6. Serba Salah

326 22 2
                                    

Hakai! Sekelakamakat mekembakacaka. 😀

Ada yang familiar sama cara ngomong yang terkenal pada zamannya? 😬

***

“Yang, kamu kenapa, sih? Kamu ngambek gara-gara Ayu?”

Sudah tahu jawabannya, masih saja bertanya!

“Yang?”

“Sayang?”

“Aku cuman capek aja, Mas,” kilahku.

Aku merebahkan diri di kasur, lalu berbaring membelakanginya. Sialnya, malah box bayi berkelambu merah muda yang tertangkap lensa mataku. Di dalamnya, terdapat kasur empuk, dua bantal guling, dan selimut halus untuk menghangatkan tubuhnya. Sayang, sosok yang aku ingin-inginkan tak berbaring di sana.

“Alasan terbesar yang bikin mood kamu jelek gara-gara Ayu, kan?”

Sebenarnya iya, tapi mood-ku ancur bukan sepenuhnya dihancurkan Mbak Ayu saja. Ada perasaan sewot karena tidak diantar Mas Galih ke makam Almira. Ada kesal karena Ibu selalu bersikap seperti tadi.

“Waktu di telepon ibu bilang abis kena minyak dan minta dianter ke dokter. Nggak taunya yang kena minyak itu Ayu,” jelas Mas Galih, tanpa kumintai menjelaskan.

Aku membalikkan badan, menatap Mas Galih yang duduk di tepi ranjang. Ada satu pertanyaan yang baru terpikirkan. Setahuku, selama bertemu Mbak Ayu dalam beberapa kesempatan di rumah Ibu, dia tak pernah pergi ke dapur, apalagi untuk memasak. Tempat yang sering dia kunjungi kalau bukan ruang tamu, ruang televisi, ruang makan, ya, di halaman depan, mengingat kamar mandi Ibu letaknya bersebelahan dengan dapur. Jadi, kalau mau ke kamar mandi tidak perlu melewati dapur dulu karena dari ruang makan sudah terdapat dua pintu menuju kedua tempat tersebut.

Entah mengapa, aku merasa ada kejanggalan di sini. Ucapan para ipar, ucapan Ibu di mobil tadi, dan sikap Ibu yang seperti menganggapku musuh. Aku takut Mas Galih dekat dengan Mbak Ayu karena sering dipertemukan Ibu. Apalagi Mas Galih itu sangat menyayangi Ibu dan selalu patuh akan pintanya. Bukankah terlalu sering bertemu, baik dalam sengaja ataupun tidak itu bisa menimbulkan rasa yang tak biasa?

“Kenapa Mbak Ayu bisa kena minyak?”

“Kata ibu, Ayu kena minyak pas masak telur ceplok.”

Mas Galih menjawab santai. Sesantai ekspresinya dan kini berbaring di sampingku.

Aku melongo mendengarnya. Namun, sejurus kemudian, aku tersenyum kecil. Bukan niat hati menertawakan Mbak Ayu, tapi menertawakan diri sendiri yang tidak pernah diperhatikan sampai sebegitu besarnya oleh Ibu. Aku bahkan pernah keserempet saat menyelamatkan cucunya, tapi beliau hanya melirik, bungkam, dan bersikap seperti biasa setelah tahu hanya terdapat luka ringan di kakiku.

Ternyata, anak keturunan ningrat memang selalu diperlakukan berbeda dibanding anak orang biasa sepertiku. Apakah jika tak ada ayah, apalagi ibu, orang akan memperlakukan anaknya dengan semena-mena? Tanpa memikirkan perasaan orang lain sama sekali?

“Kenapa?”

“Cuman lucu aja. Kena minyak sedikit sampe dibawa ke rumah sakit.”

“Ya mungkin Ayu panik dan dia sendiri yang mau ke dokter. Atau bisa aja, ibu yang paksa karna nggak mau anak temennya luka-luka di rumah ibu.”

“Iya, sih, anak orang kaya di mana-mana pasti dibedain—”

“Yang, nggak usah bahas apa pun yang bisa mancing keributan.”

“Aku nggak mancing keributan, Mas. Kita kan lagi bahas Mbak Ayu.”

“Tapi di pembahasan ini ada ibuku. Dan setiap kali bahas apa pun soal ibu, ujung-ujungnya kita pasti ribut.”

“Mas, kenapa di sini seolah-olah aku yang salah terus, sih? Apa aku harus mingkem aja? Kamu itu suami aku, loh, Mas. Kalo nggak cerita sama kamu, aku harus cerita sama siapa lagi?”

Aku beranjak duduk. Kulepas jilbab yang bahannya mendadak terasa panas sekali. Lalu, kutatap Mas Galih yang tengah mengusap wajah.

Mas Galih hendak bicara sepertinya, tapi aku lebih dulu menyela, “Aku masih inget insiden sewaktu keguguran dulu, loh, Mas. Kamu nggak jadi anterin aku USG dan lebih milih dateng ke acaranya Mbak Ayu dengan dalih anterin ibu. Dan pas aku ke dokter sendiri, janinku berlanjut luruh di waktu yang sama, kamu sama ibu seolah-olah nyalahin aku karna ngotot periksa dianter ojol di hari itu juga.”

“Ell, please. Aku bilang nggak usah bahas, ya, nggak usah. Kamu paham sama kalimat yang aku ucap, kan? Dan aku udah berapa kali jelasin ke kamu kalo waktu itu aku beneran nganterin ibu, bukan sengaja dateng ke acara Ayu.”

“Gimana aku nggak bahas dan kepikiran terus, Mas? Ibu dan orang-orang yang aku temuin seolah-olah ngingetin aku sama masa lalu. Terus cara bicara ibu sewaktu di mobil tadi yang seakan-akan mojokin kalo aku nggak becus urus kamu dan urus kandungan bikin aku kepikiran terus. Ibu seolah-olah lupa, kalo tahun itu kamu anterin aku ke dokter, semuanya nggak akan kayak gini, Mas. Anak pertama kita mungkin masih hidup. Atau kalo ibu nggak bikin aku stres sewaktu hamil Almira oleh larangan-larangan kolotnya, mungkin Almira masih ada, Mas, dan aku nggak bakalan kena komplikasi kehamilan.”

“Ini bagian dari takdir, Ellea! Harus berapa kali aku ngomong!”

Aku tersentak saat Mas Galih menyentak. Tanpa dapat ditahan, bulir bening yang sedari tadi dibendung dengan susah payah, keluar hingga beberapa tetes. Namun, aku segera menyekanya saat Mas Galih tengah mengusap wajah.

“Nggak usah bahas Ayu atau siapa pun lagi. Paham?”

“Kalo gitu kamu bantu aku buat jelasin ke ibu, Mas. Kalo anak-anak kita mati itu bagian dari takdir, bukan kesalahan aku sepenuhnya yang nggak becus urus mereka,” kataku setelah sebelumnya menghela napas dalam.

Astaghfirullah ... kenapa sisi negatif ini selalu mengitariku? Apa semua ini karena rasa iriku terhadap Mbak Ayu? Gadis yang usianya beberapa tahun di atasku itu selalu diperhatikan ibu dan diperlakukan bak perempuan bermartabat yang tidak boleh diabaikan. Atau karena Mas Galih yang tidak bisa bersikap adil?

“Oke, atas nama ibu, aku minta maaf kalo ibu ada salah sama kamu.”

Tangisku pecah bersamaan dengan sepasang tangan kekar yang membawa tubuhku dalam pelukan hangatnya. Sesering ini pertengkaran antara aku dan Mas Galih. Sebesar apa pun amarah atau kesalahan yang kuperbuat, sepertinya, hanya pada Mas Galih aku kembali.

Kalau boleh jujur, bukan permintaan maaf seperti itu yang aku mau. Bukan! Kenapa rasanya sulit banget buat bikin kamu sama Ibu mengerti sama apa yang aku rasain?

“Maaf. Maafin aku. Maafin ibu atau maafin insiden apa pun yang udah bikin hati kamu sakit karena ulah keluargaku.”

Perlahan, aku menghela napas panjang. Hidup itu berproses dan setiap orang yang melalui proses tersebut akan mempunyai cerita dan jalan keluar yang berbeda. Aku harus percaya pada Al-Qur'an bahwa Allah akan selalu bersama orang-orang sabar. Allah tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya.

Pernikahan Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang