11. Di Ambang Kebimbangan

286 21 0
                                    

Kepergian Kak Doni meninggalkan jejak luka yang begitu dalam. Tak hanya dirasakan Mbak Rania saja, tapi putra semata wayangnya pun kehilangan hingga jatuh sakit. Seminggu lamanya Alvaro dirawat di rumah sakit karena demam tinggi. Untungnya, aku tidak punya kegiatan seperti ipar yang lain. Jadi, aku bisa bergantian menjaga Alvaro saat Mbak Rania bolak-balik ke rumah untuk mengurus tahlil mendiang Kak Doni dan urusan di restorannya.

Ada momen yang membuat hati kecilku terusik. Saat Alvaro tertidur, dia sering mengigau  ‘ayah’. Tak jarang Mbak Rania diam-diam mengusap matanya saat moment itu berlangsung. Aku kadang merasa tak kuat ketika Alvaro mengigau hingga terbangun dari tidurnya, lalu berlanjut histeris ingin bertemu Kak Doni.

Aku dan Mbak Rania sering kewalahan saat Alvaro mengamuk. Tangannya yang terimpus sering berdarah karena Alvaro mengamuk. Alhamdulillah, Kak Reyhan dan Mas Galih ikut bergantian menjaga dan menghibur si yatim tampan. Kasihan, masih balita sudah kehilangan figur seorang ayah.

Setelah melihat ketegaran Mbak Rania dalam menghadapi takdir pahit Allah, aku sadar bahwa ucapan Mas Galih memang benar. Caraku merindukan Almira selama ini itu salah. Anak memang anugerah terindah, tapi aku melupakan fakta bahwa anak pun termasuk titipan Allah. Aku terlalu mengharapkannya hingga lupa bahwa semua yang bernyawa pasti akan mati. Tidak bayi, balita, anak-anak, remaja, orang dewasa, atau bahkan orang tua.

Sayangnya, saat ini aku sadar, nanti, besok, atau lusa kesadaran itu tidak menjamin masih ada.

***

Hari ini, Alvaro sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Tempat yang akan kami tuju adalah rumah omanya. Aku dan Mas Galih sengaja menjemput jagoan Kak Doni dengan dia sebagai sopirnya. Sementara aku, Mbak Rania, dan Alvaro duduk di kursi tengah seraya mendengar celoteh riangnya.

Mungkin karena capai bercerita, Alvaro terlelap dalam pangkuan mamanya. Jadilah tinggal aku dan Mbak Rania yang bertukar cerita. Kami saling menyemangati dan menguatkan.

Obrolan kami terhenti karena ponsel Mas Galih berdering. Seraya menyetir, Mas Galih terlihat merogoh saku celananya, tapi pandangan tetap ke depan.

Beberapa menit lamanya obrolanku dengan Mbak Rania terjeda. Kata Mas Galih, Ibu meminta Mbak Rania tinggal di rumahnya karena khawatir Alvaro mengamuk karena sudah tak ada Kak Doni. Sayangnya, Mbak Rania menolak halus dengan mengatakan akan tinggal di rumah mereka saja.

Lain dengan Mbak Rania, lain pula dengan Alvaro. Sesampainya di rumah Ibu, bocah empat tahun itu merajuk ingin menginap di rumah omanya. Jadilah Mbak Rania kalah telak dan rrencanana mereka hanya akan menginap semalam saja.

Semua anggota keluarga menyambut kedatangan Alvaro seperti biasa. Mbak Milda dan Mbak Diara menyiapkan hidangan yang Alvaro suka. Aneka buah-buahan, sayur bening, dan ikan goreng tersaji di meja makan.

Makan malam pun berlangsung khidmat. Sesekali, putri Mbak Diara dan Mbak Milda melempar guyonan untuk meramaikan. Kak Dzul sampai tersedak dibuatnya.

Mbak Diara menceritakan kalau dia sudah mendekorasi kamar Kak Doni dengan seprai, gorden, dan selimut karakter mobil sesuai dengan kesukaan Alvaro. Aku dan Mas Galih pun mempunyai kejutan agar si tampan duplikat ayahnya itu tidak merasa kehilangan Kak Doni. Ada tiga macam mainan edukasi yang kupilih sesuai dengan umur Alvaro. Puzzle, Block, dan Smart Hafiz yang masing-masingnya sudah dibungkus kertas kado.

***

Aku bersyukur karena Mas Galih sudah mendapat pekerjaan. Dia bekerja di restoran Mbak Rania. Rencana Allah kali ini memang terasa begitu indah. Rezeki yang awalnya kami khawatirkan kedatangannya, malah datang dari arah tak terduga.

Sesekali, aku main ke restoran Mbak Rania untuk menemani Alvaro bermain. Kadang-kadang, Alvaro juga kuajak main di rumah agar istirahat siang dan belajarnya terpantau. Kasihan kalau masa golden age-nya dihabiskan untuk bermain terus. Paling tidak, harus ada asupan positif yang nanti terekam memorinya.

Pernikahan Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang