1. He's Mine

1.5K 53 0
                                    

Assalamualaikum, semuanyaaa. Apa kabar? Moga pada baik, ya. Aku bawa cerita baru, nih. Kali ini, untuk pertama kalinya aku ikutan challenge bareng Penerbit Miranda Novelia. Insya Allah update setiap hari. Jangan lupa follow, like, dan baca, ya. Ambil hikmahnya, buang yang buruknya, jadikan sebagai palajaran berharga buat kita.

Sooo, met baca~

***

Suara tangis bayi-bayi yang melengking itu bukan hanya menusuk gendang telingaku, tetapi meremas hati juga. Pemandangan di mana para ibu tengah memberikan salah satu sumber kehidupan kepada putra-putrinya bak hantaman nyata yang berhasil memorak-porandakanku. Aku ingin bayiku, lalu menatap seberapa damainya dia dalam dekapan.

Almira Najma Al-Fatih binti Muhammad Galih Al-Fatih. Seharusnya, nama yang pernah aku dan Mas Galih rangkai itu terdengar indah karena kami memanggilnya. Tidak semenyakitkan saat orang tua di kamar sebelah yang sedang sibuk mendebatkan nama atau sibuk mencari referensi nama dari Google. Seharusnya, sekarang Almira sedang terlelap di sampingku, bukan berbaring selamanya di bawah timbunan tanah.

Astaghfirullah. Astaghfirullah. Astaghfirullah.

Seharusnya, aku bisa ikhlas seperti saran orang terdekat atau bersikap tegar seperti Mas Galih. Almira sudah tiada. Dia sudah menjadi bintang di surga yang tak bisa digapai begitu saja. Harus ada ikhlas dan sabar yang diperjuangkan mati-matian agar kelak kami bisa bersama.

“Sabar, Sayang.”

Mas Galih menggenggam tanganku seraya mengusapnya pelan. Mungkin dia memperhatikan pusat pandanganku sedari tadi. Atau mungkin dia juga merasakan apa yang aku rasakan.

Rabbanaa afrigh alainaa shobro wa tsabbit aqdaamanaa wanshurnaa alal qoumil kaafiriin. Kuulang doa tersebut hingga beberapa kali. Kepergian Almira membuatku sadar betapa sulitnya bersikap sabar dan ikhlas. Jika sedang baik-baik saja, kedua sikap itu terdengar mudah dipraktikan atau diucapkan, tapi saat berada di fase kehilangan seperti ini, kenapa terasa begitu susah ya, Allah?

“Aku mau pulang, Mas.”

Suaraku nyaris tenggelam, yang terdengar hanya berupa bisikan. Mungkin efek rasa tak rela yang masih menguasai dada. Atau mungkin sesak yang belum bisa kutumpahkan sepenuhnya. Mauku, drama menyakitkan ini cukup ada di mimpi saja. Sayangnya, tak semua kenyataan seindah harapan.

“Iya, nanti. Kamu aja baru belajar duduk.”

“Tapi aku nggak bisa berlama-lama di sini, Mas. Aku bisa gila perlahan,” kataku parau.

Sedari tadi, aku mencoba menulikan pendengaran, meskipun ujung-ujungnya gagal sebelum memulai. Mati-matian aku menahan genangan air mata agar tak tumpah. Namun nyatanya, jatuh juga hingga menyentuh dagu.

“Nanti aku coba ngomong ke dokter, ya. Makanya kamunya jangan banyak pikiran. Makan yang teratur, biar cepet pulih. Sekarang makan dulu, ya? Tadi aku juga beli jus jambu.”

Aku mengangguk. Kuterima suapan pertama Mas Galih. Rasanya agak enak jika dibandingkan dengan masakan yang disediakan pihak rumah sakit. Namun, nafsu makanku pergi entah ke mana. Hingga di suapan ke lima, aku melihat ibu mertua datang membawa kotak makan susun dalam jinjingannya. Sudah bisa kutebak, isinya pasti makanan yang bisa merusak mood-ku.

“Bagaimana keadaan kamu? Kapan dokter kasih izin buat pulang?”

“Ellea masih dalam tahap pemulihan, Bu.”

Mas Galih menggenggam tanganku lebih erat. Mungkin, dia merasakan ketegangan yang sedang aku rasakan.

“Makanya, jangan manja.”

Pernikahan Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang