XLIV.

756 106 49
                                    

Sementara itu, Mujin sedang mendatangi sebuah pertemuan dengan para pelanggan VIP di kawasan Gangnam, kawasan elite yang terletak di ibukota Seoul itu menjadi sumber pengonsumsi terbesar sabu-sabu yang di produksi Mujin.

Mujin terlihat sedang duduk di dalam ruangan VIP salah satu club ternama dan paling mahal itu dengan para pelanggan di depannya yang sudah teler berat dan beberapa gadis-gadis seksi mengelilingi mereka.

Seorang gadis bertubuh jenjang dengan gaun sangat minim hendak mendekati Mujin namun ia menahannya dengan sekali gerakan tangan, Mujin tidak pernah membiarkan siapapun terlebih seorang wanita untuk menyentuhnya dengan mudah.

Mujin kemudian mengalihkan pandangannya, memperhatikan sekitar dari balik tirai, club itu terlihat cukup ramai bahkan pada saat siang hari, sorot matanya terlihat bosan, ia tidak pernah nyaman berada di tempat yang bising seperti itu.

"Bagaimana? Apa kau akan mengambil semuanya?"

Mujin bertanya kepada salah satu pelanggan yang terlihat masih sedikit sadar.

"Tentu saja pak Choi, sabu-sabumu tidak pernah mengecewakan!"

Pelanggan itu memuji dengan bertepuk tangan dan tertawa puas, kedua matanya terlihat hampir tertutup sempurna, pria yang di ketahui sebagai salah satu konglomerat ternama itu terlihat sangat menikmati efek dari sabu-sabu milik Mujin.

"Baiklah, senang berbisnis denganmu"

Mujin sedikit menyegir lalu menenggak sekali lagi whiskey yang ada di gelasnya.

"Aku aku harus pergi sekarang"

Mujin kemudian bangkit dari tempat duduknya di ikuti Taeju yang sedari tadi duduk di sampingnya dan mengurus transaksi tersebut.

"Apa kau tidak ingin tinggal lebih lama? Disini banyak wanita cantik, kau bisa memilih beberapa untuk bersenang-senang"

Pelanggan itu menawarkan yang hanya di balas dengan tatapan jijik dari Mujin.

"Tidak perlu, aku harus mengurus sesuatu"

Mujin kemudian merapikan jasnya dan pergi dari sana yang di ikuti Taeju dari belakang.

"Ada apa, bos? Apa semua baik-baik saja?"

Taeju bertanya penasaran sementara Mujin terus melangkahkan kedua kaki jenjangnya dengan terburu-buru.

"Jiwoo ingin bertemu denganku, kurasa ada sesuatu yang terjadi padanya"

Mujin terdengar sedikit khawatir.

. . .

Jiwoo kembali ke ruangannya dengan langkah lemah seolah seluruh tenaganya telah terkuras habis, ia kemudian duduk termenung di atas kursi kerjanya sembari menatap cincin yang tersemat pada jari manisnya.

Berbagai macam pertanyaan berputar di dalam kepalanya membuat kepalanya terasa semakin sakit, Pildo pun kembali mendekatinya, menanyakan keadaan rekan setimnya itu.

"Kau terlihat sangat pucat, apa kau butuh sesuatu?"

Pildo lagi-lagi menawarkan bantuan, berharap Jiwoo akan mengiyakannya untuk kali ini.

"Sudah ku bilang aku baik-baik saja!"

Jiwoo sedikit memekik membuat Pildo terdiam.

"Kau bisa pulang jika kau mau, aku akan meyampaikan izinmu kepada kapten"

Pildo masih tidak menyerah untuk menolong Jiwoo.

"Kurasa aku memang harus pulang, terimakasih banyak untuk bantuanmu, Pildo"

Jiwoo kemudian bangkit dari kursinya dan sedikit membungkuk ke arah Pildo untuk mengucapkan terimakasih.

"Ahh, itu bukan apa-apa. Pergilah, hati-hati"

Pildo mempersilahkan Jiwoo untuk pergi dari sana, ia bisa merasakan sesuatu yang salah terjadi pada Jiwoo namun ia tidak bisa mengetahui penyebabnya karena Jiwoo terus menolak dirnya untuk mendekat.

. . .

Mujin terlihat berdiri di depan jendela kaca mansionnya, memandangi pemandangan malam kota Seoul yang indah sembari terus berusaha menelepon nomor Jiwoo yang sedari tadi tidak aktif.

Beberapa saat kemudian pintu terbuka, Mujin dengan cepat berbalik dan menemukan Jiwoo sudah berdiri disana dengan tampang lesu dan wajah pucatnya.

Mujin mendekati Jiwoo dengan raut wajah khawatir, belum sempat ia menanyakan keadaan Jiwoo, gadis itu sudah lebih dahulu melayangkan pertanyaan yang membuat Mujin seketika berhenti di tempat.

"Apakah Song Joonsu, polisi yang mati saat mengawasi Dongcheon, adalah ayahku?"

Jiwoo bertanya dengan nada suara lemah, ia sedikit mendongak untuk menatap Mujin.

Mujin terlihat sedikit tersentak ketika mendengarnya.

"Jiwoo-ya.."

Mujin memanggilnya dengan suara yang begitu dalam, ia kemudian kembali mendekati Jiwoo dan hendak menggapai lengan gadis itu namun Jiwoo menepis tangannya dengan kuat.

"Kenapa kau membohongiku? Kenapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya saat di pinggir dermaga?"

Kedua kelopak mata Jiwoo terlihat sangat merah, tatapan matanya seolah menuntut penjelasan dari Mujin.

"Benar, Song Joonsu adalah nama asli ayahmu"

Mujin sedikit menghela nafas sementara raut wajah Jiwoo terlihat semakin menegang, ia berusaha keras menahan lonjakan amarahnya yang meluap-luap.

"Aku tidak mengatakan apapun sebelumnya karena aku ingin kau mencari tau sendiri"

Mujin melanjutkan sembari berusaha menenangkan Jiwoo.

"Kau tau seberapa penting ini bagiku, kan? Mengapa kau tega menutupinya?"

Jiwoo tidak dapat lagi menahan amarahnya, ia berteriak bersamaan dengan buliran airmata yang jatuh ke pipi ranumnya.

"Maafkan aku"

Mujin menatap Jiwoo dengan perasaan bersalah, ia kemudian berusaha memeluk Jiwoo namun lagi-lagi Jiwoo menolaknya dengan sedikit mendorong tubuh Mujin menjauh.

"Aku merasa tidak enak badan, aku akan pulang"

Jiwoo kemudian berbalik namun Mujin menahan lengan kirinya.

"Aku bisa menjelaskan semua yang ingin kau ketahui tentang ayahmu"

Jiwoo kemudian memutar lengannya dengan keras hingga melepaskan genggaman Mujin.

"Tidak perlu, aku sudah tau semuanya"

Jiwoo kembali melanjutkan langkahnya.

"Jiwoo-ya.."

"Jangan menahanku atau aku akan menyakitimu"

Jiwoo menjawabnya dengan dingin sembari berusaha menahan airmatanya yang terus menerus menetes, ia kemudian meninggalkan ruangan itu dengan Mujin yang hanya bisa terdiam di tempatnya berdiri.

Starry Night, Blurry Fate : Mujin x Jiwoo [END - REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang