22. Sulit Dipercaya

553 37 1
                                    

Tawa milik bocah seumuran Almira terhenti. Aku menatap mereka bertiga secara bergantian. Rasa haru yang begitu kentara aku rasakan di kediaman Riyan. Ternyata, Allah merencanakan pertemuan tak terduga bersama orang-orang dari masa laluku.

Aku bergegas menghampiri wanita bergamis hijau tua tersebut. Kami sama-sama berjalan dengan langkah pelan. Lalu, saling berdiri berhadapan saat jarak di antara kami hanya tersekat beberapa langkah saja.

Aku tak bisa berkata-kata lagi. Kalimat yang ingin aku ungkapkan berupa pertanyaan, sapaan, atau apa pun itu tersasa tertelan di tenggorokan. Aku tersenyum ringan. Terlihat dengan jelas kedua matanya yang kini mengembun.

“Adek ini yang waktu itu ....”

Aku mengangguk pelan membetulkan pertanyaannya yang belum selesai. Tiba-tiba saja, hatiku bergetar saat mendengar suara paraunya. Wanita paruh baya itu mengingatkanku pada Ibu yang sekarang entah bagaimana kabarnya.

Aku bergegas meraih tangan wanita itu untuk dicium punggungnya. Lalu, sebuah pelukan pun aku dapatkan. Dapat kurasakan dekapannya yang kian erat disertai isakan tertahan.

“Ibu, kenal Ellea?”

Pelukan yang hanya kudapat beberapa detik itu berlalu bergitu saja. Aku menatap Riyan dan mamanya yang tampak kebingungan.

“Yan, kamu masih ingat cerita Ibu sewaktu di rumah sakit dulu, Nduk? Sewaktu Ibu antar kontrol si kembar yang nangis iku, loh,” tutur wanita paruh baya itu dengan logat Jawanya yang khas.

Setelah melihat Riyan mengangguk pelan, pikiranku melayang pada kejadian lima tahun silam. Tampaknya, aku mulai paham dengan teka-teki yang bikin otak berpikir keras ini. Di mana saat itu aku membantu menenangkan kedua bayi kembar dengan ASI-ku. Lalu sekarang, kami kembali dipertemukan melalui papanya. Sungguh, skenario Allah memang sangat sulit untuk ditebak.

“Perempuan ayu yang waktu iku kasih mimi Fatih dan Zahra iku, adek yang ini, Nduk. Iki wonge ....”

Aku menoleh saat merasakan usapan pelan di bahu. Aku meraih tangan beliau, lalu Menggenggamnya dengan erat. Tampaknya, beliau sedang menahan diri agar tidak menangis, suaranya yang parau tak lagi bisa disamarkan.

“Masya Allah, jadi orangnya itu Ellea, Mbakyu?” Mama Riyan kembali memastikan.

“Iyo.”

Mamanya Riyan menghampiriku. Beliau menggenggam tanganku yang bebas. Setelah tersenyum, beliau berkata, “Nak Ellea, terima kasih banyak, ya. Tante bener-bener nggak bisa bayangin bagaimana nasib Fatih dan Zahra seandainya dulu nggak ada kamu di sana. Neneknya pasti bakalan kerepotan karena mereka nangis terus gara-gara kecerobohan papanya.”

“Sama-sama, Tante, Bu.”

Aku berdeham pelan karena sedari tadi merasa  ada yang memperhatikan. Aku menatap Riyan sekadar untuk memastikan. Masalahnya, mantan yang kini menjadi temanku itu tak memberikan satu tanggapan apa pun.

“Fatih, Zahra, sini, Dek,” panggil mama Riyan.

Si kembar berambut panjang dan berambut lurus itu berlari kecil ke arah kami. Tatapan polos yang mereka berikan membuatku gemas ingin memeluk. Namun, aku takut kalau mereka atau salah satu di antaranya tidak wellcome ketika aku dekati.

“Ada apa, Oma, Nek?” sahut balita cantik itu seraya menyingkirkan poni yang hampir menutupi mata sipitnya.

“Sudah kenalan sama tantenya belum, Nduk?”

“Oh, iya. Zahra lupa.”

Aku ikut tertawa mendengar Zahra tertawa hingga matanya yang sipit semakin menyipit.

“Hai, Tante, aku Zahra. Dan ini Fatih.”

“Ih, aku bisa sebutin nama aku sendiri, Rara!”

“Ya, kamunya diem terus.”

“Eh, apa kata Papa ... jangan?”

“Jangan ribut kalau ada tamu,” kata si Kembar serempak membuataku ikut terkekeh bersama mama dan mertua Riyan.

“Tante, main, yuk?”

“Tuh, liat, Yan. Anak gadismu itu karakternya persis kamu. SKSD,” kata mamanya mengalihkan perhatianku lagi, lalu beliau memandangku, “kalau anaknya yang bujang, malah mewarisi karakter mamanya. Pendiam, ngomong itu seperlunya. Beda, lah, sama Zahra.”

Aku ikut tertawa bersama yang lain. Cerita tentang Zahra dan Fatih kecil pun masih berlanjut. Lalu, aku pamit pulang karena tak enak kalau main di sini terlalu lama.

***

Balita tampan di sampingku memandang duplikatnya dengan mata menyipit. Aku tersenyum kecil melihat tingkah mereka. Sedari memasuki mal, mereka terus adu mulut, atau pamer kedekatan saat sedang bersamaku.

Seminggu terakhir ini aku memang sering bermain bersama mereka. Malah hampir setiap hari. Fatih yang kata mama Riyan pendiam pun saat sedang bersamaku mendadak cerewet seperti adik dan papanya. Aku dan kedua neneknya sampai bingung melihat sikap Fatih yang berbeda.

Zahra juga memohon-mohon kala aku mengatakan tak bisa ke rumah mereka. Bahkan ada satu hal yang bikin aku kaget, bocah seusia Zahra sampai mengancamku tidak akan makan dan mandi kalau aku tidak main ke rumahnya.

Alasanku menolak untuk berkunjung terlalu sering bukan karena Riyan dan ucapan para tetangga. Namun, aku takut ibu dan mertua Riyan berpikiran macam-macam mengingat status kami sama-sama single. Aku hanya takut mereka menyimpulkan sesuatu yang kami berdua saja tidak sedang menjalaninya.

“Tante, aku seneng banget main sama Tante,” ungkap Zahra seraya mendongak menatapku.

Aku membalas senyuman Zahra saat itu juga. “Tante juga.”

Entah sejak kapan, aku tak lagi benci pada sosok menggemaskan yang lebih akrab dipanggil anak-anak. Mereka tak lagi menjadi sosok yang menyebalkan. Mungkin itu salah satu pengaruh ikhlas yang terlambat aku dapatkan. Andai aku bisa ikhlas lebih awal, mungkin Mas Galih pun tak akan aku biarkan pergi hingga sejauh ini.

Emosiku juga tak mudah terpancing seperti dulu. Aku jadi bisa lebih bersabar saat mendapati sesuatu yang bikin gerah hati dan pikiran. Mood-ku juga tidak cepat berubah-ubah.

Kata salah satu teman di tempat kerja, katanya aku mengalami sindrom baby blues. Di mana kadar esterogen, progesteron, atau hormon lainnya yang diproduksi kelenjar tiroid menurun. Dampaknya, aku mudah emosi dan mood pun cepat berubah-ubah. Belum lagi sikap Mas Galih yang sering membuatku jengkel. Ditambah sikap Ibu yang terkesan menekanku agar seperti Ellea sebelumnya, siap diatur-atur sesuka hatinya.

“Tante, nanti main di kamar aku, ya? Kita main mobil-mobilan. Tante satu, aku satu.”

“Ih, nggak bisa! Tante Ell mau main sama aku.”

Langkahku terpaksa terhenti. Zahra sudah berdiri di hadapanku dengan tatapan menyorot tajam saat menatap kakaknya. Riyan yang kebetulan berjalan di depan kami dengan sigap menyekat Zahra dan Fatih dengan mengayunkan beberapa paper bag dalam gerakan pelan.

“Kalau kalian ribut, Papa buang mainan yang ini,” ancam Riyan yang langsung membuat Zahra mundur dengan bibir mengerucut.

“Ayo, lanjut jalan. Jangan berantem.”

Riyan yang tadi jalan di depan, kini kami berempat jalan beriringan. Namun, langkahnya seperti sengaja dilambatkan. Mungkin agar aku dan kedua anaknya tidak tertinggal jauh.

“Tante, bobonya di rumahku aja, ya? Biar kita bisa main terus,” pinta si cantik Zahra.

“Iya, Tan.”

Aku tersenyum kecil saat tatapan si kembar serempak tertuju padaku. Tatapan keduanya menyiratkan permohonan seiring kaki yang terus melangkah. Mungkin karena mereka tak kunjung mendapat jawaban, akhirnya Zahra beralih memandang papanya, tampak meminta persetujuan.

“Boleh, ya, Pa?”

Pernikahan Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang