16. Musyawarah Hati

391 28 0
                                    

Gemas betul aku mendengar permintaan maaf Mas Galih yang berulang-ulang. Namun saat ditanya, dia malah diam, bukan memberi sebuah penjelasan. Kalau sikapnya begini terus, lama-lama emosiku bisa terpancing juga.

“Mas, emangnya kamu abis ngelakuin kesalahan apa, sih?”

Aku mencoba melepaskan genggaman tangan Mas Galih. Namun, dia malah menggenggamnya lebih erat. Embusan napasnya menerpa permukaan kulit tanganku.

“Aku udah boongin kamu.”

Jantungku kebat-kebit mendengarnya. Aku segera menatap Mas Galih dengan saksama. Ada jawaban yang harus kucari dalam sorot itu dan kali ini dia tidak menghindari tatapan mataku.

Sebenarnya bukan sorot itu yang ingin kulihat. Bukan prasangka, curiga, atau suudzon yang ingin aku rasa dan pikirkan. Aku benci perasaan ketika diri menuntut jawaban, tapi hati sudah tahu seperti apa jawabannya.

Untuk saat ini, Mas Galih memang tidak memiliki banyak kesalahan. Hanya satu permasalahanku dengannya, yaitu dia sudah berbohong. Kebohongan sekecil apa pun tidak bisa dibenarkan.

“Soal apa?” tanyaku, lalu menelan ludah dengan paksa. Alhamdulillah, nada bicaraku tadi terdengar seperti biasanya.

“Tadi kamu ke rumah sakit, kan?”

Aku terdiam. Rasanya lisan ingin mengaku, lalu memberondong tuduhan kepada Mas Galih sebagai ungkapan kekecewaan. Sayangnya, aku tidak suka Mas Galih mengalihkan pembicaraan.

“Tadi kamu mau minta maaf soal apa, Mas?”

Mas Galih beranjak bangun. Dia duduk di sampingku dengan tangan yang masih menggenggam. Tatapannya yang tadi tertuju padaku, kini beralih menatap langit-langit kamar.

“Jam setengah sebelas aku ke rumah sakit karena ditelepon Rania. Dia panik, katanya Varo sempet pingsan setelah kejang dulu.”

Mas Galih tidak melanjutkan lagi cerita. Aku pun tak merespons ucapan terakhirnya. Kami seperti terjebak dalam pikiran masing-masing.

“Yang?” panggil Mas Galih ketika aku hanya diam menatap lantai.

“Aku bingung, Mas. Kenapa pas aku tanya posisi kamu lagi di mana, kamu malah jawab lagi di restoran? Why choose to lie? Is there anything else I don't know about, Mas?”

Aku tertawa kecil, menertawakan kegagalan Mas Galih dalam membohongiku. Lalu, aku menggeleng pelan, menepis keinginan untuk melakukan perbuatan tercela, yakni memaki dan menghakimi Mas Galih.

“Jadi yang tadi ke rumah sakit itu memang kamu, Yang?”

Aku tersenyum kecil. Kulepas genggaman tangan Mas Galih. Aku lekas berdiri seraya melangkah pelan dan berdiri di depan jendela yang di luarnya sudah mulai gerimis.

“Ya.”

“Karena aku nggak mau kamu salah paham, Yang. Aku nggak mau kita ribut di saat—”

“Justru dengan kamu nggak terus terang semuanya malah bertambah runyam, Mas.”

“Ya, aku ngaku salah.”

Aku mengambil napas dalam, lalu mengembuskannya dengan kasar agar sesak dan kesal di hati segera beranjak. Kutatap Mas Galih yang tengah menangkup wajah sebentar, sebelum akhirnya kembali menatapku dengan saksama.

“Maaf,” katanya dengan nada lirih.

“Aku masih penasaran sama alasan kamu bohong, Mas. Supaya aku bersikap biasa-biasa aja sama keluargamu? Padahal kamu juga tau, rasa percaya orang yang sering diboongin itu bisa berkurang atau mungkin hilang, Mas. Oke, kebohongan yang kamu kasih ke aku mungkin hanya berupa kebohongan kecil. Untuk sekali dua kali aku bisa maklum, tapi kamu udah keseringan bohong, Mas. Aku bisa maafin kamu, bahkan dari setiap kekhilafan kamu, aku juga bisa bersikap biasa-biasa aja, tapi kepercayaanku itu nggak bakalan bisa seperti semula, Mas.”

Mas Galih beranjak bangun. Dia menyimpan kedua tangannya di saku celana. Sementara tatapannya masih tertuju padaku.

“Terus aku harus gimana supaya kamu bisa maafin aku?”

“Ya, kamu jangan boongin aku terus, Mas. Apalagi kondisinya lagi nggak ngedukung. Di sana, ibu ngedesak kamu buat nikahin Mbak Rania, terus sekarang kamu sering nggak minta izin aku dan bohongin aku terus, sekarang gimana caranya supaya aku bisa percaya, Mas?”

“Ya, Allah, Yang ... aku udah kasih alesan yang sebenernya. Kamu mau percaya atau nggak, itu terserah. Yang penting aku udah jelasin semuanya sesuai dengan kronologinya.”

Memang, aku mengakui itu. Namun, apa artinya sebuah penjelasan kalau lagi dan lagi terulang?

“Kamu juga harus tau, aku ke sana bukan karna Rania, Ayu, atau amanat Kak Doni, tapi aku datang ke sana karna aku omnya Varo, Yang. Mbak Diara sama Kak Dzul juga tadi di sana. Kamu bisa tanya mereka kalo kamu emang nggak percaya. Dan soal ibu, aku udah sering bilang ke ibu kalo aku nggak bakalan nikahin Ayu, Rania, atau siapa pun itu.”

Mas Galih beranjak bangun. Kegelisahan yang tadi kentara di wajahnya, berganti datar tak berekspresi. Sepertinya, Mas Galih sedang menahan geram dan akan berlalu dari kamar.

“Mas?”

Mas Galih hanya mematung. Tak lama setelahnya, dia berbalik. Pandangan kami pun berserobok.

“Kasih tau aku gimana caranya supaya kamu percaya dan masalah ini nggak akan dibahas lagi.”

“Aku mau kamu resign dari restoran Mbak Rania, Mas,” kataku dengan nada pelan. “Dan kalo bisa, kita pindah dari sini.”

Bukannya menjawab, Mas Galih malah memijat pelipisnya.

“Kenapa, Mas?”

“Untuk saat ini aku belum bisa, Yang.”

“Kenapa? Karna kamu masih pertimbangin amanat Kak Doni?”

“Bukan karna itu. Keadaan restoran lagi kacau. Siang kemarin Rania dapet komplenan kalo sayur menu ketring basi semua. Belum lagi tekstur daging yang biasanya empuk waktu itu katanya banyak yang keras. Please, seenggaknya tunggu Varo pulang.”

“Aku takut, Mas. Aku takut pertemuan kamu sama Mbak Rania yang sering bisa bikin kamu berubah pikiran. Aku takut kamu nikahin Mbak Rania atau siapa pun itu secara diam-diam.”

“Oke kalo itu bisa bikin kamu tenang, sore ini juga aku resign.” Mas Galih merentangkan kedua tangannya. “Sini, nggak mau peluk?”

Air mata yang sedari tadi mendesak ingin keluar, akhirnya luruh juga. Namun, saat ini tangisku tangis bahagia. Aku bahagia karena Mas Galih tidak marah-marah seperti waktu itu.

Ya, ekspektasiku kalah.

Aku bergegas memeluk Mas Galih. Kupeluk erat tubuh tegapnya. Tak akan kubiarkan dia pergi apalagi jika sampai berpaling ke lain hati.

Sesering apa pun kami bertengar, sesering apa pun air mata mengiringi selama kami menikah, dia adalah suami yang aku idam-idamkan. Dia Mas Galihku. Salah satu lelaki yang dengan gagah beraninya memintaku pada mendiang Ibu untuk dijadikan seorang istri. Hanya seorang, tak akan kubiarkan ada yang lain.

Naudzubillah tsumma naudzubillah.

Qul ing kungtum tuhibbuunallaha fattabi ‘uunii yuhbibkumullahu wayaghfirlakum dzunuubakum wallahu ghafuurur rohiim. Semoga dengan surat Al-Imron ayat tiga puluh satu yang kudapat dari bu ustadzah bermanfaat. Mas Galih tidak akan berpaling ke lain hati.

Pernikahan Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang