LVIII.

685 88 21
                                    

Jiwoo memasuki ruangan kerjanya dengan perasaan yang campur aduk, ia perlahan melangkahkan kakinya menuju meja kerjanya yang telah lama ia tinggalkan itu.

Meja itu tampak begitu rapi dengan berkas-berkas dan alat-alat tulis yang telah tersusun di atasnya membuat Jiwoo penasaran siapa yang melakukan itu untuknya.

Jiwoo kemudian duduk di atas kursinya sembari menatap lurus ke arah layar komputer mati yang berada di depannya, sedikit melamun tentang kejadian barusan, ia merasa sedikit bersalah kepada Pildo.

Tiba-tiba dari arah belakang seseorang memanggilnya, suara lembut dan ceria itu menyapa Jiwoo dengan riang membuatnya menoleh.

"Noona, kau sudah kembali bekerja?"

Jaein berjalan mendekati Jiwoo dengan raut wajah gembira sementara Jiwoo tersenyum simpul.

"Iya, aku sudah jauh lebih baik sekarang"

Jiwoo masih memandangi Jaein yang kemudian duduk di sampingnya pada kursi Pildo.

"Kau sendiri, bagaimana keadaanmu?"

Jiwoo bertanya sembari menelisik Jaein, memastikan kondisi pria yang baru berumur 21 tahun itu.

"Aku baik-baik saja noona, aku merasa bersalah membiarkanmu tertembak saat itu..."

Jaein sedikit menunduk dengan raut wajahnya yang seketika terlihat murung.

"Tidak apa-apa, kau sudah berusaha dengan keras. Aku bersyukur kau baik-baik saja"

Jiwoo kemudian menepuk-nepuk pundak Jaein untuk menenangkannya.

"Oh iya, ku rasa noona belum mendengar berita terbaru dari kapten, kan?"

Jaein menyambung perkataannya dengan raut wajah serius.

"Berita baru? Berita apa itu?"

Jiwoo bertanya penasaran sembari meluruskan posisi duduknya.

"Kasus polisi yang mati 5 tahun lalu saat mengawasi Dongcheon akan di selidiki ulang"

Seketika Jiwoo membeku mendengar setiap perkataan yang keluar dari mulut Jaein, matanya membulat sempurna sembari menahan deru nafasnya yang terasa semakin cepat.

"Song Joonsu?"

Jiwoo bertanya dengan berusaha tidak tergagap.

"Benar, Song Joonsu"

Jaein membalasnya dengan tak kalah serius.

"Tapi mengapa? Kupikir kasus itu sudah di tutup oleh kapten"

Jiwoo kembali bertanya penasaran, tangan kirinya kini mengepal ujung mantel berwarna hitam yang ia kenakan.

"Kapten mengatakan jika kita bisa menangkap pelakunya yang sangat besar berhubungan dengan Dongcheon, kita juga bisa menangkap Choi Mujin"

Jiwoo semakin membeku di tempat duduknya, menahan getaran pada ujung-ujung jarinya dengan terus mengepal ujung mantelnya.

"Ahh, begitu... Itu bagus"

Jiwoo menanggapi dengan berusaha terlihat tenang sembari memalingkan wajahnya.

"Kita harus menangkap Choi Mujin untuk semua kejahatan yang dia lakukan, terutama karena dia telah menembakmu!"

Jaein terdengar gusar, sementara Jiwoo berusaha menenangkan pikirannya yang berkecamuk.

"Tentu saja... Kita harus menangkapnya"

Jiwoo kembali membalas dengan nada suara rendah, kerongkongannya mulai terasa tercekat.

"Baiklah noona, aku akan kembali bekerja"

Jaein kemudian bangkit dari kursi lalu membungkuk sekilas memberi hormat kepada Jiwoo.

"Panggil aku jika noona membutuhkan sesuatu"

Jaein tersenyum ramah ke arah Jiwoo yang masih memasang ekspresi datar.

"Tentu, terimakasih Jaein-a"

Jiwoo sedikit mendongak dan memaksakan senyuman pada ujung bibirnya.

Jaein pun pergi meninggalkan Jiwoo dengan pikirannya yang kacau, Jiwoo benar-benar gugup ketika mendengar Cha Giho akan menyelidiki ulang kasus ayahnya, ia gugup karena akan segera mengetahui pembunuh ayahnya dan juga gugup karena Mujin terlibat di dalamnya.

Jiwoo sedikit mengusap keningnya untuk menetralisir pening yang ia rasakan, tiba-tiba seseorang kembali mendekatinya dan duduk di sampingnya.

"Jiwoo-ya, ada apa?"

Pildo bertanya ke arah Jiwoo yang sedari tadi memperhatikan gerak-geriknya.

"Tidak apa-apa"

Jiwoo menjawabnya singkat, tidak memalingkan wajahnya sedikit pun.

"Tapi kau terlihat... Sudahlah"

Pildo mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih lanjut, menyadari bahwa itu hanya akan membuat Jiwoo tidak nyaman.

"Aku dengar kapten akan membuka kembali kasus Song Joonsu, apakah itu benar?"

Jiwoo tiba-tiba bertanya dengan sedikit menoleh ke arah Pildo.

"Benar, kurasa kapten telah menemukan bukti baru"

Pildo mengiyakan sembari mengetuk-ngetuk ujung meja.

"Ku harap dengan menyelidiki kasus ini kita bisa menangkap Choi Mujin"

Pildo menyambung perkataannya sembari terus menatap Jiwoo dengan sorot mata bersemangat.

"Apa aku boleh tau alasan mengapa kau sangat ingin menangkap Choi Mujin?"

Jiwoo bertanya dengan berusaha menjernihkan nada suaranya yang sedikit bergetar.

"Adik perempuanku meninggal ketika dia baru saja berumur 18 tahun, saat itu dia pamit untuk pergi ke club bersama teman-temannya"

Pildo terlihat sedikit menghela nafas untuk mengambil jeda, sorot matanya seketika berubah menjadi murung.

"Dia memiliki jantung yang lemah sejak lahir, seseorang memasukkan narkoba ke dalam gelasnya yang membuatnya overdosis dan meninggal di tempat"

Pildo terdengar serak, sebuah beban seperti menekan pita suaranya.

"Jika aku berhasil menangkap Choi Mujin, peluang untuk mencari pembunuh adikku semakin besar"

Pildo sedikit menunduk menatap lantai berwarna abu-abu itu.

"Ku harap ini tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya, karena jika iya aku tidak akan mengampuninya"

Tangan kanannya kini terlihat mengepal dengan kuat, mencoba menahan amarahnya.

"Aku turut berduka untuk kehilanganmu, aku harap kau segera menemukan pembunuhnya"

Jiwoo berusaha menenangkan Pildo yang terlihat semakin murung, sebagai sesama korban kehilangan orang yang mereka sayangi, Jiwoo sangat paham perasaan dan dendam yang Pildo miliki.

Namun Jiwoo juga tidak akan membiarkan kekasihnya di tangkap tidak perduli apapun yang harus ia korbankan, bahkan jika ia harus menjadi pengkhianat untuk kesekian kalinya.

Starry Night, Blurry Fate : Mujin x Jiwoo [END - REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang