19. Oh, Mantan

536 35 0
                                    

Selamat malam mingguan sama Ellea, Guys!

Jangan lupa siapin cemilan.

Met baca.

***

Aku balas tersenyum kepada lelaki yang tengah menghampiri dengan langkahnya yang tampak ringan. Berbeda jauh denganku yang sedang menahan rasa tak keruan. Ada senang, malu, canggung, tapi tidak ada debar menggila lagi di hati. Oh, mantan, semudah ini kah kita dipertemukan?

Setelah berdiri di depanku, tangannya terulur, dengan seulas senyum menghiasi wajahnya yang tampak jauh lebih dewasa. Aku tidak menjabat tangannya, melainkan menyambutnya dengan menangkupkan telapak tangan di depan dada.

“Boleh duduk?” tanyanya setelah menggaruk tengkuk.

“Silakan.”

Lelaki berkulit agak cokelat itu bernama lengkap Riyan Adriyan Pramudya. Dia pernah mewarnai hari-hariku di masa lalu. Namanya pernah terukir indah di hatiku. Lalu akhirnya digeser oleh seseorang yang sekarang entah berada di mana.

Sewaktu sekolah di SMA Tunas Bangsa kami pernah satu kelas. Dia salah satu pacar yang asyik, perhatian, dan romantis. Sayangnya, dia berlaku seperti itu pada semua gadis. Jalan alternatif yang aku gunakan untuk memberinya pelajaran yaitu dengan mengakhiri hubungan.

“Ceritanya kamu lagi liburan, nih?” Riyan bertanya setelah celingukan.

“Li-liburan? Nggak, kok.”

“Oh. Jadi, lagi pacaran sama suami?” tanya Riyan lagi setelah sekian menit kami berdua terjebak dalam keheningan.

“No, aku sendiri.”

“Suami kamu gak ikut? Eh, tapi bagus, deh,” ucap Riyan disertai senyuman khasnya saat tengah menggoda.

“Kami udah lama pisah.”

Aku menjawab seraya mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuk. Pandanganku tertuju pada kuah merah dalam mangkuk bakso. Jika ada pertanyaan seputar Mas Galih, aku pasti mendadak linglung menjawabnya.

“Ceritanya kamu lagi ngode, nih?”

Aku melirik Riyan karena pertanyaannya itu bikin bingung. “Ngode apaan?”

“Minta aku bawa ke pelaminan.”

Aku tertawa kecil mendengarnya. Riyan pun. Rasa canggung yang tadi sempat kurasa jadi menguap begitu saja.

“Orang kamu nanya, ya, aku jawab. Aneh.”

Suasana ramai di rumah makan ini ramai sekali. Berbanding terbalik dengan suasana di mejaku. Riyan tidak ceplas-ceplos seperti biasanya. Mungkin karena dia sudah dewasa juga kali, ya?

“Oh, iya. Kamu sendiri lagi ngapain di sini?”

Riyan tampak menghela napas panjang. Dia yang sedari tadi duduk tegak, kini menyandarkan punggungnya pada kursi. Namun, tatapannya masih tertuju padaku.

“Abis survei lokasi di Bandung sama suami Raina.”

Aku manggut-manggut. Raina itu adik kembar Riyan. Gadis yang satu itu orangnya lumayan asyik. Kami pernah dekat, tapi hanya dekat sebagai teman di sekolah.

Hening lagi. Sebenarnya aku kurang nyaman ngobrol sama Riyan. Suasana canggung di antara kami ini kentara sekali. Dia yang biasa tidak pernah kehabisan kata mendadak menjadi sosok yang lebih dewasa, tahu kapan harus bicara, dan kapan harus diam.

“Kamu sendiri gimana?”

Bukannya menjawab, Riyan malah tertawa. Namun, tawanya malah terdengar hambar.

Pernikahan Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang