24. Fase Hidup

531 32 1
                                    

Mantan lagi. Mantan lagi. Lagi-lagi mantan. Hidupku ini sepertinya sudah mirip drama. Aku yakin, kalau kisah perjalanan ini ditulis menjadi cerita, maka halamannya bisa mencapai ribuan. Dalam setiap babnya pun mungkin akan dipenuhi konflik dengan solusi tak berujung.

Seandainya dijadikan film pun, mungkin episode yang akan tayang bisa membuat pemain dan penonton bosan. Jika ada yang suka pun, pasti kebanyakan penonton nantinya dari kalangan ibu-ibu.

Ah, aku ini apa-apaan, sih. Sepertinya aku jadi korban sinetron gara-gara sering menonton televisi bersama mama dan mertua Riyan. Mana yang dilihat itu drama rumah tangga yang menguras emosi lagi.

“Ell, kok diem terus? Lagi mikirin mantan suami kamu, ya?”

Aku menatap Riyan yang tengah menyetir. Sedari Fatih tidur, disusul Zahra, kami memang tidak terlibat obrolan apa pun. Aku terlalu sibuk memikirkan insiden-insiden selama di Jakarta.

Untung saja tadi aku bisa menghindar. Di saat Mbak Diara dan Mbak Rania tak mengizinkan aku berlalu, Riyan dengan cekatan menyelamatkan aku dari kecanggungan yang sulit dilepaskan. Namun, bukan itu pokok permasalahan yang mengganjal di hati dan pikiran. Aku, terbayang air muka datar Mas Galih terus.

“Nggak juga. Aku lagi mikirin undangan dari ibu-ibu pengajian tadi. Katanya, ustadzah yang biasa ngisi pengajian mau nikahin anaknya.”

Aku berdeham. Saat kami bertemu di toilet tadi, dua ibu memang memberitahuku kalau ustadzah mau ada keperluan, kok. Katanya bu ustadzah juga ingin bertemu denganku. Namun, alasanku sedari tadi diam bukan karena itu, melainkan kenapa kami sering bertemu di saat aku sedang jalan bersama Riyan, atau dia yang sedang dengan Mbak Rania.

“Ya, udah, dateng aja. Nanti aku anter.”

“Eh, nggak usah. Nanti aku naik ojol aja,” jawabku cepat seraya memindahkan kepala bocah tampan yang tadi bersandar pada tangan ke pangkuan kanan. Sementara kepala dan tubuh Zahra masih menyandar pada pinggang kiriku.

“Udah sama aku aja. Free.”

Aku menggeleng cepat. “Aku nggak mau digosipin ibu-ibu, ah. Mana di sana banyak temennya ibu Mas Galih lagi.”

“Aku perhatiin, kayaknya kalian belum pada bisa move on deh, Ell.”

Aku mendengkus kasar mendengarnya. Mana mungkin Mas Galih belum move on. Terlalu mudah buat dia cari penggantiku. Dia bisa mendapatkan yang lebih cantik, yang berakhlakul karimah, sekaligus sholihah.

“Sok tau kamu.”

“Aku masih Riyan yang dulu. Riyan yang bisa ngerasain perasaan dan pikiran orang dari tatapannya kalo kamu lupa.”

Aku tertawa kecil hingga kepalanya menoleh. “Ya, itu dari sudut pandang kamu. Kalo menurutku nggak. Contohnya, aku bisa hidup tanpa Mas Galih selama ini dan Mas Galih juga keliatan cuek bebek kalo ketemu aku.”

Riyan manggut-manggut. “Tapi setiap kali kita ketemu, aku selalu perhatiin cara mantan suami kamu natap atau ngelirik, loh, Ell. Dan cara natap lelaki ke perempuan yang dia kangen itu gampang dibedain.”

Aku mendengkus kasar. Aku memang masih berharap berjodoh dengan Mas Galih. Bahkan namanya selalu kusebut setiap kali berdo'a usai sholat di sepertiga malam.

Namun, aku tidak mau terlalu berharap. Aku takut kecewa. Selain itu, status Mas Galih yang masih duda atau sudah beristri lagi pun belum jelas diketahui.

“Yan, ngomong-ngomong aku masih penasaran kenapa waktu itu kamu simpen foto aku?”

Aku membetulkan posisi Zahra agar berbaring seperti kakaknya. Sesekali, kulirik Riyan yang masih diam. Lewat pantulan kaca depan, aku bisa melihat ekspresinya yang tampak salah tingkah.

Pernikahan Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang