31. MENYESAL (1)

2.1K 93 3
                                    

31.
MENYESAL?

Sampai hari ini, kata itu masih menjadi tanda tanya besar. Kenapa menyesal selalu di akhir? Kenapa tidak di awal? Bukannya bagaimana, kata itu berada di akhir karena ingin lebih menyakitimu. Jika dia berada di awal, memangnya kamu akan tersakiti?

•••


Agum, Aber, dan David sedang berada di kantin. Hari ini, kantin tampak ramai karena murid-murid kelas X dan XI sudah kembali masuk sekolah.

"Mentang-mentang ujian udah kelar, lo malah seenak jidatnya berantem!" omel Aber sambil mengobati luka Agum.

"Akh, iss! Pelan-pelan, sat! Lo ikhlas, enggak, sih ngobatinnya?!" Agum kesal karena Aber yang menekan-nekan lukanya.

"Gue ikhlas, Gum. Ikhlas lahir dan batin malah."

"Lagian, kagak ada angina, kagak ada hujan, ngapain lo malah berantem sama si Arnav?" tanya David.

"Lagi pengen aja," jawabnya.

"Udah gitu, mukanya Arnav lebih parah lagi lukanya daripada lo, Gum," timpal Aber.

"Kagak bisa gangguin Senja, lo malah mukulin anak orang. Kalau Bu Nunung sampai tau, mampus lo, Gum. Batal lulus lo!" lanjut David.

"Bu Nunung enggak bakalan tau kalau mulut ember lo berdua enggak bocor-akhhh!" rintih Agum lagi saat Aber kembali menekan lukanya.

"Anjir lo, Ber! Lo tau sakit, enggak, sih!?"

David memutar bola matanya malas. "Udah tau sakit, malah berantem."

"Mending lo diem, deh, Gum," balas Aber, kemudian ia menoleh ke David. "Ambilin air, dong, Vid."

"Air buat apaan?" tanya Agum.

"Buat gue cebok!" jawab Aber dengan nada meninggi. "Buat bersihin luka lo, lah, sat!" Aber kemudian menerima air yang ia minta dari David. "Ini airnya enggak lo ludahin, kan?"

"Mending juga gue ludahin muka lo, Ber," balas David.

"Bangsat lo, Vid!" Aber kemudian membasahi tisu, lalu mengelap bekas obat merah yang ada di ujung bibir Agum.

"Itu luka lo enggak lo obatin lagi di rumah kemarin?" tanya David. Agum menggeleng sebagai jawaban. "Hadeh, udah tau begitu, malah enggak lo obtain. Muka lo udah jelek, Gum, makin jelek lagi karena luka lo itu."

"Biasalah, mau nyusahin gue nih bocah," cibir Aber.

"Gue bukan nyusahin, biar lo ada manfaatnya jadi teman gue," balas Agum.

"Gum, Gum!" panggil David heboh sembari menendang-nendang kaki Agum yang berada di bawa meja.

"Apaan, sih, lo, Vid?!"

"Itu tuh Senja." Agum dan Aber mengikuti arah pandang David, terlihat Senja yang sedang membeli minum.

Senja melirik sekilas pada Agum, kemudian beralih pada penjaga kantin untuk membayar air mineral yang dia beli. Setelah itu ia pergi tanpa berniat menghampiri Agum seperti biasanya.

"Lho, lho? Senja, kok, enggak samperin lo, sih, Gum?" tanya David.

Agum hanya mengedikkan bahunya tidak peduli.

"Capek mungkin ngejar-ngejar Agum berhari-hari, tapi enggak diladenin," sahut Aber.

"Sok jual mahal, sih, lo! Kemarin aja ngikutin Senja ke mana-mana. Giliran udah diikutin Senja balik, lo malah sok jual mahal!" timpal David.

"Kata bunda gue, laki-laki itu harus jual mahal. Enggak cuma perempuan aja," balas Agum.

"Terserah lu, da,h sat!" ujar Aber

"Nanti putus beneran, nangesssss!" ejek David.

***

Senja baru saja sampai di parkiran dan hendak pulang, lalu tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ada sebuah panggilan masuk.

"Halo, Kak?"

"Halo, Senja. Rain tadi pulang sama siapa?"

"Bukannya Kakak yang jemput Rain?"

"Enggak. Tadi Kakak enggak bisa jemput Rain karena ada tugas di kampus. Kakak juga udah telepon Rain, kok, tadi."

"Terus Rain pulang sama siapa, dong, Kak?"

"Emang tadi kamu enggak liat dia pulang?"

"Enggak, Kak. Ini Senja masih di sekolah, baru aja mau pulang."

Senja mengedarkan pandangannya. Parkiran sekolah sudah sepi, hanya ada beberapa motor dan mobil yang terparkir.

"Sekolah juga udah sepi, Kak."

"Ya udah, Kakak cek ke rumah dulu. Siapa tau aja Rain udah di rumah. Kamu jangan panic."

"Iya, Kak. Senja juga sekalian nyari di sini."

"Kamu hati-hati, Senja."

Setelah sambungan telepon berakhir, dengan cepat Senja naik ke atas motornya dan meninggalkan pekarangan sekolah yang sudah sepi. Selama perjalanan, mata Senja terus bergerak melihat kanan dan kiri. Rain tidak mungkin naik angkutan umum karena gadis itu tidak pernah sekalipun naik kendaraan tersebut.

Senja akhirnya bernapas lega saat melihat Rain yang ternyata sedang duduk di sebuah halte yang tidak jauh dari sekolah mereka. Segera dia hampiri sepupunya itu.

"Rain, ayo pulang," ajak Senja lembut.

"Gue enggak mau pulang sama lo" ujar Rain ketus.

"Lo mau pulang naik apa? Angkutan umum? Lo nggak pernah naik angkutan umum, Rain. Lo juga enggak tau rutenya, kan?" balas Senja.

Rain terdiam sebentar. Ia memang tidak tahu dan tidak paham cara pulang dengan angkutan umum, apalagi bus. Rain selalu diantar jika pergi ke mana-mana.

"Gue bisa pulang sendiri," ujarnya lagi, lalu berjalan meninggalkan halte.

Senja ikut berjalan mengejar Rain, meninggalkan motornya di depan halte.

"Rain, sampai kapan sih lo mau kayak gini?" tanya Senja, dia berusaha menyamakan langkahnya dengan Rain yang berjalan lebih cepat darinya.

Rain berbalik, menatap Senja. "Gue udah bilang, kan, gue bakal maafin lo kalau lo bisa buat Arnav balik lagi ke gue."

"Udah berapa kali juga gue bilang, gue enggak bisa. Gue rela ngelakuin apa aja buat lo, tapi enggak untuk buat Arnav kembali. Arnav enggak cinta sama lo, Rain."

Rain memalingkan wajahnya sembari tersenyum miris. Apa yang dikatakan oleh Senja itu benar. Arnav memang tidak mencintainya. Tetapi, bodohnya, Rain masih saja berharap jika cowok itu akan kembali.

"Gara-gara lo, Arnav enggak bisa cinta sama gue!" serunya dengan penuh penekanan, ia lalu kembali berjalan.

Senja menarik tangan Rain kasar. "Sekali lagi gue tanya sama lo. Apa Arnav lebih penting daripada gue?"

Bukannya menjawab, Rain malah kembali berjalan sembari menepis tangan Senja kasar.

Senja tidak tinggal diam, ditariknya kembali tangan Rain. Dia butuh jawaban dari mulut sepupunya itu. "Arnav lebih penting daripada gue?" ulang Senja.

"Iya, Arnav lebih penting buat gue. Puas lo?!"

Di detik itu juga, air mata Senja jatuh. Perkataan Rain barusan sukses membuat dirinya tersadar. Sadar bahwa Rain tidak mementingkan dirinya seperti dia mementingkan Rain.

"Dan gue enggak mau lihat muka lo lagi. Gue tau, gue cuma bisa nyusahin lo selama ini, kan? Jadi, enggak usah peduliin gue lagi karena gue juga udah enggak peduli sama lo!" lanjutnya.

Rain kembali melangkahkan kakinya meninggalkan Senja. Kali ini, Senja tidak menahan sepupunya itu, terserah Rain mau bagaimana. Ditepisnya air matanya dengan kasar, lalu ia kembali berjalan menuju halte, ke tempat motornya berada.

Di sisi lain, langkah Rain mulai melambat. Ia tersadar bahwa perkataannya barusan sangat jahat. Gadis itu lalu mengangkat kepalanya ke atas, melihat ke arah langit yang mulai menjatuhkan rintik-rintik hujannya.

BRAK!

Langkahnya kali ini benar-benar berhenti tatkala mendengar suara benturan yang keras dari arah belakang. Dengan perlahan, gadis itu menoleh ke arah sumber suara.

"SENJA!" teriak Rain. Ia segera berlari ke arah Senja yang sudah tergeletak di aspal dengan tubuh yang penuh dengan darah. Rain mengangkat kepala Senja ke atas pahanya, lalu memegang kepala gadis itu yang mengeluarkan banyak darah, berharap darah itu berhenti keluar.

"Senja, bangun, Senjaaa! L-lo harus tetap sadar!" kata Rain terbata-bata.

Perlahan mata Senja kembali terbuka, gadis itu tersenyum tipis pada sepupunya yang sudah menangis histeris itu.

"Lo bohong ..." Kata Senja dengan suara lemah. "L-lo bil-lang uda-h eng-gak pedu-li sama gue," Senja terkekeh kecil, membuat Rain semakin menangis histeris.

"Lo bisa diem, enggak?!" bentak Rain. Makin banyak Senja bicara, makin banyak pula darah yang keluar dari kepalanya.

"Gue kangen Papa sama Mama," gumam Senja pelan, sangat pelan. Tetapi, masih bisa didengar oleh Rain.

"Enggak! Enggak! Lo gak boleh ngomong gitu, Senja. Lo lupa, Mama lagi nungguin kita? Kita harus pulang."

Senja menarik napasnya dalam-dalam. "Gelap ..."

Setelah mengatakan itu, Senja benar-benar menutup matanya.

"Senja, buka mata lo! Lo harus tetap sadar!" Rain menepuk-nepuk pipi Senja keras. "Gu-gue mohon, buka mata lo!"

Rain melihat sekitar, tidak ada yang berniat menolong dia dan Senja. Mereka semua sibuk dengan bus yang terbalik itu.

"TOLONG!!! KENAPA KALIAN ENGGAK ADA YANG MAU NOLONGIN SENJA, HAH?!" teriaknya kencang.

Rain kembali menggerak-gerakkan tubuh Senja. "Senja, Senja, please bangun! Sumpah, ini enggak lucu, buka mata lo, Senja!"

Rain menurunkan kepala Senja dari pangkuannya, lalu berlari meminta pertolongan.

"Pak! Pak! tolongin sepupu saya, Pak! Kepalanya luka!" Air mata gadis itu sudah bercampur dengan air hujan yang juga turun deras.

"Ambulans sebentar lagi ke sini, Neng. Neng tunggu aja," kata bapak tersebut.

"Tapi, darah sepupu saya banyak yang udah keluar, Pak. Dia udah enggak bisa nunggu lagi."

"Neng, Bapak harus nolongin yang ada di bus, takut busnya meledak. Neng tunggu aja dulu." Bapak itu lalu kembali masuk ke dalam bus untuk membantu mengeluarkan para penumpang.

"Arnav?" gumam Rain. Gadis itu berlari ke arah mobil Arnav yang berhenti bersamaan dengan mobil-mobil lain yang juga ikut berhenti karena bus yang terbaik menghalangi jalan. Dipukul-pukulnya jendela mobil cowok itu tidak sabaran. Arnav membuka pintu mobilnya dan sangat terkejut melihat baju Rain yang sudah basah dan penuh dengan darah.

"Rain, kamu kenapa?"

"Arnav, tolong aku! Se-Senja kepalanya lu-luka, da-darahnya banyak!" ujarnya sesegukan dengan tubuh yang sudah bergetar hebat.

"Di mana?" Langsung ditariknya tangan cowok itu ke tempat Senja berada.

Sesampainya Arnav di tempat Senja berada, cowok itu terkejut bukan main. Segera digendongannya tubuh Senja yang sudah tidak sadarkan diri itu, lalu ia berlari dengan cepat ke arah mobilnya.

"Senja, lo harus bertahan," batin Arnav.

"Senja, maafin gue ..." lirih Rain.

To be continued

•••

Jangan lupa follow komen dan vote

OVER ONS [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang