14. Selesai

440 32 2
                                    

Detik dan menit telah berlalu. Namun, ruangan ini masih diselimuti keheningan. Hanya terdengar berbagai macam deru napas orang sekitar.

Aku melirik Ibu dan Mbak Ayu yang duduk berdampingan. Di sebelah kanannya, Kak Dzul tengah memainkan ponsel dengan Mbak Diara yang tengah memerhatikan. Sementara tatapan Mbak Milda tertuju ke arah dapur, di mana Kak Reyhan dan Mas Galih menghilang dari pandangan kami.

Aku bisa menangkap raut kegelisahan di wajah Mbak Milda dan Mbak Diara. Kalaupun tersenyum, senyuman mereka tampak dipaksakan. Belum lagi mereka sering mengalihkan pandangan.

“Jadi bagaimana, Ellea? Kamu setuju bukan?” tanya Ibu untuk yang kedua kalinya.

“Setuju? Maksudnya setuju apa, ya, Bu?”

Ibu tersenyum kecil, terkesan sinis. “Ternyata benar tebakan Ibu kalau Galih tidak akan bisa bicara hal ini sama kamu. Jadi begini, Ellea—”

“Bu, kita tunggu Galih sama Reyhan, ya? Sebentar lagi paling,” sela Mbak Diara.

Aku menahan napas sebentar saat Ibu berdecak akan pinta Mbak Diara. Sebenarnya ada apa, sih? Kenapa perasaanku mendadak tak enak? Mana di sini ada Mbak Ayu pula.

“Loh, kenapa pada diem-dieman?” tanya Kak Reyhan diikuti tawa yang terdengar garing.

“Reyhan, Galih, duduk,” titah Ibu setelah melihat Mas Galih mengekori Kak Reyhan.

Kak Reyhan duduk di sebelahku, tapi dia memberikan ruang kosong untuk Mas Galih duduk. Jika dibandingkan dengan yang lain, ekspresi Kak Reyhan memang selalu setenang air, dia tak pernah memberitahu orang-orang akan perasaannya. Karakter yang berbeda jauh dengan Mas Galih. Jika hati Mas Galih sedang kacau, maka aku tidak akan mengharapkan seulas senyuman terukir di bibirnya.

“Bu, aku sama Ell pamit duluan, ya. Aku lupa kalo malem ini—”

“Duduk, Galih. Jangan menghindar.”

Aku melirik Mas Galih. Ekspresinya tampak memelas. Mata itu memancarkan kegelisahan semenjak kembali bersama Kak Reyhan.

“Tapi, Bu ....”

“Mas, duduk dulu,” bisikku agak kencang, kira-kira Mas Galih mendengar saja. Aku agak penasaran dengan apa yang mau disampaikan Ibu.

“Masalah ini harus segera diselesaikan, Lih. Tidak boleh ditunda terlalu lama.”

Aku melirik Mbak Milda dan Mbak Diara. Keduanya serempak menghindari tatapan dariku. Sikap mereka seolah-olah menghindari pertanyaan isyaratku.

“Maaf, Bu, memangnya Mas Galih punya masalah apa?”

“Bu—”

“Ellea, sebagai istri pertama Galih, Ibu harap kamu mengizinkan Galih menikah lagi.”

Rotasi duniaku seperti berhenti sejenak. Telingaku mendadak pengang. Hampa yang tadi dirasakan hati, berganti sakit luar biasa.

“Ibu lagi becanda, kan?” tanyaku memastikan.

Aku tidak boleh baper apalagi menangis. Siapa tahu, aku salah dengar.

“Memangnya Ibu terlihat sedang becanda?”

Aku menelan paksa salivaku. Kutepis tangan Mas Galih yang hendak menggenggam. Apa-apaan ini! Kenapa acara keluarga besar yang biasa ramai, santai, malah mencekam, tinggal hatiku tertikam?

Jadi, ini maksud pesan Mbak Milda. Mukena yang waktu itu dibeli bersamaku, bukan untuk Mbak Rania, melainkan buat Mbak Ayu.

“Mbak, aku mohon, masih banyak pemuda tampan, mapan, baik, dan baik di luar sana. Kenapa harus Mas Galih, Mbak?” Kutatap Mbak Ayu yang sedang tergagap-gagap. Kepalanya menggeleng pelan dengan pandangan yang bergerak gelisah.

Pernikahan Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang