19. UTANG

1.6K 105 1
                                    

19.
UTANG

Saat semua orang membalikkan badan, kamu datang dalam diam, lalu dengan berani memberikan harapan.

•••

Srettt!

Komik Senja yang sejak tadi ditarik-tarik oleh Agum akhirnya robek. Agum otomatis terdiam dengan mata yang sudah membulat ketakutan, sedangkan Senja membulatkan mulutnya. Komik yang baru saja dia beli kemarin malah robek, bahkan belum sempat dia baca sama sekali karena Agum yang terus menarik komik tersebut.

"Senja?" panggil Agum pelan, takut gadis itu marah.

Senja tidak merespons. Dia menatap komiknya yang sudah robek, lalu menatap Agum tajam.

"So-sorry, Sen. Lagian lo pelit banget, sih. Gue, kan, cuma mau lihat tadi," Agum mengambil bagian komik yang sudah robek itu dari tangan Senja dan berusaha menyatukannya kembali.

"Masih bisa dibaca, kok, ini. Kan, cuma kebelah dua."

"Cuma?" ulang Senja. Bukannya memperbaiki, isi komik tersebut justru makin berserakan ke mana-mana karena ulah Agum. "Itu yang lo bilang cuma?" sarkas Senja.

Agum menyengir. "Komiknya pasti murahan, nih, makanya lemnya gampang banget lepas."

"Lo kali yang murahan," balas Senja kesal.

"Gue laki-laki mahal, ya, Senja. Asal lo tau, di luar sana, enggak ada laki-laki yang lebih mahal dari gue," timpal Agum.

"Itu komik mahal, ya, Agum, asal lo tau," balas Senja dengan mengikuti cara bicara Agum.

"Ya udah, sih, nanti gue ganti. Lo mau berapa? Dua? Lima? Atau sepuluh? Nanti gue beliin."

"Gue udah enggak mood baca. Mending lo pulang."

Agum sedang berada di rumah Senja sekarang. Di rumahnya, sedang tidak ada Ratna ataupun Rain. Rutinitas Minggu siang Senja untuk membaca komik alhasil terganggu karena Agum yang tiba-tiba datang dan merusak harinya.

"Lo tau, enggak, Senja?" tanya Agum tiba-tiba.

"Enggak."

"Iya, kan, belum gue kasih tau," Agum menyampingkan duduknya menghadap Senja. "Ngusir tamu itu dosa."

"Kalau tamunya kayal lo, enggak dosa untuk diusir."

Agum berdecak, "Nanti gue pulang lo kangen lagi. Ribet, kan, kalau lo sampai kangen sama gue." Agum lalu mengambil minum yang ada di depan Senja dan meminumnya.

"Itu minum gue!" protes Senja.

"Iya, gue tau" jawab Agum enteng.

"Terus kenapa lo minum?"

"Lagian kenapa lo kasih gue kopi? Lo pikir gue bapak-bapak yang lagi nongki di warung kopi apa?" ujar Agum kesal. "Gue ini pacar lo yang lagi ngapel ke rumah lo. Harusnya lo kasih makanan yang enak-enak, dong," lanjutnya.

"Tadi lo bilang terserah."

Saat Agum datang, Senja langsung menawarkan minuman. Karena cowok itu mengatakan terserah, maka dia buatkan Agum kopi panas dan jus jeruk untuk dirinya sendiri.

"Iya, emang terserah. Tapi, apa salahnya lo buatin gue jus gitu. Panas-panas gini lo kasih gue kopi. Aneh lo, Senja."

"Lo yang aneh. Ngapain bertamu siang-siang."

"Oh, jadi lo mau gue bertamunya malam-malam gitu?" kata Agum dengan nada menggodanya.

"Enggak, ya. Gue malah enggak suka lo datang."

Agum mendekatkan wajahnya ke wajah Senja. Mata cowok itu menatap mata Senja, lalu turun menatap bibir gadis itu. "Cuma lo cewek di dunia ini yang enggak mau pacarnya berkunjung ke rumah." Agum semakin mendekatkan wajahnya, matanya tidak lepas dari bibir Senja, seakan bibir itu sangat menarik perhatiannya. Agum memiringkan kepalanya dan—

Ting!

Ponsel Agum berbunyi, menandakan adanya pesan masuk. Agum menjauhkan wajahnya, membuat Senja akhirnya dapat bernapas lega. Cowok itu melihat isi pesan tersebut, lalu mengetikkan sesuatu untuk membalas.

"Ya udah, gue pulang. Awas aja lo sampai kangen sama gue," ujar Agum dengan santainya. Apa pria ini tidak sadar bahwa sekarang Senja sedang merasa canggung?

"Itu tadi siapa?" tanya Senja berusaha terlihat biasa saja.

"Cieee, kepo." Agum mengambil jaketnya yang berada di sandaran sofa. "Itu suster yang rawat Bunda. Lo jangan cemburu, ya, sama si suster."

Senja hanya mengangguk-anggukkan kepalanya."Ya udah, sana, cepat pergi," suruh Senja tidak sabaran.

"Seneng banget lo gue mau pergi."

"Itu lo tau."

"Ck, pacar durhaka lo."

"Lo juga pacar durhaka," balas Senja.

"Udah pintar jawab, ya, lo sekarang."

Senja memutar bola matanya, malas menanggapi. Gadis itu tidak menanggapi Agum lagi. Lalu, dia mengantar Agum sampai teras rumah.

"Hati-hati."

Mendengar hal itu dari Senja, Agum melengkungkan bibirnya ke atas, menciptakan sebuah senyuman di sana.

***

"AGUM!"

Aber yang datang entah dari mana, tiba-tiba berteriak dari arah pintu kelas, lalu berlari menghampiri Agum yang tengah mengganggu Senja lagi dan lagi. Pria berkulit hitam dengan bibir tebal itu langsung memeluk Agum erat, sembari merengek seperti anak bayi yang sedang menangis di pelukan ayahnya.

"Lo apa-apaan, sih, Ber? Lepas, ih!" Agum mendorong-dorong badan Aber agar menjauh dan melepaskan pelukannya. Tolong, Agum masih normal. Dia jelas tidak suka dipeluk oleh sesama jenis seperti sekarang ini. "Aber, lo kesambet atau lo abis ditolak Syifa lagi? Lepas, enggak?!"

Bukannya melepaskan pelukannya, justru pelukan Aber semakin erat. Membuat Agum sampai susah bernapas. "Woi, Aber, lepas! Bisa mati gue!" ujar Agum emosi.

Aber lalu melepas pelukannya. "Gue enggak nyangka sama lo, Gum," kata Aber dengan nada seperti sedang menangis, tetapi tidak ada air matanya.

"Gue kenapa emang?" tanya Agum bingung.

"Lo ada masalah, Ber?" Kali ini, Senja yang bertanya.

Aber menggeleng. "Kata Bu Melda, lo yang udah bayar semua utang sekolah gue." Aber mengusap hidungnya, seakan air ingus nya turut keluar.

Senja memandang Agum tidak percaya. Apa benar Agum melakukan hal tersebut?

"Bukan gue—" lagi-lagi Aber memeluk Agum erat.

"Jangan bohong lo sama gue. Lo pikir Bu Melda bakalan bohong gitu? Tanda tangan lo juga tadi ditunjukin sama Bu Melda."

"Dasar Bu Melda ember!" batin Agum.

Agum melepaskan pelukam Aber. "Iya, iya, gue yang bayar. Udah, lo bisa diem, enggak? Jangan heboh. Malu gue."

David yang sedang duduk di tempatnya sambil memainkan ponsel berdecak. "Cuma Agum yang nolongin orang, tapi malu." David kemudian berdiri, "Kalau gue nolongin orang, udah gue pamerin ke seluruh dunia."

"Itu artinya lo sombong, bangke!" balas Aber.

"Makasih banyak, ya, Gum. Kalau bukan karena lo, mungkin gue enggak bisa ikut ujian kelulusan." Aber menjabat tangan Agum sembari menggerak-gerakkan tangan itu ke atas dan ke bawah dengan gerakan cepat.

"Iya, iya," Agum melepaskan tautan tangannya dengan Aber. "Lagian orang mau ujian, bukannya disuruh belajar, malah di suruh bayar utang, kan, aneh."

"Itu bukan aneh, sistemnya emang kayak gitu," ujar Senja.

"Gue tau, tapi, kan, nagihnya bisa pas selesai ujian. Jadi, kita tuh bisa fokus ujian, bukannya malah fokus mikirin utang," jelas Agum panjang lebar.

Senja terdiam mendengarkan perkataan Agum. Walaupun tidak pintar dan menyebalkan,  jika sudah mengutarakan pendapat, Agum memang selalu benar.

"Semua sekolah, kan, juga gitu."

"Bener-bener lo, dah, Bu Senja."

"Gue jadi pengen juga, deh, jadi anak yatim kayka Aber," timpal David tiba-tiba.

"Kenapa?" tanya Agum dan Aber bersamaan.

"Biar semua utang gue dibayarin jugalah sama Agum," jawab David enteng.

Agum melempar pena yang ada di meja ke arah David.

"Astaghfirullah, David! Orang-orang pada pengen punya bapak, lo doang yang kagak!" balas Agum.

"Tobat, Vid, tobat. Durhaka lo jadi anak," Aber menghampiri David, lalu menjitak kepalanya dengan keras.

"Aduh, akh! Bercanda gue, serius amat, sih, lo pada."

"Gimana enggak serius? Muka lo aja serius banget tadi ngomongnya" sahut Oji.

"Muka gue emang kayak gini, ya, dingin-dingin serius gitu, kaya Arnav," timpal David.

"Itu lo-nya aja yang pengen dimiripin sama Arnav. Kalau Rain dengar, dijitak pala lo sama dia sampai botak," ujar Mahmud.

Lagi-lagi Agum melempar pena ke arah David. "Jangan ikutin gaya bicara gue, bisa, enggak?" protes Agum kesal.

"Itu pulpen gue, Agum," tegur Senja.

Agum melihat ke arah meja. Kotak pensil Senja yang Agum acak-acak isinya tadi malah dia lempar pada David. "Eh, enggak sadar gue, Sen," Agum mengumpulkan kembali isi kotak pensil tersebut, tidak lupa mengambil pulpen yang sudah dia lemparkan tadi.

To be continued

•••

Jangan lupa follow komen dan vote

OVER ONS [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang