25. Bertemu Mantan

567 37 4
                                    

Hai, Guys! Cerita ini besar kemungkinan mau aku terbitkan. Tapi di Wattpad aku bakal selesaikan, cuman versi Wattpad sama cetak beda, ya. Jadi kalo temen-temen ada yang mau ikutan PO, yuk, bisa mulai nabung dari sekarang. Ada beberapa souvenir sebagai ungkapan syukur dan terima kasih dari aku buat pembeli-pembeli yang ikutan PO.

Terima kasih sudah dukung dan baca ceritaku. Sehat selalu semuanya.
❤❤❤

***

Sepertinya, Riyan tak peduli dengan perasaanku yang masih kalang kabut seusai ungkapannya semalam. Dia tidak tahu kalau semalaman aku sulit terlelap karena memikirkan jawaban agar tak menyakiti hatinya. Sayang, Riyan malah memberiku kebebasan waktu agar memikirkan jawaban atas lamarannya dengan pikiran matang.

Bahkan barusan Riyan mengirimiku pesan. Katanya, Zahra merengek ingin bertemu denganku. Aku takut sebenarnya itu hanya alasan Riyan yang sebenarnya mau menagih jawaban. Di sisi lain aku bimbang untuk memberikan jawaban.

Aku termangu sambil memperhatikan tamu undangan di resepsi pernikahan putri bu ustadzah yang hilir mudik tak tentu arah. Pikiranku melayang pada lelaki-lelaki yang pernah menaruh harapan besar sama seperti Riyan.

Beberapa bulan setelah berpisah dari Mas Galih, aku sudah mencoba membuka hati. Namun, belum sempat mencoba, aku sudah dikalahkan oleh rasa takut. Aku taku gagal lagi. Entah itu gagal menjadi seorang ibu, istri yang baik, atau menantu sempurna di mata mertua.

Aku juga sempat dekat dengan seorang lelaki single. Aku mencoba menyukainya dalam hubungan tanpa status karena dari awal kami sepakat tidak berpacaran. Namun, saat itu aku sadar kalau pernikahan bukan untuk ajang suatu percobaan ataupun pelarian. Di hatiku juga seperti sudah tak ada lagi ruang untuk salah satu di antara mereka.

“Ya, Kariim,” gumamku sambil memijat pelipis.

Kubaca pesan baru Riyan yang isinya begitu menjengkelkan. Sepertinya dia sedang menguji kesabaranku. Dia akan datang menjemput dan tidak menerima penolakan. Katanya, dia sedang berada tak jauh dari restoran ini.

Ah, aku jadi dongkol sendiri. Mau melampiaskan kesal, tapi tidak ada target yang pas untuk dijadikan alasan mengomel. Ujung-ujungnya kalimat istighfar yang aku gumamkan.

“Mbak Ellea, mau jus ndak? Biar saya ambilkan.”

“Oh, makasih, Mbak. Nggak usah. Saya udah kenyang.”

Wanita berkulit putih itu berlalu setelah kami bertukar senyum. Bakso yang masih utuh mendadak tudak menggugah lagi. Lalu, aku memilih beranjak bangun untuk berpamitan kepada keluarga bu ustadzah. Sepertinya, menghindari Riyan merupakan solusi terbaik untuk saat ini.

***

Aku berdiri di pinggir jalan bersama tamu undangan yang hendak pulang. Tampaknya mereka pun sedang menunggu jemputan, sama sepertiku yang sedang menanti ojek online. Aku bergegas mengecek posisinya dan ternyata sebentar lagi dia sampai di titik penjemputan.

Aduh, jangan sampai Riyan yang lebih dulu datang. Bisa ribet urusannya kalau ada orang yang lihat. Aku ingin menjaga jarak dengannya, tapi Riyan malah semakin merapat.

Aku menghela napas panjang saat alarm dalam perutku mengirimi notifikasi berupa getar pertanda lapar. Agak menyesal juga tadi tidak memaksakan diri untuk makan.

Sebuah mobil hitam menepi tepat di depanku. Aku memperhatikan mobil tersebut, bukan mobil Riyan, tapi kenapa perasaanku mendadak tak keruan, ya? Kebingunganku terjawab saat seseorang keluar dari dalam mobil. Tubuhku menegang seiring dengan langkah tegap lelaki berkemeja merah yang semakin mendekat.

Pernikahan Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang