18. Status Berbahaya

477 27 0
                                    

Sebelum mobil travel menepi, aku mengambil jarum pentul di kain bagian bawah dagu. Sepertinya pasminaku sedikit berantakan, jadi harus segera dirapikan, takutnya ada rambut yang terlihat.

Sebelum benar-benar merapikannya, aku menyempatkan memoles wajah dengan sapuan make up yang tipis. Ujung kain pasmina kusimpan di dada dengan selipan jarum tuspin. Tentu saja supaya lekuk tubuh bagian depanku tidak dilihat lelaki lain. Dengan begini, insya Allah aku turut andil dalam menjaga pandangan mereka.

Semenjak berpisah dari Mas Galih, aku malas merias diri, kecuali kalau ada acara tertentu. Status janda di mata umum terlihat begitu berbahaya. Aku sering menemui kilat waspada dari para wanita. Tak jarang pula sorot berbahaya kudapatkan dari lelaki mata keranjang di luar sana.

Selama ini juga, aku tidak pernah menggoda laki-laki lain, apalagi suami orang. Naudzubillah, deh. Masalah uang pun, aku tidak pernah meminta kepada lelaki lain. Aku masih sehat, masih bisa mencari pekerjaan halal, masih bisa membeli skincare dengan hasil keringat sendiri.

Memang, pernah ada yang memberi secara cuma-cuma, hendak membayari belanjaanku, atau membelikan apa pun itu, tapi semuanya kutolak halus. Tak ada yang diterima satu pun. Serius.

Pernah pula di pagi buta aku kedatangan tamu tak diundang. Dia menuduhku membawa masuk suaminya ke rumah. Jangankan berbincang ringan, kenal suaminya pun tidak. Itu berlaku kepada lelaki mana saja. Kalau ada yang menyapa dengan sopan, haruskah aku bersikap judes? Paling tidak, aku membalas sapaan mereka secara serupa, tidak ada unsur menggoda.

Hingga di suatu malam, RT, RW, ustadzah, dan beberapa warga datang ke rumah. Mereka memintaku segera pindah. Katanya, kedatanganku dengan membawa status baru membuat ibu-ibu di sekitar menjadi resah dan gerah. Rumah tangga mereka jadi dipenuhi pertengkaran bahkan sampai ada yang hampir pisah.

Langkah terakhir yang kuambil ya dengan mencari pekerjaan ke sana sini. Makanya, aku meminta pekerjaan kepada teman SMA. Kebetulan dia punya beberapa kafe di Bandung. Bermodalkan nekat karena aku tak punya masa iddah, akhirnya berangkatlah aku ke sana.

Sebenarnya, temanku sempat mengomel karena aku meminta cerai. Katanya, sikapku seperti anak gadis labil yang minta putus. Kalau dipikir dengan kepala dingin, memang di sini aku yang salah. Akan tetapi, saat itu aku merasa benar sendiri, mungkin Mas Galih pun.

Tidak terasa, mobil travel yang sedang aku tumpangi ini berhenti di salah satu rest area tol Cipularang. Para penumpang turun satu per satu. Kalau aku sendiri, turun paling akhir karena mendapat tempat duduk di kursi belakang, sendirian pula.

Kakiku melangkah ke deretan ruko yang menjual berbagai macam jajanan. Aneka makanan dan minuman instan sampai yang disajikan mendadak pun ada. Pandanganku terpaku pada satu ruko berukuran besar dan panjang. Di depannya terdapat dua gerobak, etalase, dan tiga showcase berjejer rapi. Tanpa pikir panjang, aku bergegas ke tempat tersebut. Toh, batas waktu istirahat yang diberikan sopir cukup lama, hingga satu jam. Jadi, aku memilih menikmati perjalanan hitung-hitung hiburan.

“Siang, Kak, ada yang bisa kami bantu?” tanya pramusaji saat aku sudah duduk tenang di kursi.

Aku mengangguk pelan, lalu mengambil list menu yang disimpan rapi di meja. Tepat saat melihat halaman pertamanya, aku langsung mengalihkan pandangan pada pramusaji. Menunya banyak banget. Bukan cuman ada makanan dalam negeri saja, tadi sepintas kulihat ada menu orang Korea, Italia, hingga Amerika. Entahlah, aku malas membaca secara keseluruhan.

“Mbak, menu yang paling diminati di sini apa, ya?”

“Untuk appetizers kita punya aneka risoles, olehan kentang yang digoreng, kroket, sama gorengan ala lesehan. Menu yang paling hits sendiri ada nasi kebuli, mie Aceh, ayam bakar seuhah, nasi goreng Vietnam, tutug oncom Bandung, spaghetti sauce and cheese, mie ayam bakar atau ori, sama bakso, Kak. Terus buat desserts-nya kita punya getuk, putu ayu, cheese cake, pisuke, banyak lagi, sih.”

Aku tersenyum kecil. Di antara menu yang disebutnya, hanya ada beberapa menu yang menarik perhatianku. Lidah Indonesiaku berontak, tapi dua menu kesukaan seseorang mengusik pikiran, membuatku bimbang harus memilih yang mana.

“Aku pesen bakso satu pedes, ya. Minumnya air mineral dingin aja. Sama mau desserts-nya pisuke, risoles ayam, plus risoles sayurnya,” kataku sambil menunjuk menu yang berada paling awal.

Tak lama berselang, pesananku sudah terhidang di meja. Aku menatap bakso dengan perasaan setengah minat. Makanan yang seharusnya menggugah selera di tengah-tengah lapar melanda, malah tampak biasa-biasa saja. Namun, perutku tetap harus diisi agar tubuh tidak drop.

Rasa hampa seketika mengusik hati. Aku tiba-tiba malas melanjutkan perjalanan, tapi suasana kota Jakarta dan momen-momen bersama seseorang terasa sudah di pelupuk mata.

Aku rindu Mas Galih. Aku ingin bertemu dengannya atau sekadar melihatnya dari kejauhan. Kalau boleh jujur, aku masih mau dia, tapi setiap kali keinginan kembali terbesit di hati, rasa takut yang berlebihan pun datang menghantui.

Tiba-tiba saja, aku teringat hari terakhir kalinya kami beradu pandang. Saat itu, aku bagai bingung rasa. Hati kecilku merutuki diri yang ingin mempertahankan pernikahan kami, tapi Mas Galih tampak bulat melepasku. Yang bisa aku lakukan saat itu hanya mengikuti alur kehidupan yang telah kami hadirkan.

Aku masih ingat pesan terakhirnya. Katanya, ‘Jaga diri baik-baik’. Tak ada ungkapan sesal, apalagi bisikan ‘i love you’, bahkan wajahnya terkesan datar tak berekspresi.

Saat itu, suasana di kantor pengadilan begitu lenggang. Kami berjalan beriringan menuju parkiran tanpa kata. Sesakku jadi kembali memuncak saat mengingat sikap dingin Mas Galih. Tak ada gandengan tangan karena kami sudah tak halal lagi untuk saling bersentuhan. Tak ada percakapan ringan, yang ada saat itu hanyalah potongan-potongan momen kebersamaan selama bersama.

Bahkan, saat kutatap punggung tegapnya dari belakang, Mas Galih tak menoleh sedikit pun. Hingga tubuhnya menghilang di balik kemudi pun, dia enggan menoleh untuk sekadar mengucapkan ‘Sampai jumpa nanti’. Perasaanku saat itu tentu saja hancur tak keruan. Hatiku yang terluka bagai diremas sekuat tenaga.

Jika mengingat momen menyakitkan itu, rasanya aku ingin menjerit sekencang mungkin. Aku ingin dipertahankan, tapi tak mau memulai duluan. Aku ingin Mas Galih memulai berjuang, sayangnya dia malah melepaskanku dengan begitu mudah.

Aku menghela napas dalam hingga beberapa kali. Sendok dan garpu aku silangkan pertanda makan tak akan dilanjutkan. Agak menyesal juga karena teringat Mas Galih di saat keadaan lapar. Makanan belum sepenuhnya masuk, aku sudah dibuat kenyang oleh kenyataan.

Pokoknya, aku harus bisa membuang jauh-jauh pikiran yang bisa bikin mood rusak. Anggap saja kedatanganku ke Jakarta akan mencari hikmah, liburan, menemui kesayanganku, atau mencari jodoh mungkin? Sayangnya poin terakhir itu belum memungkinkan.

Setelah hampir setengah jam duduk di sini, aku baru sadar kalau desain interior rumah makan ini begitu unik dan fotojenik. Tempat ini cocok untuk semua kalangan. Dessert yang disajikan di sini pun memiliki presentasi yang instagrammable.

“Ellea?”

Tubuhku membeku. Aku masih ingat siapa pemilik suara itu. Untuk memastikannya, mataku menyapu sekitar sini. Di depan sana, seseorang yang pernah bertakhta di hatiku tengah melambaikan tangan.

Pernikahan Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang