Jiwoo memasuki apartemennya yang sunyi dan senyap itu lalu menekan saklar lampu untuk menerangi ruang tamunya yang nampak cukup berantakan karena ia tidak punya banyak waktu untuk pulang dan bersih-bersih.
Kedua lengan lemah Jiwoo mengambil satu persatu pakaian yang tergeletak di atas sofa, memasukkannya pada keranjang pakaian yang ia bawa lalu menyimpannya di atas mesin cuci, pandangannya masih kosong dengan pikiran yang kacau.
Jiwoo kemudian mendatangi ruangan rak tempat abu jenazah ayahnya di simpan, ia mengelus guci berwarna putih itu dengan lembut tepat pada bagian nama ayahnya terukir, Jiwoo memandanginya dengan mata berbinar, dadanya terasa sangat sesak.
"Ayah..."
Jiwoo terdengar lirih, nada suaranya sedikit bergetar.
"Maafkan aku karena tidak tahu bagaimana kerasnya kau hidup selama ini, bahkan aku tidak tahu nama aslimu..."
Jiwoo berusaha keras menahan bulir airmatanya, untuk beberapa saat ia berhasil, namun akhirnya airmata itu pun turun membanjiri kedua pipinya dengan deras.
"Ayah, aku harus bagaimana? Aku harus melakukan apa sekarang?"
Jiwoo sedikit menunduk, membiarkan tangisannya meledak tanpa suara, hanya sedikit isakan yang terdengar.
"Ayah..."
Jiwoo masih mengelus guci itu dengan tangan lemahnya.
"Aku sangat takut, aku takut semua yang aku pikirkan adalah benar, bagaimana bisa aku menghadapinya? Bagaimana..."
Jiwoo tidak sanggup melanjutkan perkataannya, dadanya terasa semakin sesak dengan airmata yang terus menetes ke atas lantai yang ia pijak.
Setelah menenangkan dirinya, Jiwoo meninggalkan rak itu menuju terowongan pintu masuk apartemennya.
Jiwoo memperhatikan CCTV yang masih menyala disana lalu melemparnya dengan sebuah pisau kecil yang ia bawa, lemparan itu tepat mengenai letak kamera pada CCTV itu yang menyebabkannya seketika mati.
Jiwoo juga mematikan ponselnya dan melemparnya ke sembarang tempat, lalu menaiki kasurnya dengan perasaan yang campur aduk.
Terlalu larut dalam rasa kesedihan membuatnya merasa mengantuk, beberapa saat kemudian ia tertidur pulas dengan kedua matanya yang masih terlihat basah.
. . .
Mujin memasuki mansionnya bersama Taeju yang mengikuti di belakang, tidak ada percakapan di antara keduanya, Taeju bisa merasakan sesuatu terjadi pada Mujin yang membuatnya segan untuk menanyakan keadaannya.
Mujin mendaratkan tubuhnya ke sofa dengan gerakan tenang, ia terlihat sedikit melonggarkan dasinya lalu melepas jasnya dan melemparnya ke sembarang tempat, sementara Taeju hanya berdiri di depannya, memandangi Mujin dengan tatapan bingung.
"Duduklah, Taeju-ya"
Suara serak dan dalam itu memberi perintah membuat Taeju duduk dengan perlahan berhadapan dengan Mujin.
"Apa kau ingin minum?"
Mujin bertanya ke arah Taeju yang masih memasang ekspresi bingung.
"Ahh, tidak- maksudku, terserah saja bos"
Taeju menjawabnya dengan terbata-bata, ia terdengar bimbang memilih kata-kata untuk menanggapi pertanyaan yang lebih terdengar seperti perintah itu.
Mujin kemudian bangkit dari sofa menuju bar mini yang terletak di pojok ruangan, namun seketika pandangannya teralihkan pada monitor yang terletak di atas meja kerjanya, monitor yang memperlihatkan rekaman CCTV di apartemen Jiwoo itu nampak mati.
"Dia benar-benar marah"
Mujin bergumam sembari sedikit tersenyum masam lalu mengambil sebotol wine dan dua gelas kaca dari atas meja dan kembali mendekati sofa, ia kemudian meletakkan wine itu ke atas meja dan sedikit mendorongnya ke arah Taeju.
"Maaf merepotkanmu, Taeju-ya. Tapi bisakah kau menemaniku minum malam ini?"
Mujin membuka tutup botol wine itu lalu menuangkannya ke gelas Taeju.
"Tidak masalah bos, sama sekali tidak merepotkan"
Taeju kemudian dengan cepat mengambil gelas itu dan menenggaknya, ia tidak pernah melihat Mujin seperti itu sebelumnya, Taeju kemudian memahami situasi tersebut pasti ada sangkut-pautnya dengan Jiwoo.
"Pernahkah kau berpikir untuk keluar dari dunia ini dan memulai hidup baru?"
Mujin bertanya sembari menenggak wine miliknya.
"Ya bos, kadang-kadang aku memikirkannya"
Taeju sedikit tersenyum masam.
"Walaupun aku cukup bahagia dengan hidupku sekarang, namun jika aku memiliki pilihan, aku akan meninggalkan dunia yang suram ini"
Taeju melanjutkan perkataannya sembari memperhatikan botol wine dengan pandangan kosong.
"Kau bisa pergi jika kau mau"
Mujin mengatakannya dengan pelan namun cukup membuat Taeju seketika mendongakkan wajahnya, ekspresi terkejut terukir jelas disana.
"Tidak, bukan begitu maksudku bos"
Taeju menjawabnya dengan perasaan bersalah, ia terlihat sedikit meluruskan posisi duduknya, merasa grogi.
"Kau bisa pergi kapan saja, aku tidak akan mencegahmu, kau berhak memiliki hidup yang layak"
Mujin kembali menuangkan wine kedalam gelas milik Taeju dan memberinya kode untuk minum.
"Aku sudah berjanji untuk mengikutimu di sisa hidupku, aku tidak akan kemana-mana"
Taeju menjawabnya dengan tegas, kedua matanya terlihat tulus, ia lalu mengambil kembali gelas miliknya dan meminum wine itu dengan sekali teguk.
Sementara itu, Mujin hanya tersenyum tipis mendengar jawaban Taeju, anak laki-laki yang ia ambil dari jalanan 13 tahun lalu itu telah tumbuh menjadi seorang pria yang tegas dan bertanggungjawab.
Mujin terus menuangkan wine kedalam gelas mereka berdua, membiarkan dirinya larut dalam rasa mabuk yang membuatnya sedikit melupakan permasalahan nya, ia tidak pernah begitu lemah dalam menghadapi sesuatu.
Namun ketika itu bersangkutan dengan Jiwoo, Mujin seketika berubah menjadi seseorang yang sangat berbeda, hatinya yang dingin dan tanpa belas kasih sedikit demi sedikit mencair, dirinya yang terkenal kejam dan tidak mengenal ampun kini mulai menunjukkan sisi manusiawinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Starry Night, Blurry Fate : Mujin x Jiwoo [END - REVISI]
Fiksi PenggemarDebur ombak dan aroma asin dari laut yang terbakar matahari, terlihat dua orang pria berdiri berdampingan di pinggirannya. ''Dia hanya seorang gadis kecil yang ingin membalas dendam, biarkan dia mendapat apa yang ia inginkan.'' Choi Mujin kembali me...