10. Syarat Rindu

299 22 2
                                    

Pikiranku berkelana pada kejadian kemarin siang. Setelah Mas Galih menunaikan kewajiban-Nya, dia menceritakan semuanya padaku supaya tidak ada kesalahpahaman lagi di antara kami. Mas Galih begitu mungkin karena aku salah satu istri yang kalau sudah emosi, pasti mengungkit-ungkit sesuatu untuk dijadikan senjata.

Katanya, kemarin Mas Galih hampir putus asa karena di tempat-tempat yang dituju tak menerima lowongan baru. Akhirnya, Mas Galih berinisiatif menjenguk Kak Doni karena salah satu tempat yang disinggahinya lumayan dekat dengan rumah sakit.

Saat menceritakan bagian tersebut, aku gemas bukan main. Aku yang terang-terangan menelepon dan mengiriminya pesan izin, malah didiamkan hanya karena dia tidak memainkan ponsel. Beda halnya dengan aku yang dipaksa keadaan untuk melahap kedongkolan sebab Mas Galih pun tak berkabar.

Setelah selesai menjenguk, Mas Galih tak sengaja bertemu dengan Mbak Ayu, akunya. Mbak Ayu mengajak Mas Galih untuk berbincang sebentar. Mas Galih pun mau dengan dalih "tak enak" karena setiap kali Mbak Ayu mendekat, dia selalu menjauh.

Dalam obrolan itu, mereka membahas masa-masa saat UKM. Mbak Ayu mengaku menyukai Mas Galih sedari dulu, tapi dia tidak berani berterus terang. Akhirnya, dia memanfaatkan kedekatan orang tuanya, mendekati Ibu, mengambil hatinya, dan Mbak Ayu bisa dikatakan sukses karena restu itu dia kantongi. Namun, sepertinya Mbak Ayu menuai kekecewaan karena Mas Galih memilih menikahiku.

Dalam obrolan ringan tersebut, katanya Mas Galih memberi saran agar Mbak Ayu menikah jika sudah mendapatkan lelaki baik. 'Jodoh memang sudah ada yang mengatur, tapi sebagai manusia, ada baiknya kita berikhtiar agar diberikan pasangan terbaik. Tidak perlu pacaran. Asal sudah kenal baik dan sama-sama suka, maka pernikahan jangan ditunda-tunda.'

Aku tersenyum kecil saat mengingat ucapan Mas Galih. Mbak Ayu pasti merasa dinasihati. Kalau sudah memberi saran, nasihat, atau apa pun itu, Mas Galih mempunyai gaya dan nada bicara yang akhir-akhir ini tak terlihat.

"Kenapa?"

Aku menatap Mas Galih yang tengah melihatku. Lalu, tatapanku beralih pada genggaman tangan kami. Rasanya, hati tentram sekali. Mas Galih seolah-olah memberitahu kepada dunia kalau aku ini miliknya seorang.

"Nggak papa," jawabku seraya terkekeh.

Hari ini, aku dan Mas Galih sepakat keluar untuk mencari udara segar. Cara berjalanku juga sudah normal, tidak takut-takut, atau merasa ngilu seperti kemarin-kemarin. Ya, setidaknya aku sudah bisa berjalan dengan durasi lama.

Kami sedang mengunjungi salah satu mal. Bahkan, aku dan Mas Galih sudah selesai belanja stok kebutuhan dapur, sabun, dan lain sebagainya yang sudah menipis. Mas Galih juga bilang, aku bebas pilih dan beli apa saja yang diinginkan. Asalkan pengeluaran kami ini tidak merogoh kocek terlalu banyak.

Sayangnya, ada yang mengganjal di hati sedari tadi, ibu mertuaku ikut serta. Bukan karena aku tak suka, hanya saja inginku berduaan saja dengan Mas Galih. Namun, beras sudah menjadi liwet, ya, nikmati saja.

Alasan Mas Galih mengajak Ibu karena katanya ingin menghibur beliau. Keadaan Kak Doni yang tak kunjung siuman membuat Ibu sempat drop. Beruntung, Mbak Diara merawat dan memperhatikan kesehatan Ibu dengan baik.

"Galih, Ibu mau ke stand sana. Kamu mau ikut?"

Kamu, ya, selalu kamu. Jika kami bertiga bersama, aku seakan-akan dianggap tak ada.

Astaghfirullah.

Mas Galih tidak menjawab ucapan Ibu, dia malah menatapku dengan sorot yang sarat akan permohonan dan kebingungan. Berhubung diperhatikan keduanya, aku terpaksa mengangguk. Toh, tempat yang Ibu tunjuk juga salah satu stand pakaian muslimah. Siapa tahu, ada gamis, jilbab, atau aksesoris yang menarik perhatianku.

Pernikahan Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang