24. PELUKAN

1.4K 87 3
                                    

24.
PELUKAN.

Hari ini, udahan pura-pura kuatnya, yuk. Sini, kamu boleh nangis dipelukan aku.

•••


"Halo, Gum?"

"Tumben telepon, biasanya gue yang telepon lo duluan."

Senja memutar bola matanya malas. Si Agum ini, tidak ditelepon salah, giliran ditelepon malah heran.

"Lo di mana?"

"Wih, tumben nanya, biasanya gue yang selalu nanyain lo."

Senja terdiam. Rasa bersalah tiba-tiba hinggap di hatinya.

"Halo, Sen? Lo masih napas, kan?"

"Masih. Lo di mana?"

"Gue di rumah sakit. Tadi lo udah gue kasih tau pas di sekolah, kan?"

"Lupa."

"Kasihan banget pacar gue, masih muda udah pikun."

"Gue udah di lobi rumah sakit. Sini jemput gue."

"Tadi lo bilang datengnya mau sorean."

"Enggak jadi. Sini, cepet."

"Iya, iya, sabar."

Senja duduk di salah satu kursi besi yang ada di lobi rumah sakit. Gadis berponi itu lalu melambaikan tangannya saat melihat Agum celingak-celinguk mencari dirinya.

"Tumben lo lebay pake minta di jemput segala. Lo, kan, bisa langsung masuk," kata Agum saat sudah berdiri di depan Senja.

"Gue lupa ruangan bunda lo."

"Pintar, juara umum pula. Eh, pikun!" ledek Agum dan hanya di balas pelototan oleh Senja. "Tadi, bukannya lo pulang dulu, ya? Kok, masih pakai baju sekolah?" tanyanya karena gadis itu masih mengenakan seragam sekolah lengkap.

"Gue enggak pulang. Soalnya tadi gue jalan sama Rain," jelas Senja. "Karena gue lewat sini, makanya sekalian mampir aja."

Agum mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.

"Bunda lo beneran udah boleh dijenguk?" tanya Senja saat mereka sampai di depan ruangan Bunda Agum.

"Boleh, tadi juga Bunda nanyain lo. Ayo, masuk."

Agum membuka pintu putih tersebut, Senja mengikutinya dari belakang. Terlihat Bunda Agum sedang duduk sembari menonton TV yang ada dalam ruangannya.

"Bun, ini Senja yang Agum ceritain." Agum lalu menutup kembali pintu tersebut.

Bunda melihat Senja dengan senyum ramah. Senja mendekat lalu mencium punggung tangan wanita paruh baya yang masih terlihat pucat itu.

"Senja, Tante."

"Pacar Agum, kan?" tebak Bunda.

Senja melirik Agum sebentar, kemudian mengangguk. "Iya, Tante."

"Panggil Bunda aja, biar lebih nyaman." Bunda menepuk bagian sisi ranjang, "Sini, duduk."

Senja lalu duduk.

"Agum, sana pergi beliin Senja minum dulu," suruh bunda.

Agum berdecak, Bunda dan pacarnya sama saja. Sama-sama hobi menyuruh. "Enggak Bunda, Enggak Senja, sama aja. Hobinya nyuruh Agum mulu."

"Udah sana pergi. Senja pasti haus, di luar, kan, panas."

Setelah bunda mengatakan hal tersebut, Agum akhirnya menurut. Jika Senja yang menyuruhnya, pasti dia akan berdebat terlebih dahulu.

"Agum pasti suka nyusahin kamu, ya, Senja?" tanya Bunda.

"Enggak, kok, Tan—eh, Bunda," ujar Senja kikuk. Bagaimana tidak? Ini pertemuan kedua Senja dan Bunda. Tetapi, baru sekarang mereka dapat mengobrol dan malah langsung disuruh memanggil “bunda”.

"Kamu orang pertama, lho, yang Agum ceritain sama Bunda," kata Bunda sembari tersenyum. Senyum wanita itu sama seperti Agum. Senja yakin, Agum yang murah senyum pasti turunan dari sang bunda.

Apakah Senja harus senang mendengar perkataan Bunda barusan? Rasa bersalahnya malah makin besar. Senja hanya tersenyum tipis sebagai balasan.

"Kamu juga orang pertama yang Agum ajak ketemu sama Bunda," tambah Bunda.

"Teman Agum?" tanya Senja.

"Enggak ada satu pun temannya yang Agum ajak ke sini, cuma kamu," Bunda memberi tahu.

"Bunda juga heran, padahal teman Agum ada banyak. Dari kecil, Agum juga hampir setiap hari menghabiskan waktu di rumah sakit buat nemenin Bunda."

"Dari kecil?" ulang Senja.

"Iya, bahkan hampir semua pekerja yang ada di rumah sakit ini kenal sama Agum."


Senja mengangguk-anggukan kepalanya. Pantas saja tukang parkir serta cleaning service rumah sakit sering sekali menyapa Agum dengan ramah.

OVER ONS [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang