29. UKS

1.5K 93 6
                                    

29.
UKS

Katanya, perihal hati dan perasaan tidak ada yang tahu. Jangankan untuk tahu perasaan orang lain, perasaan sendiri saja terkadang kita masih belum tahu.

•••

Hari terus berjalan sebagaimana mestinya sampai tidak terasa bahwa hari ini adalah hari terakhir ujian. Itu artinya sebentar lagi semua siswa dan siswi SMA LITA akan pergi meninggalkan sekolah mereka tercinta untuk menghadapi kehidupan yang sesungguhnya.

Seperti yang Agum katakan pada Senja untuk fokus dengan ujiannya lebih dulu, gadis itu benar-benar fokus pada ujiannya. Selama ujian, Senja tidak mendekati Agum atau berusaha meminta maaf lagi pada cowok itu. Dia benar-benar fokus dengan ujiannya. Setelah ujian, baru dia akan meminta maaf lagi pada Agum dan menjelaskan semuanya.

Karena hari ini ujian terakhirnya adalah Matematika, kelas XII IPA 1 begitu senyap tanpa suara. Mereka semua tampak fokus dengan soal angka-angka yang ada di atas meja mereka masing-masing.

Tes!


Darah segar menetes pada lembar jawaban Rain. Gadis itu mendongakkan kepalanya ke atas, lalu menutup hidungnya dengan tangan agar darah yang keluar dari hidungnya itu berhenti. Rain menoleh ke samping kanannya, ia mendapati Senja yang terlihat sangat serius pada soalnya. Gadis itu lalu menutup matanya, kepalanya tiba-tiba terasa pusing, pandangannya pun ikut memburam.

Gadis yang memakai blazer rajut warna abu-abu itu berdiri sembari mengangkat tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya masih setia menutup hidungnya. "Bu, saya boleh izin ke toilet?" tanyanya dengan suara yang melemah.

Senja yang tadinya fokus pada soal sekarang beralih menatap Rain. Raut khawatir terpancar jelas di wajah gadis itu.

"Ujian baru aja dimulai, kamu udah mau ke toilet? Kamu pasti mau nyontek, kan, Rain?" tuduh Bu Nunung sembari menaikan kacamatanya. Bu Nunung tahu muridnya yang satu itu sering sekali menyontek.

"Bu, saya—"

Bruk!

Tubuh gadis itu akhirnya ambruk. Seketika, kelas menjadi rebut. Bu Nunung pun menjadi panik. Senja yang duduk di samping Rain langsung berjongkok, lalu mengangkat kepala Rain ke atas pahanya sembari menepuk-nepuk pipi sepupunya itu pelan. Senja berharap gadis itu segera sadar.

Bersamaan dengan itu, Arnav yang baru melewati kelas XII IPA 1 menghentikan langkahnya saat melihat orang dalam kelas tersebut sedang mengerumuni meja Rain.

Bu Nunung yang melihat Arnav langsung menyuruh cowok itu untuk membawa Rain ke UKS.

"Biar saya aja, Bu!" sela Agum dan David secara bersamaan.

"Apaan, sih, lo, ikut-ikut gue?!" Agum kesal.

"Lo yang ikut-ikut gue!" balas David.


"Saya suruh Arnav. Arnav cepat!" kata Bu Nunung karena Arnav yang masih saja diam di ambang pintu. Cowok itu lalu masuk, kemudian membawa Rain dalam gendongannya.


"Kamu mau ke mana?" tanya Bu Nunung pada Senja yang mengikuti Arnav dari belakang.

"Bu, saya harus temenin Rain."

"Selesaikan dulu ujian kamu, Senja. Rain tidak apa-apa."

"Tapi, Bu, saya—"

"Tidak ada tapi-tapi-an, kamu duduk sekarang!" tegas Bu Nunung tak terbantahkan.

Bu Nunung kemudian menatap Arnav yang masih saja diam berdiri dengan Rain yang berada di gendongannya. "Kamu kenapa masih diam di situ? Cepat bawa Rain ke UKS. Setelah itu, langsung ke kelas dan selesaikan ujian kamu."

"Baik, Bu!" jawab Arnav. Setelah itu, dia bergegas menuju UKS.

***

Arnav menatap Rain yang masih belum sadarkan diri, matanya meneliti gadis itu. Rain terlihat sangat berbeda sekarang, tubuh Rain terlihat lebih kurus dari sebelumnya, serta wajah yang sering sekali pucat. Arnav lalu melihat leher, tangan, serta kaki Rain, ada beberapa bengkak pada bagian tubuh gadis itu.

"Lo kenapa, Rain?" batin Arnav bertanya.

Arnav menggenggam tangan Rain yang terasa dingin itu. Entah kenapa, hatinya terasa sakit melihat keadaan Rain yang sekarang. Rain yang biasanya terlihat ceria kini tidak lagi.

"Maafin gue Rain, sampai sekarang gue enggak tau kenapa hati gue enggak bisa nerima lo," batinnya lagi.

Arnav melepaskan genggamannya saat melihat Rain yang mulai mengerjap-ngerjapkan matanya.

"Arnav?" panggilnya lirih.

"Lo udah baikan, kan? Kalau gitu, gue ke kelas dulu," ujar Arnav datar.

Rain menahan tangan cowok itu. "Kamu bisa temenin aku sebentar aja di sini, enggak?"

"Enggak bias. Gue harus selesain ujian gue."

"Kalau gitu, aku boleh nanya sesuatu?"

Arnav mengangguk.

"Kamu benar-benar enggak punya perasaan apa-apa sama aku?"

Rain menggigit bibir bawahnya keras. Bodoh! Kenapa dia menanyakan hal yang malah membuat hatinya semakin sakit? Jelas-jelas dia sudah tau apa jawaban cowok itu.

"Enggak, enggak ada."

"Sedikit pun enggak ada?" tanyanya lagi memastikan.

"Gue harus ke kelas."

Rain menatap pintu UKS yang sudah ditutup oleh Arnav. Apa benar-benar tidak ada lagi harapan untuk mereka kembali bersama? pikirnya.

***

Ceklek!


Rain menoleh pada pintu UKS yang dibuka dengan pelan oleh seseorang.

"Rain, lo enggak apa-apa, kan?" tanya Senja cemas.

"Gue enggak apa-apa, jadi lo keluar aja."

"Gue bawain lo obat. Kata Om Candra, harus lo minum." Senja meletakkan obat tersebut di atas meja yang berada di samping ranjang Rain.

"Gue lagi pengen sendiri," ujarnya saat Senja akan duduk di kursi yang berada di samping ranjang.

Senja mengurungkan niatnya untuk duduk. "Sampai kapan lo mau diemin gue kayak gini, Rain?"

Rain bangkit dari tidurnya, lalu berdiri menatap Senja tajam. "Lo mau tau sampai kapan?"

Senja mengangguk.
"Sampai lo bisa buat Arnav balik lagi ke gue dan buat Arnav kembali kayak dulu."

Senja diam tidak menjawab, dia sudah tidak bisa melakukan hal itu. Senja tidak bisa lagi memaksa Arnav. Senja sudah mencoba untuk membujuk Arnav, tetapi hasilnya nihil.

"Kenapa lo diam? Lo enggak bias, kan, kembaliin semuanya kayak semula?"

"Rain, gue enggak mungkin bisa maksa Arnav. Gue—"

"Kenapa? Karena lo masih cinta sama Arnav? Iya, kan?" sentak Rain cepat.

"Rain, berapa kali gue harus bilang sama lo, gue bener-bener enggak punya perasaan apa-apa lagi sama Arnav. Semua rasa itu udah hilang sejak lama," sela Senja emosi. Gadis itu berkata jujur kali ini. Rasa itu sudah hilang, Senja pun juga tidak tahu sejak kapan rasa itu hilang.

"Lo bohong! Kalau emang lo enggak punya perasaan lagi sama Arnav, terus kenapa lo masih belum cinta sama Agum?" tanya Rain. "Agum kurang apa, Senja? Dia tulus sama lo, dia selalu ada buat lo. Bahkan, di saat lo khianatin pun, dia sama sekali enggak marah sama lo!" lanjut Rain, marah.

"Terus gimana sama lo, Rain? Kak Kevin kurang apa, hah? Kenapa lo enggak bisa balas perasaan Kak Kevin? Sepuluh tahun kak Kevin nunggu lo. Kak Kevin juga rela lakuin apa aja buat lo!" balas Senja tak kalah marah.

"Itu bukan urusan lo—"

"Berarti ada atau enggaknya perasaan gue sama Agum, itu juga buka urusan lo, Rain!" Untuk pertama kalinya, Senja membentak Rain. Dia tidak suka perasaannya diatur. Bahkan, jika itu Rain, sepupu yang dia sayangi. Urusan hatinya biarlah jadi urusannya sendiri. Orang lain tidak perlu tahu.

Rain terduduk di lantai UKS sembari menangis. "Gue mohon, Senja, kembaliin Arnav yang dulu. Gue cuma pengen dia ada di samping gue walaupun sebentar."

"Gue enggak bias, Rain," jawab Senja lirih.

"Kenapa lo enggak bisa? Kenapa dulu lo bisa buat Arnav bertahan sama gue sampai tiga tahun? Harusnya lo juga bisa buat Arnav tetap sama gue sampai akhir, Senja!"

"Maafin gue, Rain. Gue benar-benar enggak bisa. Gue enggak bisa terus-terusan maksa Arnav."

"Gue janji bakal maafin lo, tapi lo harus buat Arnav balik lagi sama gue." Rain mendongak menatap Senja penuh permohonan.

Senja menggelengkan kepalanya cepat, "Gue tetep enggak bias, Rain. Gue rela lakuin apa aja asal lo maafin gue. Tapi, enggak kalau untuk suruh Arnav balik ke lo karena gue enggak bisa."

Senja tidak habis pikir. Mengapa sepupunya bisa seegois ini hanya karena cinta?

"Gue benci lo, Senja! GUE BENCI!"

Senja menunduk menatap sepupunya itu sendu. "Kenapa, sih, Rain? Cuma karena laki-laki, hubungan kita jadi rusak kayak gini? Apa Arnav lebih berarti buat lo dibanding gue yang sepupu lo?"

"Keluar! Gue enggak mau lihat lo lagi!"

"Jadi, bener Arnav lebih penting daripada gue?" ulang Senja.

"Gue bilang keluar, Senja!"
Senja menghela napasnya."Jangan lupa minum obat lo." Setelah itu, Senja keluar, membiarkan Rain yang masih duduk di lantai sambil menangis.

Rain menatap pintu UKS yang telah Senja tutup. "Bahkan, di saat kayak gini, lo masih mikirin kesehatan gue, Senja," lirihnya.

Rain menyayangi Senja, tetapi dia mencintai Arnav. Rain membutuhkan kedua orang itu untuk berada di sampingnya.

To be continued

•••

Jangan lupa follow komen dan vote

OVER ONS [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang