4. Clear

383 27 0
                                    

Double update. Met baca~

***

Sesampainya di kamar tamu, tangisku kembali pecah. Kulempar bantal, bantal guling, dan selimut yang semula terlipat ke sembarang arah. Merasa belum puas meluapkan emosi, mataku tertuju pada vas bunga di meja kecil.

Ketika hendak mengambilnya untuk dilempar, hatiku tiba-tiba bergetar. Aku salah, cara mengempaskan amarah ini membuat setan dan iblis tertawa bangga. Maka, aku menghela napas dalam hingga beberapa kali supaya diri tidak tersesat semakin jauh.

Aku menangis tersedu-sedu memikirkan nasib dan takdir yang jarang sekali memihak. Tentang kepergian Almira, sikap tak bersahabat Ibu, dan pertengkaran bersama Mas Galih yang topiknya itu-itu saja. Aku ingin didengarkan, dimengerti, diberi perhatian lebih, bukan diperlakukan seperti ini.

Aku terpaksa menata kembali benda-benda yang tergeletak di lantai. Istighfar dan isakku saling bersahutan. Pikiran, hati, dan egoku sedang tidak sejalan, malah nafsu yang lebih dominan. Namun, akal sehatku sedang berusaha merebut kembali kewarasannya.

Setelah benda-benda itu ditata ke tempat yang semestinya, aku mengambil tasbih digital yang tergeletak di meja kecil samping ranjang. Aku duduk di ranjang, menghadap jendela, dengan pandangan tertuju pada lukisan abstrak yang menggantung di dinding samping kusen. Pokoknya, aku tidak boleh tersesat pada rasa yang salah.

Di sela-sela bacaan istighfar, aku teringat awal-awal pertemuan dengan Mas Galih. Dari dulu hingga sekarang, Mas Galih lah yang paling berbakti kepada Ibu di antara saudara saudarinya. Selain keberadaan surga yang berada di bawah telapak kaki ibu, Mas Galih selalu mengingat dan menceritakan pengorbanan Ibu saat membesarkannya. Jadi, wajar kalau dia lebih mengutamakan perasaan Ibu, itu karena sudah menjadi kebiasaannya.

Aku tahu, menjadi orang tua tunggal untuk sejumlah anak tidaklah mudah. Ibu pasti banting tulang dalam mencari nafkah. Ibu terus menemani putra-putrinya, memberi semangat, dan membantu hingga sebagian anaknya meraih kesuksesan.

Namun, sepertinya hanya Mas Galih yang tidak punya pekerjaan tetap. Semenjak menikah, entah sudah berapa tempat yang dijadikan ladang rezekinya. Bahkan sekarang pun, Mas Galih belum mendapatkan lagi pekerjaan karena dia resign sehari setelah aku melahirkan.

Wajar jika Ibu tidak menyukaiku. Mungkin aku tidak masuk dalam kriteria menantu idaman. Aku juga yang menjadi alasan Mas Galih gagal meraih gelar. Kala itu, Mas Galih lebih memilih menikahiku dibanding lanjut kuliah.

Banyak sekali dampak yang aku dan Mas Galih dapatkan setelah menikah. Selain sering berselisih paham dengan Ibu, saat itu, aku pernah mendengar beliau berbicara pada beberapa temannya kalau salah satu menantunya itu pembawa sial. Mungkin, menantunya itu adalah aku, mengingat saat berinteraksi dengan ipar yang lain, pembawaan Ibu begitu berbeda.

Istighfar aku gumamkan. Aku tidak boleh suudzon. Menantu Ibu itu banyak. Namun, tetap saja, yang paling miskin, yang tidak mempunyai gelar, yang tidak mendapatkan restunya hanyalah aku.

“Sayang ....”

Refleks, aku menatap pintu yang diketuk dari luar.

“Buka pintunya. Aku minta ma'af.”

Aku menghela napas dalam. Sebagian hati kecilku yang dikuasai si terkutuk Dasim melarang membukakan pintu mengingat Mas Galih terkesan lebih memikirkan perasaan Ibu. Ingatan di mama Ibu membanding-bandingkanku dan curahan hatiku yang tak ditanggapi Mas Galih kembali berputar.

Aku lekas membaca istighfar hingga berkali-kali. Alhamdulillah, pikiranku sedikit rileks. Aku harus bisa menyingkirkan pikiran-pikiran negatif yang bisa meracuni hati. Bagaimanapun, Mas Galih juga manusia biasa yang tak akan lepas dari kesalahan.

Pernikahan Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang