13. Tuhan Mengambil Ayahku.

180 51 16
                                    

Siapin tisu, Maybe bakal sedih hehehe😆😆😆






Serina sedari tadi terus menghela napas. Malam ini malam Natal, Natal pertama yang benar-benar sunyi bagi Serina. Tidak ada Ibu, Tidak ada William juga tidak ada sang Ayah. Entah dia masih sibuk atau apa, bahkan tidak pulang sedari kemarin.

Gadis itu tidak bisa merayakan Natal dengan asisten rumahnya karna beliau muslim, tidak bisa juga pergi kerumah William untuk Natal bersama Mamanya, karna di sana masih ada Willona. Tidak pantas jika Serina ikut bersuka cita menyambut Natal bersama mereka.

"Bu, Erin sendirian." Serina menenggelamkan wajahnya di antara lututnya.

Sebenarnya dia sudah siap ke gereja untuk merayakan malam Natal disana bersama umat lainnya, namun dia masih ingat pada Sang Ayah. Satu-satunya orang yang Serina punya sekarang.

"Bu, Erin kangen Ibu. Kalau malam Natal gini, biasanya kita nonton bareng Film di ruang tengah, saling tuker hadiah, foto-foto atau bahkan pake kostum-kostum aneh. Erin bener-bener kangen momen itu Bu," gumam Serina sedih.

Gadis itu mangambil bingkai foto yang ada di meja samping tempat tidurnya, foto yang berisi dia dengan kedua orang tuanya sedang bergaya absurd di depan kamera.

Keluarga mereka, dulu benar-benar keluarga yang humoris. Bahkan setiap pagi sebelum sarapan, Sang Ayah sering melemparkan teka-teki yang membuat dia beserta sang Ibu tertawa.

Sungguh, kenangan yang benar-benar ingin Serina ulang saat ini.

Sekarang, Serina tidak punya itu semua. Bahkan sekedar ucapan selamat pagi dari sang Ayah. Laki-laki yang telah membesarkannya itu sibuk, lebih tepatnya menyibukkan diri agar tidak terlalu terpuruk karna kehilangan sang Istri.

"Tuhan, jagain Ibu yaa. Kasih Hadiah Natal paling indah buat Ibu, sayangi dia. Ibu pasti sedih liat aku kayak gini."

Serina berdiri dan menyimpan lagi bingkai foto itu pada tempatnya. Malam Natal ini, tidak baik melewatkannya hanya dengan menangis, Tuhan tidak akan suka melihat umatnya menyambut Hari kelahirannya dengan suasana hati yang buruk.

Dengan langkah gontai, Serina keluar dari kamarnya hendak mencari sang Ayah.

"Mbak Ayu, Ayah udah pulang?" tanya Serina pada Assisten rumahnya.

Wanita itu mengangguk. "Iya Non, Ayah ada di ruang kerja."

Mendapat jawaban dari Mbak Ayu, Serina bergegas ke ruang kerja Ayahnya.

Tok... Tok...

Mengetuk dua kali, tidak mendapat balasan apapun dari sang Ayah. Serina mengira mungkin laki-laki paruh baya itu sudah pindah ke kamar mungkin, makanya Serina memutuskan masuk kedalam ruang kerja untuk melihat lebih jelasnya.

Serina bernapas lega, ternyata ayahnya ada di kursi kerjanya, sedang tertidur di atas meja dengan tangan kanan sebagai alas kepala.

"Yahh, bangun yuk. Kita ke Gereja," ajak Serina mendekat ke arah Ayahnya.

Ayahnya sama sekali tidak menoleh, mungkin faktor terlalu lelah hingga membuat laki-laki yang membesarkannya itu tidak terbangun bahkan setelah Serina bangunkan.

Serina tersenyum menatap wajah damai Ayahnya, sungguh damai walau terlihat pucat.

"Yah, pindah yuk ke Kamar. Ayah istirahat di kamar aja," usaha Serina membangunkan Ayahnya belum membuahkan hasil.

"Ayah, Ayah bangun yuk. Istirahat di kamar."

Kali ini, Serina menepuk pelan pipi Ayahnya. Sama saja, tidak ada respon. Namun, setelah memperhatikan lebih jelas wajah Ayahnya, Serina baru sadar kalau tidak mendengar helaan napas dari sang Ayah. Serina baru ingat juga kalau beliau benar-benar lelah, pasti akan mendengkur dengan keras.

December to January [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang