. Padahal, dia tahu bahwa Rain sangat tulus padanya.

"AKU ENGGAK SUKA DIGITUIN!" teriak Rain dengan manja.

Arnav menggigit ujung bibirnya sembari menutup sebelah matanya karena teriakan gadis itu. Apa Rain tidak sadar jika ini sudah malam?

"Kamu udah enggak marah lagi, kan?" tanya Arnav memastikan.

Rain mengangguk.

Sesering apa pun Arnav membuat dirinya marah dan kecewa, tidak bisa dipungkiri bahwa Rain memang tidak bisa berlama-lama marah pada Arnav.

Arnav memegang tangan Rain. "Kok, tangan kamu bengkak begini?"

Rain menarik tangannya dari Arnav, lalu memperhatikan tangannya itu sendiri.

"Enggak tau juga kenapa." Rain kemudian menatap Arnav sembari tersenyum. "Sekarang aku udah boleh peluk kamu, dong?"

Tanpa memberi jawaban, Arnav berdiri kemudian memeluk Rain yang tetap duduk di tempatnya. Rain menyenderkan kepalanya di perut Arnav, lalu menghirup aroma maskulin cowok itu.

"Jangan pernah tinggalin aku, ya, Nav," ujar Rain. Tidak ada jawaban dari cowok itu. Dia tetap diam sambil memeluk Rain.

***

Senja sedang berada di pinggir lapangan. Gadis itu tidak sendirian, dia bersama Rido, mantan ketua OSIS SMA Eternity sekaligus pria yang pernah Senja tolak. Dari kejauhan, Agum dapat melihat dua orang itu sedang berbincang serius, entah apa yang mereka bicarakan. Agum pun segera menghampiri gadis itu.

"Makasih, ya, Senja."

Senja mengangguk sebagai jawaban.

Kalimat itulah yang Agum dengar saat dia sudah berada di dekat Senja. Setelah itu, Rido langsung pergi meninggalkan Senja dan Agum berdua.

"Kalian tadi ngomongin apa?" tanya Agum penasaran.

"Enggak ngomong apa-apa," jawab Senja sambil berjalan, Agum pun ikut beriringan dengan gadis itu.

"Terus kenapa tadi dia bilang makasih?" tanya Agum lagi.

Senja melirik Agum sebentar, "Kenapa lo kepo?"

"Gini, ya, Senja. Gue bukan kepo, tapi penasaran."

"Sama aja!"

"Biar bisa ngobrol sama lo, sih, lebih tepatnya," tambah Agum sembari tertawa kecil. "Jadi, kenapa tadi Rido bilang makasih sama lo?" Cowok itu kembali bertanya.

"Karena udah gue pinjamin buku catatan Fisika," jawab Senja akhirnya.

Agum mengangguk-anggukan kepalanya. Tiba-tiba, dia bingung harus bicara apa lagi. Sepertinya, sudah hampir seluruh pertanyaan pernah dia tanyakan pada Senja. Kemudian, akhir-akhir ini, otaknya seperti berhenti berpikir saat sedang bersama Senja. Pikirannya tiba-tiba selalu berpusat pada gadis itu.

Senja yang menyadari diamnya Agum, lalu menoleh melihat cowok itu. "Kok diam?"

"Biar sesekali lo yang balik nanya ke gue. Gue, kan, juga pengen lo kepoin."

Jawaban cowok itu mampu membuat Senja terpaku. Dia baru sadar jika selama ini Agum selalu menanyakan banyak hal tentangnya. Tetapi, dirinya tidak pernah melakukan hal yang sama. Lagi-lagi, rasa bersalah Senja kembali muncul. Bagaimana bisa dia sejahat ini?

"Kenapa lo bisa suka sama gue?" Hanya pertanyaan itu yang terlintas di kepala Senja saat ini.

"Karena lo adalah Senja.”

Senja menoleh menatap Agum.

Agum memegang bahu Senja, lalu menggeser tubuh gadis itu yang awalnya berjalan di sebelah kanannya untuk pindah ke sebelah kirinya. "Itu tadilo hampir nabrak orang yang lewat."

Agum menoleh ke belakang, diikuti Senja yang juga ikut menoleh ke belakang untuk melihat siapa pria yang hampir gadis itu senggol tadi.

"Gue heran, deh, lihat Arnav sama Rain." Tiba-tiba, Agum menyeletuk.

Senja mengernyit. "Kenapa?"

"Tuh, lihat." Agum menunjuk ke arah Rain dan Arnav yang sedang jalan beriringan. Terlihat Rain tengah menggandeng lengan Arnav. "Baru aja kemarin berantem, sekarang udah baikan aja."

Senja menautkan alisnya, agak keheranan dengan perkataan Agum. "Terus kenapa kalau mereka udah baikan? Bukannya bagus?"

"Coba, deh, sesekali kita berantem kayak mereka. Pasti seru," ucap Agum berandai-andai.

Apakah ini Senja yang salah dengar atau memang Agum saja yang aneh? Semua orang pasti tidak ingin bertengkar dengan pacar mereka. Namun, tidak dengan Agum.

"Jadi, lo mau berantem gitu sama gue?"

"Iya," Agum mengangguk antusias. "Soalnya, gue pengen banget lihat lo marah, Senja."

Agum benar-benar konsisten. Dari dulu hingga sekarang, permintaan cowok itu hanya ingin melihat Senja marah.

"Gum, lo ...." Senja tidak bisa berkata-kata lagi.

"Abisnya, lo enggak pernah marah, sih."

Bukankah bagus jika Senja tidak pernah marah?

"Apa kabar sama lo yang enggak pernah marah juga?" ujar Senja kesal.

Si Agum ini betulan bodoh atau pura-pura bodoh, sih? Dia ingin melihat Senja marah padanya, sedangkan cowok itu saja tidak pernah marah pada Senja.

"Siapa bilang? Gue pernah marah, kok. Marah sama Ayah, marah sama Rain, marah sama Aber, David, dan Mahmud," jelas Agum panjang lebar.

"Kalau sama lo, gue emang enggak bisa marah." Agum lalu  mengacak-acak poni Senja, "Soalnya lo istimewa."

Senja menepis tangan Agum. "Martabak kacang juga istimewa kalau lo lupa."

Agum terkekeh, "Ternyata lo bisa bercanda juga, ya. Bagus, Sen, lo udah mulai ada peningkatan."

***

Arnav dan Rain baru saja dari kantin. Sekarang, mereka berdua sedang berjalan menuju kelas. Selama perjalanan mereka menuju kelas, Rain tidak berhenti berbicara pada Arnav. Topik pembicaraan yang Rain lontarkan pun sangat random. Arnav sampai bingung ke mana arah pembicaraan gadisitu. Meskipun begitu, Arnav tetap setia mendengarkan tanpa berniat memotong. Cowok itu juga sesekali menjawab saat Rain bertanya.


Beberapa murid bergosip ria saat melihat Arnav dan Rain lewat.

"Kasihan, ya, Arnav. Jatuh di pelukan cewe cempreng dan aneh kayak Rain."

"Iya, ihh!"

"Eh, dengar-dengar juga, si Rain yang nembak Arnav duluan."

"Katanya, sih, dipelet. Biar si Arnav-nya mau."

"Cowok seganteng dan sepintar Arnav mana cocok sama Rain!"

"Cantikan juga Nisa ke mana-mana. "

Dan masih banyak hal yang dilontarkan para siswi tersebut. Rain yakin, penyebar gosip murahan itu pasti Nisa.


"Haduh, malas banget, ya, ngurusin cabe-cabean. Hobinya sirik aja sama punya orang," sindir Rain sambil menatap tiga orang gadis yang bergosip ria tadi.

"Udah, enggak usah diladenin," tegur Arnav.

"Enggak bisa gitu, dong, Ini pasti Nisa yang nyebar gosip enggak jelas tadi."

"Belum tentu juga Nisa. Kamu jangan asal tuduh dulu."

"Lho, lho, kok, kamu malah belain Nisa?"

"Aku enggak belain." Arnav menghela napasnya pelan, dia sedang malas berdebat sekarang. 

"Udahlah, enggak usah dibahas. Aku lagi malas rebut."

Rain mengerucutkan bibirnya sebal. Memangnya, Arnav saja yang malas ribut? Rain pun sama malasnya, apalagi jika sudah berkaitan dengan yang namanya Nisa-Nisa itu.

To be continued

•••

Jangan lupa follow komen dan vote

OVER ONS [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang