29. Ending

1.2K 25 2
                                    

“Mau ke mana?” tanyanya dengan suara parau dan berat.

“Aku mau mandi, Mas. Udah jam empat, bentar lagi Shubuh.”

Mas Galih malah mengeratkan pelukan saat aku kembali mencoba melepasnya. Kali ini, sebelah kakinya ikut mengunci tubuhku.

“Bentar lagi. Aku masih kangen.”

Aku memutar bola mata penuh sarkasme. Selalu kalimat itu yang dia jadikan mantra saat aku ingin beranjak dari tempat tidur. Kami sudah seperti pasangan yang bertemu seminggu sekali saja. Padahal, seminggu terakhir ini hampir setiap waktu aku berada di sisinya.

Selama tiga bulan menyandang status sebagai istrinya lagi, kami baru bisa bersama di minggu-minggu terakhir ini. Di minggu pertama menikah hingga seterusnya, Mas Galih selalu sibuk dengan bisnisnya yang kebetulan tidak bisa digantikan dengan yang lain.

Aku melepas lengan kekar Mas Galih saat embusan napasnya mulai terasa berat dan cepat. Setelah terlepas, aku berbalik. Tatapan menggelap penuh gairah itu terpancar dari sorotnya.

“Mas, jangan aneh-aneh, deh. Mandi besar dulu, terus Shubuhan, nanti aku bikin sarapan kesiangan kayak kemarin lagi.”

Masih kuingat dengan jelas insiden kemarin pagi. Gara-gara Mas Galih, aku jadi ikut terlelap seusai Shubuh. Padahal, Islam melarang manusia tertidur karena ditakutkan fakir. Entah itu fakir ilmu, fakir harta, atau fakir apa pun.

Sayangnya, aku malah ikut berbaring di samping Mas Galih. Dampaknya, kami terbangun karena perut menagih diisi. Akhirnya, aku kelabakan sendiri membuat sarapan seadanya.

Sekarang, aku bukan Ellea yang dulu lagi. Ellea yang di mana rasa masakannya jarang mendapatkan pengakuan enak dari beberapa lidah yang minta dicicipinya. Aku sudah bisa memasak berbagai macam menu dan teman-teman pun mengakui kepiawaianku dalam memasak. Bahkan, Mas Galih pun sampai terlihat tak percaya dengan perubahanku.

“Iya, iya, Bawel,” kata Mas Galih seraya mencubit hidungku, lalu mengecupnya, “untung sayang. Sini, aku mau sapa kesayanganku dulu.”

Aku terkekeh saat melihat Mas Galih beranjak bangun. Dia menyingkap selimut yang menutupi tubuhku. Lalu, Mas Galih mengusap pelan buah hati kami yang kata dokter masih berusia tujuh minggu itu. Dia menyapanya seraya memberi kecupan-kecupan kecil yang sudah kutebak akan berakhir di titik mana.

***

“Yang, kenapa martabaknya nggak dimakan?”

Aku melirik Mas Galih yang sekarang sudah berbalut pakaian santai. Rambutnya yang masih basah dan rapi membuat dia terkesan seksi, tapi tetap berwibawa.

“Kamu belinya martabak manis, sih, Mas. Aku kan maunya martabak telor,” jawabku seraya memindahkan chanel televisi dengan berpura-pura merajuk.

“Ya, kamu bilangnya terserah. Terus itu gimana martabaknya? Sayang, loh, kalo nggak dimakan.”

“Ya udah, Mas yang abisin.”

Aku bersikap cuek, padahal diri sudah tak kuat menahan tawa. Mas Galih tidak tahu saja kalau isi dalam kotak martabak itu sudah tinggal setengah. Bahkan, yang tersisa tinggal bagian pinggirannya yang tidak tertaburi seres.

“Terus kamu mau makan apa? Dari tadi belum makan apa-apa, kan?”

Aku ingin menggeleng, tapi sudah kubilang kalau setengah porsi martabak itu sudah berpindah ke perutku. “Pengen bakso malang, Mas. Kayaknya enak, deh, makan bakso sambil nikmatin kriuk pangsitnya. Anter cari tukang baksonya, yuk, Mas. Aku bete juga di rumah terus.”

Mas Galih malah menatapku tanpa ekspresi. Tak lama berselang, dia menyeringai. Tidak usah bicara pun aku sudah tahu apa yang ada dalam pikirannya.

“Tapi nggak ada yang gratis, ya.” Mas Galih menaik-turunkan sepasang alis tebalnya.

Pernikahan Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang