21. Pertemuan tak Terduga

589 36 1
                                    

Aku pernah kecewa karena berharap pada selain-Nya. Pernah juga dibuat terluka oleh keadaan yang kedatangannya tak pernah aku harapkan. Aku juga pernah tertusuk serpihan hati yang hancur tak berbentuk ketika sedang menyusunnya seorang diri. Tak ada Mas Galih yang menemani. Tak ada siapa pun yang peduli.

Kuseka air mata yang meluncur di sudut mata. Seharusnya, aku sudah biasa ditinggal orang-orang tercinta. Namun, kenapa sakit dan hampa di hati kali ini berangsur lama?

Kutatap batu nisan yang berderet di hadapan. Semerbak mawar merah menyapa indra penciuman. Lalu, pandanganku terpaku pada nisan termungil di antara yang lainnya.

Hatiku bergetar. Ingatanku berputar pada fase di mana hati sulit untuk sabar. Diri juga tak bisa kembali tegar.

Dulu, aku terlalu sulit menerima takdir-Nya. Aku terlalu terlena oleh keinginan semata. Aku terbuai oleh nikmat yang belum tentu menjadi milikku seutuhnya.

Bayangan akan terlahir kembali, tetapi sebagai seorang ibu membuatku lupa kalau Allah Maha Segalanya. Dia bisa mengambil apa pun yang aku punya. Entah itu harta, takhta, jiwa dan raga, ataupun orang-orang tercinta.

Terlalu banyak waktu yang kubuang percuma di masa lalu. Terlalu munafik hatiku untuk menerima keadaan yang pilu. Aku terlalu fokus pada rasa rindu yang tak berujung itu.

Fase yang aku lalui selepas berpisah pun ternyata lebih sulit dilalui. Meskipun tidak ada Ibu yang mengompori, tidak mendapati sikap menyebalkan Mas Galih, tapi aku dihantui bayang-bayang menyakitkan. Aku benci di mana pikiran dengan refleksnya mengandai-andai Mas Galih membuka hati untuk orang lain. Padahal, aku tidak punya hak untuk mencegahnya mencari kebahagiaan bersama wanita lain.

Terdengar gemerisik suara dedaunan yang bergesekan di atas sana. Aku menengadah, menatap bunga kamboja yang ikut bergoyang tertiup angin bersama dedaunan. Hamparan langit biru yang cerah mempercantik pemandangan di pagi ini. Cuaca hari ini benar-benar berbanding terbalik dengan hatiku.

Setelah dirasa ziarahku selesai, aku beranjak. Tepat saat aku mengalihkan pandangan, tak jauh dari tempat di mana beberapa mobil berjejer rapi, di sana seseorang tengah berdiri. Terdapat satu buket bunga dalam genggamannya. Sementara tatapan itu segera dialihkan ketika pandangan kami bertemu.

Aku lekas berlalu dari kediaman terakhir Almira. Kukira, langkahku akan dihentikannya. Namun, hingga kaki ini melangkah jauh dari area pemakaman, ternyata Mas Galih tidak memanggil atau mengejar seperti yang aku harapkan.

Jika Mas Galih sudah melupakan siapa aku, bukankah kemarin kami kembali berkenalan? Meskipun bukan sebagai sepasang suami istri, tapi dia sendiri memperkenalkan diri sesuai dengan jabatannya.

Ya, Allah, ternyata sesakit ini diabaikan seseorang yang diam-diam masih aku harapkan. Kisah kami memang sudah usai, tapi perasaanku terhadap Mas Galih tak kunjung selesai. Perasaanku masih menuntut sebuah kepastian tentang dia yang masih mencintaiku atau tidaknya. Aku hanya sekadar ingin tahu agar hati tak lagi menyimpan sebuah harapan.

***

“Papa!”

Tubuhku membeku saat melihat pemandangan di depan mata. Kedatanganku bersama Riyan disambut pelukan balita yang usianya tampak sebaya dengan Almira. Dia berceloteh riang dalam gendongan Riyan.

Tiba-tiba saja hatiku bergetar disertai denyut ngilu sebab rindu yang lama dipendam menuntut dipertemukan. Andai gadis di depanku itu Almira, mungkin aku akan mengikat rambut hitam legamnya yang terurai. Aku juga akan membelikannya boneka agar kami bermain seraya menanti kepulangan Mas Galih.

Astaghfirullah. Aku ini kenapa, sih!

“Tante?”

Kusentuh tangan mungil yang masih menyentuh bahu. Lalu, aku menatap pemilik mata bulat yang tengah memandangku dengan lekat.

Pernikahan Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang