33. RAIN DAN ARNAV

1.9K 104 0
                                    

33.
RAIN DAN ARNAV

Happy ending itu artinya bahagia. Kalau kamu sama dia enggak bahagia, itu bukan happy ending namanya. Kamu enggak sama dia, tetapi malah bahagia. Aneh, ya?

•••

Rain terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, tubuh gadis itu masih lemah. Dia baru saja sadar setelah dua hari yang lalu sempat tidak sadarkan diri sehabis melakukan terapi hemodialisis.

"Kak ..." panggil Rain pelan.

"Kenapa? Ada yang sakit?" tanya Kevin. Kekhawatiran terlihat jelas di wajah cowok itu. Selama dua hari ini, Kevin dengan setia menemani Rain. Bahkan, dia tidak masuk kampus hanya karena ingin memastikan kondisi Rain secara langsung.

Rain menggeleng lemah, "Senja ... aku mau lihat dia, Kak."

"Kamu belum bisa ketemu Senja, Rain. Kamu harus istirahat dulu."

"Aku baik-baik aja, Kak."

Rain jelas tidak baik-baik saja dan Kevin tahu itu. Rain jauh dari kata baik. Untuk berbicara saja, Rain susah, apalagi untuk menggerakkan tubuhnya?

"Kakak tau kamu baik-baik aja. Tapi, kamu belum boleh ketemu Senja. Kamu harus sehat dulu, Rain."

"Kak, aku mohon. Aku takut enggak sempat lihat Senja lagi."

"Kamu ngomong apa, sih?!" bentak Kevin marah. Takut lebih tepatnya. "Kamu pasti bisa ketemu Senja lagi. Kamu pasti sembuh, Rain," lanjut Kevin.

"Iya, aku pasti sembuh," ucap Rain agar Kevin tidak marah."Tapi, aku pengen ketemu Senja sekarang, Kak. Please."

"Oke, tapi sebentar aja, ya?"

Kevin mengambil kursi roda yang sudah disediakan untuk gadis itu. Cowok itu menggendong Rain, lalu mendudukkannya di atas kursi roda tersebut. Kemudian menuju ruangan di mana Senja di rawat.

***

Tidak seperti sebelumnya, biasanya Rain terus berbicara pada Senja walaupun tidak mendapat sahutan apa pun. Tetapi, kali ini, gadis itu hanya diam sembari memandangi wajah pucat Senja.

"Senja pasti bangun, kan, Ma?" tanya Rain pada Ratna.

"Anak-anak Mama adalah perempuan hebat. Senja pasti bangun dan kamu pasti bakalan sembuh."

Rain tersenyum hambar. Rain saja tidak yakin jika dia akan sembuh. Ini tubuhnya, dia yang merasakan sakitnya, dan dia juga yang menahan rasa sakit itu.

Rain menggenggam tangan Ratna yang ada di atas bahunya. "Maafin Rain, Ma. Sampai sekarang, Rain belum bisa buat Mama bahagia."

"Kata siapa? Mama bahagia sama kamu, Raina. Mama bahagia karena Tuhan udah ngasih Mama anak sekuat kamu." Ratna lalu memeluk putrinya itu dari belakang. Rain adalah penguat Ratna setelah Papa pergi. Maka dari itu, Rain selalu berusaha terlihat kuat di depan Mama.

***

Sudah seminggu berlalu, keadaan Rain masih tetap tidak ada perkembangan. Kevin tidak pernah meninggalkan Rain sekalipun. Bahkan, cowok itu rela tidak masuk kampus demi menemani Rain. Kevin menggenggam tangan Rain sembari terus memperhatikan wajah tertidur gadis itu. Selama Kevin menemani Rain, dia tidak pernah melihat gadis itu tidur dengan nyenyak. Rain tidur, tetapi wajahnya seperti sedang menahan sakit.

Rain tiba-tiba bangun dan mengangkat kepalanya. Dengan cepat, Kevin berdiri dari duduknya dan meletakkan tangannya di depan wajah gadis itu. Kevin tidak pernah merasa jijik sama sekali saat Rain mengeluarkan cairan bening itu dari mulutnya dan mengenai tangan Kevin. Bahkan, sudah beberapa kali Rain muntah di tangan Kevin. "Kalau kamu mau muntah, keluarin aja, Rain,"

Rain menggeleng lemah. "Aku cuma mual, Kak."

Kevin kembali duduk, ia kemudian mengelap tangannya dengan tisu. "Tidur aja, Kakak enggak bakal tinggalin kamu." Kevin membelai kepala Rain dengan sayang.

"Aku udah enggak ngantuk, kok, Kak." Sebenarnya tadi Rain tidak tidur. Rasa sesak, pusing, dan mual terus saja mengganggunya.
"Kak, aku boleh pinjam handphone Kakak?"

"Buat apa?"

"Aku mau telepon Arnav."

Lagi-lagi, Arnav. Rain tidak pernah bosan menanyakan cowok itu. Kevin sangat tidak suka mendengarnya. Arnav memang sering datang menjenguk Rain, tetapi gadis itu selalu tertidur setiap cowok itu datang.

Kevin lalu memberikan ponselnya pada Rain. Tanpa menunggu lama, panggilan tersebut langsung diangkat oleh Arnav.

"Halo, Vin?"

Seketika, senyum terbit di wajah Rain saat indra pendengarannya mendengar suara Arnav. Pria yang masih dia cintai.

"Halo, Arnav."

"Aku pikir Kevin. Kamu enggak lagi HD?"

Hari ini memang jadwal terapi hemodialisis Rain.

"Nanti siang. Arnav. Kamu lagi di sekolah, ya?" Dari seberang sana, Rain dapat mendengar suara keramaian.

"Iya, aku lagi di lapangan. Sekolah jadi sepi karena enggak ada kamu, Rain."

"Di ruangan aku lebih sepi. Cuma ada Kak Kevin sama suara tetes infus."

Rain menatap Kevin, lalu menatap tangannya yang tertancap sebuah jarum infus.

"Aku yakin kamu sembuh. Terus bisa keluar lagi, lihat keramaian."

Rain tersenyum hambar. Dirinya sendiri saja tidak yakin akan sembuh. Entah mengapa orang di sekitarnya selalu mengatakan bahwa dia akan sembuh.

"Lusa, ayo kita keluar."

OVER ONS [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang