hi, yg masih melek 🥰 jgn lupa feedback ya.
Menikah bukan menjadi satu-satunya alasan seseorang mengenal dengan baik orang yang teramat mereka cinta. Sejak awal Jian memantapkan hati menerima Jeon sebagai suaminya, ia kira, ia sudah benar-benar mengenal dengan baik diri Jeon dalam segala sisi. Nyatanya, apa yang terjadi kemarin betul-betul nyaris memercikan pertengkaran hebat di antara mereka.
Jeon yang ingin didengarkan, dan Jian yang bertahan dengan idealismenya bahwa menjadi wanita karir bukan berarti ia akan melupakan tanggung jawabnya sebagai ibu dan istri. Menjalani hari-hari sebagai ibu tunggal dalam kurun waktu enam tahun sesungguhnya secara tidak sadar membentuk Jian sebagai wanita mandiri dan kuat. Tidak pernah ingin menyusahkan orang lain, terutama laki-laki. Ia selalu beranggapan bahwa; aku bisa sendiri. Aku bisa melakukan semuanya sendiri. Aku bisa bekerja dan menjadi ibu tanpa sosok suami. Aku bisa membagi waktu dengan baik. Kendati pada kenyataannya, ia tetaplah seorang wanita yang membutuhkan sandaran ketika lelah, butuh tangan ketika kakinya tidak lagi bisa berdiri tegap.
Namun, kepercayaannya dan prinsipnya itu tidak bisa terus-menerus dibiarkan. Jeon merasa, perannya sebagai seorang suami sama sekali tidak dihargai dan dilihat oleh Jian. Bahkan untuk mendengarkan saja, Jian tidak mau. Anggapnya hanya prinsip wanita itu yang benar, dan akan selalu benar.
Pagi ini Cio dan Nana tidak diantar oleh Jeon. Mereka berangkat dengan jemputan bus dari sekolah, bersama teman-temannya. Saat Sora berpamitan, agaknya perempuan itu tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan majikannya, dan memutuskan untuk pergi ke supermarket dengan alasan belanja bulanan. Meninggalkan Jian dan Jeon di ruang makan berdua.
Saling berhadapan. Masing-masing sudah rapi mengenakan pakaian kerja. Sejak sarapan dimulai, oh bahkan mulai dari membuka mata, Jeon sama sekali tidak mengajak Jian berbicara. Lebih parahnya, pria itu tidak mengenakan setelan kerja yang telah Jian persiapkan untuknya di atas ranjang.
Satu menit berlalu. Terasa seperti satu jam. Gelagatnya mulai gelisah, Jian berulang kali melirik arloji mahal pemberian Jeon saat ulang tahunnya beberapa bulan sebelum mereka menikah. Rambutnya yang diurai pagi ini sengaja di-curly. Entah apa tujuannya, Jeon malas bertanya, lebih tepatnya, masih bertahan dengan kemarahannya sejak kemarin malam.
Menyadari bahwa istrinya itu sangat ingin segera enyah dan berangkat bekerja, Jeon lantas mendesah panjang, menyandarkan punggung pada kursi, sebelum menjatuhkan pandangan mengejek pada Jian.
"Lihatlah seberapa tidak inginnya kau di rumah."
"Jeon, tidak seperti itu!" seru wanita itu, mulai terpancing emosinya. Jeon menghela nafasnya lelah. Ini bukan hanya tentang kecemburuannya, tetapi lebih dari itu. Ada ego masing-masing yang berperan penting dalam permasalahan ini. Jeon sadar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AEONIAN [Completed]
FanficHwang Jian tidak pernah mengharapkan cinta yang sempurna sementara kisahnya dimulai dari benang kusut yang tak teruraikan. Tetapi siapa yang menduga perasaannya kian membesar seiring berjalannya waktu? Jian tidak bisa mengalah. Dia menginginkan Jeo...