"Hari ini jadi ke makam Ibu?" tanya Serina pada William.William mengangguk. "Jadi dong, kan biasanya emang gitu."
Memasuki mobil, kedua muda-mudi itu berjalan meninggalkan pekarangan rumah Serina. Mereka berencana jalan-jalan mengelilingi kota hari ini, namun sebelum itu akan mampir dulu ke Makan Ibu Serina. Hal yang selalu William lakukan kala pulang ke tanah air.
"Aku kemarin Mimpi Ibu," kata Serina memecah keheningan.
"Ibu lagi marahin kamu, hahaha lucu banget. Saking kangennya sama kamu kali yaa, mukanya kelihatan marah banget dan disitu kamu malah ketawa-ketawa. Kangen deh aku liat kamu becanda sama Ibu, Wil."
William menoleh ke arah Serina ketika perempuan itu selesai bercerita, wajah tampak tertawa, namun William tahu bahwa dia sangat merindukan sosok Ibunya.
"Kangen ibu itu, wajar. Ibu juga pasti kangen kamu kok. Tapi yang nggak wajar itu, kamu pura-pura kuat. Manusia itu makhluk lemah, Rin. Wajar kalo kamu sedih," kata William yang sekarang tersenyum sambil mengusap kepala Serina pelan.
Serina menghela napas. "Susah yaa, pura-pura baik depan kamu Will."
"Aku emang kangen Ibu, kangen banget. Ayah juga jarang pulang karna sibuk banget sama kerjaan kantornya, aku khawatir Ayah sakit. Kalo ibu ada, dia bisa ngomel nyuruh Ayah istirahat. Kalo diaku, nggak mempan."
"Ayah, sekalinya di rumah pasti langsung masuk ruang kerja. Keluar pas makan doang dan abis itu masuk ruang kerja lagi, nggak jarang aku denger Ayah batuk-batuk. Aku takut Ayah sakit," kata Serina menumpahkan semua keluhan yang dia pendam akhir-akhir ini.
William sedang sibuk menyetir, jika tidak sudah pasti dia akan menarik Serina ke dalam pelukannya. Memberikan rasa nyaman dan hangat pada yang tersayang, menguatkan dia agar tetap bertahan apapun yang terjadi.
Di usapnya bahu Serina. "Ayo tetep semangat ngurus Ayah, kamu pasti bisa buktiin ke Ibu kalau kamu udah dewasa. Ibu pasti bangga liat Serinanya tumbuh dengan baik."
Serina perlahan mulai menumpahkan air matanya. "Ngebut Will, aku pengen cepet-cepet ketemu Ibu."
"Ey, maksudnya ketemu di makam atau di dunia lain?" tanya William dengan nada bercanda.
Serina merenggut. "Ya di makamnya, masa di dunia lain. Sekangen-kangennya aku sama Ibu, aku nggak ada niatan nyusul dan ninggalin Ayah disini. Di tambah ninggalin kamu? Ldr beda negara aja aku menderita, apalagi beda alam."
"Ahahaha iya deh iya, bentar lagi sampe kok."
***
Gundukan-gundukan tanah yang menjadi tempat peristirahatan terakhir orang-orang berjejer dengan rapih di hadapan Serina dan William, keduanya berjalan menyusuri deretan makam-makam itu. Hingga sampainya mereka pada makam bertuliskan 'Natasha Andin' , makam Ibu Serina.
"Halo Ibu, Erin dateng bareng Willie."
Keduanya bersimbah di samping pusaran makam Ibu Serina, kemudian meletakkan setangkai bunga berwarna putih di atas nama makam.
"William baik-baik aja di sini Bu, Ibu juga pasti gitu kan? Harus dong Bu."
"William kemarin habis liat pameran bunga tulip, liat yang warna Merah tiba-tiba keinget Ibu. Awalnya pengen William bawa pulang terus kasih ke Ibu, tapi nggak sampe sehari udah layu Bu. Maaf ya Bu."
Serina tersenyum hangat, air mata perlahan turun lagi di atas pipinya. Melihat William berbicara pada makam Ibunya sungguh membuatnya terlarut dalam suasana, kenangan-kenangan antara sang Ibu dengan William berputar jelas di otaknya.
William dan Ibunya memang sangat dekat, selera mereka banyak yang mirip yang membuat mereka punya banyak bahan obrolan jika sedang bertemu. Tak jarang Serina menjadi terabaikan ketika mereka sudah berbincang-bincang.
Itu sebabnya, ketika berpulangnya sang Ibu ke pangkuan Tuhan, William juga menjadi orang yang paling terluka. Hampir membatalkan niatnya untuk kuliah di Belanda ketika menerima musibah itu.
Ya, William dan Serina sudah berpacaran kurang lebih 4 tahun. Sejak SMA tahun ke 2. Ibu Serina meninggal tepat setelah kelulusan SMA keduanya.
"William nggak lupa Bu, William bakal terus ada di sisi Serina walau William jauh di negeri orang. William bakal terus sama Serina, jagain Serina buat Ibu, Ibu tenang aja."
Janji William, yang William ucapkan sebelum peti Ibu Serina tertimbun tanah.
William menatap Serina, yang terisak tanpa suara sedang menunduk.
"Kamu nggak mau ngomong sama Ibu?" tanya William.
Serina mengangkat kepala. "Nggak kuat."
"Kok gitu, katanya kangen?"
Serina kembali menangis, kali ini dengan suara. Bahunya bergetar dan dadanya naik turun. Di tatapnya nama sang Ibu yang tertera di batu nisan.
"Ibu... Erin takut Ayah sakit. Ayah bandel Bu, nggak dengerin Erin ngomong. Kerja nggak tau waktu, kadang sampe lupa makan, lupa tidur juga."
Serina menarik napas. "Kalo bisa, Ibu jalan-jalan juga ke mimpi ayah. Omelin ayah kayak ibu ngomel ke Willie di mimpi Erin."
"Erin disini sehat-sehat aja kok, Ibu bisa liat sekarang berat badan Erin nambah. Ibu nggak usah khawatir sama Erin yaa, ibu yang bahagia aja disana." Serina mengakhiri kalimatnya dengan helaan napas berat.
William menarik yang tersayang kedalam pelukannya, mengecup kepala Serina sambil memberi kata-kata penenang. Sakit rasanya melihat Serina menangis karna merindukan Ibunya.
"Pulang aja yuk, kita kan mau jalan-jalan." Ajak William. Serina mengangguk dan berdiri dengan di bantu William.
Sambil berjalan, William menoleh ke belakang, menatap gundukan yang tadi mereka kunjungi. Ada semacam rasa bersalah di hatinya.
Dalam hati, William berkata. "Maaf, Ibu."
***
Demi membuat suasana hati Serina membaik, William rela berbuat apa saja agar melihat tawa Serina.
Termasuk bertingkah konyol seperti 'Pargoy' di depan umum sambil di abadikan oleh Serina. Jika itu laki-laki lain, William tidak yakin mereka akan melakukan hal memalukan seperti ini.
Tidak apa memalukan, yang penting Serinanya tertawa renyah dan melupakan kesedihannya sejenak, William tenang jika seperti ini.
Keduanya bersenang-senang di tempat Wisata yang dikunjungi, mengabadikan banyak momen dengan ponsel masing-masing, makan banyak makanan yang enak serta tertawa karna lelucon garing satu sama lain.
"Aku posting di Instagram, boleh?" tanya Serina dengan mimik wajah berharap.
Dalam hati, William sedikit tidak setuju. Namun pasti Serina akan merasa kecewa.
William memilih mengangguk. "Boleh dong, masa enggak."
Serina mengangguk dan mulai sibuk dengan ponselnya untuk membagikan kisah bahagianya hari ini pada dunia maya.
William yang melihat Serina sedang asik, mundur perlahan dan sedikit menjaga jarak dari tempat Serina berdiri.
Mengutak-atik ponsel, William berusaha menghubungi seseorang dengan perasaan cemas. Tidak ada jawaban sama sekali membuat pikiran William semakin tidak tenang, apalagi setelah membaca pesan tadi yang tidak sempat dia balas.
Willona : Willie kemana? Sakitku kambuh.
Kira-kira siapa yang cocok jadi Willona?
KAMU SEDANG MEMBACA
December to January [✓]
FanfictionMengapa Perpisahan yang terjadi di Desember, membawa dampak besar pada hari-hari di Januari? Start : 111221 Finish : 280122