🔥 belum sempat revisi dan cerita ini termasuk cerita pertama saya. Mohon dimaklumi kalau ada banyak kesalahan dalam penulisan.
Air mata terus mengalir deras kala mengingat bagaimana dirinya difitnah dan dipermalukan. Ia telah mengecewakan papanya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Liam memperhatikan dokter yang sedang memeriksa dan mengobati kaki Jillian. Selain bertambah bengkak, kaki Jillian juga tergores pecahan porselen tadi.
"Saya sudah mengoleskan salep supaya bengkaknya berkurang. Hanya bertambah bengkak saja, tidak ada hal mengkhawatirkan lainnya." Ucap dokter usai melakukan tugasnya. "Kalau begitu saya permisi. Jangan lupa minum obat pereda nyerinya, Nona Jillian."
Jillian mengangguk, "terima kasih, Dok." Ucap Jillian kepada dokter wanita paruh baya tersebut.
"Saya permisi, Tuan Liam." Pamit dokter tersebut.
"Ya, terima kasih." Balas Liam. Ia mengkode Ana yang berada di dekatnya untuk mengantarkan dokter tersebut ke depan.
Sepeninggal mereka, tersisa Liam dan Jillian di kamar tersebut.
Liam menghela napas. "Apa adik tirimu itu tidak mempunyai mata!?" Liam duduk di pinggir ranjang, menatap lekat wajah Jillian yang sekarang sedang kesakitan.
"Ya, mungkin matanya tertinggal saat pergi kesini." Jillian tertawa kecil.
"Lihat kakimu seperti gajah sekarang." Liam mengejek kaki Jillian, terlihat perbedaan ukuran dengan kaki Jillian yang tidak di perban.
Jillian menurunkan pandangannya untuk melihat kakinya. "Liam! Kau tega sekali." Jillian mencebikkan bibirnya
Liam tersenyum. "Minumlah obatmu, supaya meredakan nyerinya." Liam memberikan segelas air putih dan beberapa tablet obat.
Jillian menerimanya. "Obatnya pahit sekali." Gumamnya setelah obat tersebut tertelan.
"Wajar, itu obat bukan permen." Jawab Liam seadanya, ia mengambil gelas dari tangan Jillian, menaruhnya kembali ke meja di dekat ranjang.
Jillian menatap Liam lekat, dugaannya salah karena Liam bukan pria yang selalu serius ketika menanggapi sesuatu.
"Kenapa?" Tanya Liam ketika Jillian terus menatapnya.
Jillian menggeleng. "Aku hanya belum terbiasa atas interaksi kita akhir-akhir ini, aku pikir kau pria yang tidak mengasyikan ketika di ajak mengobrol."
"Aku minta maaf akan hal itu. Setelah menikah aku begitu sibuk, kita jadi kurang berkomunikasi." Liam menyunggingkan senyumnya. "Aku tidak sekaku yang kau bayangkan."
"Kau seperti cenayang saja." Balas Jillian karena ia memang berpikir demikian tentang Liam.
"Aku harap setelah ini kita tidak canggung lagi ketika berbicara, kau juga jangan sungkan untuk mengajakku mengobrol." Liam mengusap pipi Jillian dengan lembut.