28. UJIAN

1.3K 89 2
                                    

28.
UJIAN

Jadi, untuk apa Tuhan menciptakan telinga jika kalian saja tidak mau mendengarkan?

•••

Hening. Pagi ini, ruang makan yang biasanya ramai lagi-lagi didominasi oleh keheningan. Ratna pun bahkan ikut diam. Sarapan Senja sudah habis sejak tadi, tetapi dia tidak bergerak dari duduknya hingga sarapan Rain pun habis.

"Rain, ayo berangkat," ajak Senja.

Tidak ada jawaban dari si pemilik nama.

"Atau kamu mau Mama yang antar, Rain?" tanya Ratna sembari berdiri.

Rain berdiri dari duduknya, lalu menggendong tasnya. "Rain berangkat sama Kak Kevin."

Senja menahan tangan sepupunya yang hendak pergi. "Lo masih marah sama gue? Gue minta maaf, Rain. Gue mohon jangan kayak gini."

"Maaf lo enggak bakal ngembaliin semuanya." Rain beralih menatap Mamanya "Rain juga kecewa sama Mama. Mama tega bohongin Rain." Setelah mengatakan itu, Rain keluar, tidak ingin menatap wajah mamanya yang terlihat sedih. Hatinya yang sakit malah makin sakit.

"Senja, mau Mama antar?" tanya Ratna.

Senja mengangguk sambil tersenyum getir.

***

"Makasih, Kak," ujar Rain saat sudah sampai di depan pagar sekolah.

Kevin menahan tangan gadis itu saat akan membuka pintu mobil. "Tangan kamu makin bengkak, enggak sakit?" Kevin mengusap tangan Rain yang bengkak tersebut.

Rain lalu menarik lengan blazer rajutnya yang tergulung ke atas untuk menutupi tangannya. "Enggak, Kak. Enggak sakit, kok. Aku turun, ya."

Kevin kembali menahan tangan Rain, "Jangan lupa minum obatnya."

Gadis itu mengangguk.

"Kalau ada apa-apa, langsung telepon Kakak," kata Kevin lagi.

"Iya, Kak. Aku pasti langsung telepon Kakak." Rain bosan mendengar celotehan Kevin sepanjang perjalanan ke sekolah. Cowok itu cerewetnya hampir melebihi mamanya.

Kevin tersenyum mendengar jawaban gadis itu. "Semangat ujiannya. Ingat, jangan nyontek."

Rain memutar bola matanya malas. Mana mungkin dia tidak menyontek? Jelas-jelas gadis itu berada di rumah sakit selama dua hari dan karena itu dia tidak belajar sama sekali.

"Enggak janji, Kak. Nanti jangan lupa jemput aku, ya."

Cowok itu mengangguk sambil tersenyum.

"Hati-hati, Kak," kata Rain.

***

Ujian pagi ini di SMA LITA berjalan dengan lancar, begitu juga dengan kelas XII IPA 1. Yang biasanya kelas itu setiap pagi ribut, maka tidak pada pagi ini.

Tidak seperti biasanya, jika pada jam istirahat Agum akan mengikuti atau mengganggu Senja, maka tidak dengan hari ini. Cowok itu langsung melongos pergi meninggalkan kelas bersama ketiga temannya.

Senja menatap nanar Agum. Selama dua hari ini dia sudah berusaha mengajak cowok itu untuk berbicara dan menjelaskan semuanya, tetapi Agum tidak menggubrisnya sama sekali. Senja melihat Agum yang sedang bermain basket di lapangan bersama Aber, David, dan Mahmud. Gadis itu lalu menghampirinya.

"Agum,"panggilnya dari pinggir lapangan. Tidak mendapat jawaban dari cowok itu, Senja memutuskan menghampiri ke tengah lapangan. "Agum, gue mau ngomong sama lo sebentar."

"Awas!" Agum menggeser tubuh Senja dengan sedikit kasar.

Aber, David, dan Mahmud sedikit terkejut melihat hal itu. Tidak biasanya Agum bertingkah seperti itu pada Senja.

"Gum, tolong dengarin gue dulu."

Agum berdecak kesal, "Lo enggak liat gue lagi main? Lo bisa minggir, enggak? Nanti kepala lo kena bola, gue lagi yang disalahin," sarkas Agum, seakan menyindir kejadian beberapa bulan yang lalu saat Agum tidak sengaja mengenai kepala Senja dengan bola voli.

"Kalian berdua kalau ada masalah, selesaikan baik-baik. Jangan malah ribut di lapangan gini," sela Aber. Dia jadi kesal sendiri melihat temannya yang sok jual mahal itu. Biasanya juga jual murah, pikirnya.

"Jangan bilang lo berdua ribut karena si Lidya Nadira itu," timpal Mahmud asal.

"Lidya Nadira itu siap, Mas?" yanya David dramatis.

Mahmud mengeluarkan ponsel dari kantong celana abu-abunya.

OVER ONS [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang