8. Dia

310 24 2
                                    

Cuaca pagi ini begitu cerah, tapi tak secerah air muka Mas Galih dua hari terakhir ini. Tidak ada senyum atau obrolan ringan lagi. Bahkan, sikapnya cenderung dingin saat kutanyai. Selepas menunaikan kewajiban pun, dia tak mengecup keningku seperti biasa. Padahal, siang setelah pertengkaran pagi itu, aku langsung meminta maaf.

"Mas, kamu mau ke mana?"

Aku segera menyelesaikan pekerjaan merapikan kamar saat melihat Mas Galih berkemeja. Sepagi ini, Mas Galih sudah memakai pakaian formal, bukan pakaian santai yang sebelumnya kusiapkan di tepi ranjang.

"Mas?"

Aku segera menghampiri Mas Galih, bosan juga lama-lama didiamkan seperti ini. Aku rindu Mas Galih yang romantis, cerewet saat bersamaku, atau sikapnya yang kadang-kadang seperti kanak-kanak. Aku tidak suka diabaikan seperti ini.

"Mas, aku nanya, loh." Kugoyang pelan tangannya yang baru saja selesai melingkarkan sabuk.

"Cari kerjaan."

Untuk beberapa saat, aku hanya terdiam. Selama masa nifas, Mas Galih memang tidak mencari pekerjaan lagi. Alasan awalnya, dia ingin menemaniku supaya tidak kesepian. Untuk kebutuhan sehari-hari kami sepakat memakai uang simpanan dulu.

"Di?"

Mas Galih mengendikkan bahu. "Di mana aja, lah, yang penting ada penghasilan."

"Ya, maksudku, kamu rencananya mau nyari kerjaan di daerah mana, di resto, atau di mana?"

"Modal ijazah SMA bisa jadi apa menurut kamu? Manager? Nggak, mungkin, kan?"

Ya, Allah, memangnya ada yang salah dengan pertanyaanku? Aku cuman mau tahu, dia mau melamar kerja ke restoran tempatnya bekerja dulu, ke kafe-kafe, atau ke tempat lainnya? Tidak ada niatan sama sekali untuk merendahkan pendidikan terakhirnya.

Aku merasa Mas Galih mudah sensitif dan kali ini parah sekali. Sikap tegas, sabar, dan lembut yang selalu dia perlihatkan berganti sebaliknya. Alhamdulillahnya, Mas Galih tidak sampai main tangan.

Ah, atau di sini aku yang sedang sensitif.

"Aku cuma mau tau aja, Mas. Nggak boleh emang?"

"Mungkin ke tempat-tempat yang pernah nerima aku dulu."

"Aku ikut, ya?"

Mas Galih berbalik. "Ell, aku mau cari kerja, bukan mau main."

Aku menunduk kecewa saat tatapan Mas Galih menyorot tajam. "Maksudku, nanti aku nunggu kamu di mobil, Mas. Aku bete di rumah terus."

"Kalo kamu bete, kamu bisa ke mal, ke rumah temen, atau silaturahmi ke rumah ibu sendiri, kan?" tanya Mas Galih seraya menatap jam yang melingkar di tangannya, "udahlah, ini keburu siang. Aku berangkat dulu."

Mas Galih berlalu setelah aku mencium punggung keluarganya. Sikapnya kali ini semakin berbeda, membuatku menaruh curiga. Sebenarnya, ada apa di balik ini semua?

Aku merasa tidak membuat kesalahan apa pun lagi. Perkara rindu Almira, selalu dipendam sedalam mungkin supaya dia tidak melihatku menangis lagi. Perkara Ibu, aku belum mengunjungi beliau lagi. Jadi, bisa dipastikan tidak ada masalah lagi karena kami sudah saling memafkan. Setidaknya, itu yang aku simpulkan.

***

Notifikasi pesan masuk di beberapa grup WhatsApp jumlahnya sudah keterlaluan. Mulai dari yang puluhan sampai ribuan. Pesan beruntun di grup Alumni Tunas Bangsa, grup SMP Merah Putih, dan grup lainnya.

Pandanganku tertuju pada salah satu grup, bukan grup alumni SMA Tunas Bangsa yang pesannya sudah ribuan. Namun, pada grup keluarga besar Mas Galih. Grup yang biasa sepi, sekarang mendadak ramai. Bahkan, isi pesannya hingga ratusan.

Aku bergegas meng-klik grup keluarga besar Mas Galih. Kubaca dari yang teratas dengan teliti. Mataku terbuka lebar saat membaca pesan-pesan berbalas di sana. Katanya, Kak Doni kecelakaan dan sekarang koma.

Aku segera menghela napas panjang. Apa sebegitu tidak pentingnya kah aku di hati Mas Galih? Kakak ketiganya kecelakaan beberapa hari yang lalu. Bahkan, pagi tadi Kak Doni mengalami koma. Mas Galih sama sekali tidak memberitahuku langsung.

Dari informasi yang kudapat, saat mobil yang mereka tumpangi melaju, rem mendadak tidak berfungsi. Jalan terakhir yang Kak Doni ambil ialah dengan banting setir ke arah kanan. Selain tidak mau membuat beberapa orang di sebelah kiri terluka, dia tidak mau istrinya kenapa-napa. Namun, sayang, dari arah berlawanan, mobil sedan melaju cepat, dan terjadilah kecelakaan hebat.

Aku menelepon Mas Galih saat ini juga. Sayangnya, Mas Galih tidak mengangkat panggilanku. Dengan tekad yang kuat, aku mengiriminya pesan kalau aku akan menjenguk Kak Doni ke rumah sakit.

***

Jantungku berdegup cepat seiring langkah yang semakin melambat. Pandangan ini tak lagi salah lihat. Di depan sana, Mas Galih tengah tertawa lepas bersama seseorang yang sudah lama aku cemburui. Memangnya siapa lagi kalau bukan Mbak Ayu?

"Ell?"

"Eh, iya, Mbak?" Aku terkesiap saat Mbak Rania memanggil.

"Itu Galih sama Ayu, kan?"

Aku lekas menghela napas dalam, lalu mengangguk saat jari telunjuk Mbak Rania mengarah ke meja yang ditempati mereka. Andai Mas Galih tahu kalau moment itu merupakan moment yang akhir-akhir ini aku inginkan. Di rumah dia mengabaikanku, tapi di luar dia malah berbincang dengan Mbak Ayu.

"Mbak, kayaknya aku makan di rumah aja, deh. Aku baru inget kalo di rumah masih ada lauk sisa sarapan. Mubazir kan kalo dibuang?"

Untuk yang satu ini, aku memang tidak berbohong. Di rumah masih ada beberapa potong ayam goreng. Aku sengaja membeli ayam yang sudah diungkep supaya rasanya tidak keasinan seperti tempo lalu. Namun, Mas Galih tidak sarapan, kotak bekal yang aku siapkan pun tidak dibawa.

Ah, pantas dia tidak membawanya. Ternyata, Mas Galih mau makan siang dengan gadis yang disukai Ibu. Saat sarapan pun bisa jadi mereka makan bersama seperti sekarang.

"Kamu nggak samperin Galih dulu?"

Aku membalas tanya Mbak Rania dengan seulas senyum. Susah payah rasanya supaya senyumanku itu terlihat nyata, bukan tampak dipaksakan. Aku hanya tidak mau Mbak Rania atau siapa pun menaruh curiga akan permasalahan dalam rumah tanggaku yang tidak jelas sebab masalahnya.

"Nggak. Aku pulang dulu, ya, Mbak. Titip salam aja buat keluarganya Mbak. Moga Kak Doni segera sehat lagi."

"Aamiin. Makasih, ya, Ell."

Setelah berpelukan singkat dengan Mbak Rania, aku berlalu dari kantin rumah sakit. Hati memang ingin menghampiri dan mengajak Mas Galih pulang. Namun, rasa tidak suka akan sikap sepasang anak manusia yang gagal dijodohkan Ibu itu begitu besar.

Seharusnya, aku tidak nekat pergi tanpa balasan izin Mas Galih. Jika hari ini tidak pergi, mungkin aku tidak akan kecewa, sakit hati, bahkan uring-uringan seperti seorang istri yang menggerebek suaminya selingkuh.

"Astaghfirullah."

Aku tersentak. Aku bahkan hampir bertabrakan dengan seseorang di lorong rumah sakit. Untung saja lelaki di depanku sigap menghindar. Jika tidak, maka akan ada momen yang memalukan.

"Ma'af, Mas. Saya lagi buru-buru," kataku tanpa menatap lelaki yang hampir ditabrak. Aku lebih memilih menyeka air mata yang masih saja menetes.

Aku bergegas pergi setelah memberi isyarat mengangguk sekali. Jangan sampai bertemu Mas Galih di sini. Aku hanya tidak mau dia malu jikalau nanti istrinya ini lepas kendali lagi.

"Ellea?"

Langkahku terhenti. Suara itu ... aku hapal betul siapa pemiliknya. Untuk memastikan tebakanku salah atau benarnya, aku membalikkan badan.

Kutatap sepasang mata elang tampak sedang memperhatikan, masih seperti dulu. Dia terlihat berbeda. Bukan seperti sosok yang kutemui beberapa tahun silam. Baik dari segi penampilan, wajah, tetapi tidak dengan tatapannya.

"Ellea!"

Kali ini, tatapanku beralih ke lain arah. Di ujung lorong sana, Mas Galih kembali melanjutkan langkahnya setengah berlari. Sementara di sini, tubuhku malah membeku dengan pikiran yang dipenuhi kebingungan.

Pernikahan Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang